Perspektif

Bersimpuh di Hadapan Kemanusiaan

3 Mins read

Sinergi dan kerja sama lintas elemen di negeri ini menjadi faktor penting keberhasil negara keluar dari krisis pandemi Covid-19 yang mendera sejak awal Maret silam. Tetapi ego yang terlalu tinggi mengalahkan itu semua. Pahadal, seharusnya korona menyatukan kita.

Ada banyak contoh negara yang berhasil mengatasi penyebaran virus mengerikan ini dengan sangat baik lantaran kerja sama apik warga negara dan pemerintahnya. Warga saling menjaga seraya mematuhi anjuran untuk berdiam diri di rumah agar penyebaran virus tak makin masif. Sementara itu, para pejabat negara beramai-ramai memotong pendapatan mereka untuk mendanai berbagai aksi mengatasi virus ganas ini.

Kolaborasi warga semacam itu rupanya masih langka di negeri ini. Dalam situasi kalut, kubu-kubu yang berseberangan secara politik bergeming. Yang di luar hanyalah rasa benci dan nada saling sindir ke rival politik.

Kubu yang berbeda kerap mengintai langkah lawan politiknya untuk diserang begitu kebijakan diumumkan. Tak ada solusi yang ditawarkan, selain nada pesimis dan menilai langkah kebijakan yang diambil keliru. Situasi makin runyam akibat campur tangan para pendengung (buzzer) yang mengais keuntungan dari tragedi ini. Akibatnya, masyarakat makin terbelah dalam polarisasi yang ektrem.

Dalam situasi ini, masyarakat menghadapi dua ancaman sekaligus: keganasan virus korona yang belum diketahui kapan akan berakhir dan pertikaian politik di media sosial dengan produksi hoaks dalam rupa yang mengerikan. Masyarakat sulit membedakan mana kabar benar dan bohong, sebab keduanya disusun dengan bahasa rapi serta narasi meyakinkan. Lebih miris lagi, kedua kubu melibatkan orang-orang terpelajar.

Inilah problem bangsa kita hari ini, juga ke depan.

Kita tahu, belajar dari negara-negara lain, wabah korona tak bisa dibasmi sendirian. Perlu kerja sama lintas elemen bangsa, bahkan lintas negara. Apalagi sifatnya yang terus bermutasi hingga bisa menyerang siapa saja: anak-anak, remaja, dewasa, dan sepuh.

Baca Juga  Menganut Agama, Memperjuangkan Kemanusiaan

Mahluk renik yang ganas yang menyebar tanpa mempedulikan batas-batas negara ini seharusnya menjadi momentum tepat untuk menggalang solidaritas dan empati kemanusiaan, tanpa memandang sekat negara, agama, kubu politik, suku, dan keyakinan. Setiap pihak harus mengarahkan orientasinya untuk menolong manusia. Semua harus bersimpuh di hadapan kemanusiaan.

Dalam soal kerja sama untuk kemanusiaan, kita bisa menyontoh bagaimana Tiongkok dan Jepang berkolaborasi menghadapi serangan virus mematikan ini di awal-awal penyebaran. Padahal kedua negara memiliki sejarah konflik lumayan panjang, sulit akur, jauh sebelum Perang Dunia Kedua. Tetapi, kerumitan hubungan seolah terlupakan oleh tragedi korona yang menyebar di dua negara ini.

Negeri Sakura menawarkan bantuan kepada Negeri Tirai Bambu untuk menghadapi virus ini bersama-sama. Otoritas Tiongkok juga menawarkan pengobatan ke warga Jepang yang terpapar korona. Tak ada ketegangan akibat konflik yang berkepanjangan itu. Korona adalah bencana yang harus ditanggulangi bersama. Soal kemanusiaan perlu dimajukan, konflik diletakkan di barisan belakang.

Kita perlu mencontoh kesigapan mereka dalam menghadapi bencana. Mengedepankan kemanusiaan ketimbang ego dan merasa paling berdaya. Atau, bahkan mengambil keuntungan ekonomi dan manfaat politis dari malapetaka yang terjadi.

Kehadiran Negara

Dalam situasi darurat seperti ini, negara harus tampil sebagai organisasi mumpuni yang mampu mengendalikan penyediaan dan penjualan alat-alat kesehatan demi kemaslahatan bersama.

Berbagai kebutuhan seperti penutup muka (masker), pembersih tangan (hand sanitizer), alat pelindung diri, dan lainnya harus mudah didapat dengan harga terjangkau. Jika tidak, pemerintah akan dilabeli sebagai penguasa yang egois dengan empati kemanusiaan yang minimal.

Mengikuti Thomas Hobbes (1588-1679), kehadiran negara sangat penting guna mengatur tatanan serta menciptakan ketertiban, hukum, keamanan sosial, dan politik. Ini penting, sebab manusia secara alamiah bebas dan setara, karena itu cenderung egois, hanya mengedepankan kepentingan diri demi memuaskan hawa nafsunya.

Baca Juga  Spirit Profetik dan Transformasi Pendidikan

Di titik inilah kehadiran negara dipertaruhkan. Negara harus memastikan setiap warganya aman dari ancaman virus korona yang kapan saja bisa datang dan menjangkiti setiap warga. Dalam situasi darurat seperti saat ini, keamanan dan kesehatan warga negara berada di urutan pertama. Investasi dan pembangunan ekonomi berada di urutan berikutnya.

Negara harus sigap menghadapi virus ini. Kesigapan bukan hanya soal bagaimana mencegah dan mengobati, tetapi yang utama, bertindak cepat dan strategis serta berani membuka informasi setiap kasus yang menimpa setiap warga negara agar dapat memetakan penyebaran virus sehingga penyelesaiannya lebih cepat dan tepat.

Sangat berbahaya jika informasi yang beredar simpang siur, ditutupi dengan dalih menghindari kepanikan, apalagi disusupi drama politik, sehingga informasi terkesan ditutup-tutupi atau diumbar ke publik jika menguntungkan posisi politik. Sungguh kita menjadi sangat biadab jika berani mempermainkan bahaya virus korona ini demi kepentingan politik elektoral.

Membangun Optimisme

Indonesia harus optimis dan yakin bisa melewati wabah ini segera. Tetapi optimisme harus dibarengi langkah strategis penanganan virus yang jitu. Optimisme semacam ini perlu digaungkan ke penjuru negeri agar membebaskan bangsa ini dari kepandiran, semisal memandang wabah dan penyakit sebagai azab dan murka Tuhan.

Kita harus terus membangun harapan dan menghadirkan Tuhan dalam narasi yang positif, lengkap dengan sifat Rahman dan Rahim-Nya. Wabah ini merupakan peringatan bagi umat manusia untuk selalu bersyukur dan menjaga diri agar mengedepankan hidup bersih, sehat, dan peduli terhadap sesama.

Persis saat inilah, kita perlu menyerukan bahwa agama harus kembali kepada kodrat asalinya yakni untuk manusia dan kemanusiaan, dan bukan semata-mata mengedepankan ritual dan tata-cara beribadah belaka. Agama harus memancarkan cinta kepada sesama, mengumandangkan rahmat kepada semesta. Inilah agama kebenaran yang sejati, merujuk kepada pandangan Nurcholish Madjid (1939-2005). Ajaran yang mengarahkan orientasinya untuk kemanusiaan universal.

Baca Juga  Urgensi Pendidikan Kedesaan

Inilah ikhtiar kita sebagai hamba Tuhan yang lemah dan fana untuk kemaslahatan bersama. Sebab mengentengkan keganasan virus ini dengan mengabaikan pesan para ahli kesehatan, pemerintah, dan ulama agar berjarak sejenak serta menghindari ibadah dan ritual berjamaah di masjid, gereja, pura, vihara, dan klenteng, hanya akan mencelakakan manusia lain di sekitar kita.

Avatar
6 posts

About author
Direktur Eksekutif Nurcholish Madjid Society
Articles
Related posts
Perspektif

Tidak Bermadzhab itu Bid’ah, Masa?

3 Mins read
Beberapa waktu lalu, ada seorang ustadz berceramah tentang urgensi bermadzhab. Namun ceramahnya menuai banyak komentar dari berbagai kalangan. Ia mengatakan bahwa kelompok…
Perspektif

Psikologi Sosial dalam Buku "Muslim Tanpa Masjid"

3 Mins read
Dalam buku Muslim Tanpa Masjid, Kuntowijoyo meramalkan pergeseran signifikan dalam cara pandang umat Islam terhadap agama dan keilmuan. Sekarang, ramalan tersebut semakin…
Perspektif

Paradoks Budaya Korupsi Masyarakat Religius

2 Mins read
Korupsi yang tumbuh di masyarakat yang dikenal religius memang menjadi paradoks. Di masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai agama, mestinya kejujuran, integritas, dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds