Oleh: M. Khusnul Khuluq*
“Satu helai daun lebih berharga dari sebongkah emas 24 karat”. Inilah salah satu diktum biosentrisme yang penting dari seorang environmentalis. Ini adalah dalil yang begitu sederhana. Ayat yang begitu pendek. Namun sangat panjang tafsirnya.
Satu helai daun dapat memproduksi sekian mikro oksigen tiap harinya. Pasokan oksigen tersebut memberi suplai pada cadangan oksigen global di Bumi. Meningkatnya cadangan oksigen global mencegah suhu Bumi memanas. Mencegah suhu Bumi memanas artinya mencegah gunung es di kutub mencair.
Mencegah gunung es di kutub mencair menahaan permukaan laut meninggi. Menahan permukaan laut meninggi dalam jangka pendek menyelamatkan pulau-pulau dangkal di permukaan planet. Dalam jangka panjang mencegah hilangnya seluruh permukaan benua. Selain itu, tanpa oksigen manusia sudah pasti mati.
Sebaliknya, emas adalah salah satu logam hasil tambang. Dan semua tau, industri pertambangan selalu merusak lingkungan apapun jenis tambangnya. Artinya, satu helai daun hidup lebih berharga dari sebongkah emas karena daun memberikan kehidupan. Pikiran yang holistik akan dengan mudah membaca logika inheren tersebut.
Pergeseran Kesadaran Global
Dalam beberapa dekade terakhir, dunia menunjukkan gejala pergeseran paradigma dari paradigma antroposentrisme ke biosentrisme. Antroposentrisme adalah pandangan yang muncul sebagai respon atas teosentrisme abad pertengahan di Eropa yang cenderung mereduksi martabat manusia.
Antroposentrisme melahirkan berbagai gerakan seperti Reformasi, Renaissan, Aufklarung, Romantisme dan gerakan lainnya yang didalamnya berkembang beberapa sekte pikiran seperti idealisme, empirisme, positifisme, dan berbagai sekte lainnya. Gerakan-gerakan tersebut memicu tumbuhnya ilmu pengetahuan.
Gerakan-gerakan tersebut juga memicu revolusi industri di beberapa belahan Eropa. Industrualisme melahirkan pasar. Pasar bebas melahirkan kapitalisme atau bahkan perang untuk memperbutkan sumber daya. Gerakan tersebut juga berpengaruh dalam tata kelola dunia hingga muncullah sistem politik seperti demokrasi.
Dua hal peting yang tidak dapat dinafikan dampaknya hingga kini adalah Industrialisme dan kapitalisme. Kedua ide tersebut satu setengah abad terakhir terus merambah pada level global. Industrialisme dan kapitalisme global bersinergi dan mencapai bentuknya yang paling matang. Inilah kemudian yang dikemas dalam suatu ide yang disebut globalisme. Prosesnya disebut globalisasi. Semua persoalan tersebut hidup di bawah payung besar bernama antroposentrisme.
Namun, beberapa dekade terakhir mulai disadari bahwa dampak antroposentrisme adalah pengabaian atas lingkungan. Karena antroposentrisme menghalalkan semua hal dengan dalil kemaslahatan manusia. Termasuk didalamnya adalah menambang perut bumi untuk mengeksploitasi minyak bumi, batu bara, emas, perak, perunggu, besi, alumunium, baja, dan dan berbagai bahan tambang lainnya termasuk batuan pegunungan untuk membuat semen.
Juga pembukaan lahan untuk tanaman produksi yang berarti pembabatan hutan. Begitu juga dengan reklamasi yang berarti perusakan atas biota laut pesisir pantai. Termasuk juga eksploitasi air tanah. Dan berbagai contoh lainya yang secara sederhana berarti persekusi atas alam.
Ekspoitasi adalah bahasa halus dari perusakan atas lingkungan. Inilah kejangalan akut yang akhirnya ditemukan dalam antroposentrisme. Karena itu, pelan-pelan mulai tumbuh paradigma biosentrisme.
Biosentrimse berarti, secara etik manusia adalah bagian dari alam. Merusak lingkungan berarti merusak manusia itu sendiri dan tempat tinggalnya, yaitu bumi.
Paradigma ini juga mendapat dukungan kuat dari kalangan feminis. Sehingga, muncullah gerakan yang disebut ekofeminisme. Karena itu, seorang environmentalis pasti akan bergandeng tangan dengan seorang ekofeminis.
Ideologi Seorang Environmentalis
Seorang environmentalis radikal akan jauh lebih menghargai satu helai daun yang hidup dari pada sebongkah emas. Kerena dia sadar betul satu helai daun itulah yang membuat manusia di bumi bertahan hidup. Karena dengan itu manusia terus bisa bernafas.
Seorang environmentalis radikal akan sadar betul bahwa manusia bukan satu-satunya makhluk yang diciptakan. Karena itu dia akan menghormati alam dengan tidak melakukan persekusi atas alam dengan dalil apapun.
Bagi sorang environmentalis, tidak hanya manusia yang memiliki kesadaran. Bahkan, semua mahluk punya kesadaran. Mungkin inilah yang di dalam Al-Quran disebutkan secara jelas bahwa “Bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, Dia (Allah) maha Raja, Maha Suci, Maha Perkasa, juga Maha Bijaksana.”
Secara teologis, satu helai daun yang dicabut dari tangkainya berarti mencabut hak daun tersebut untuk bertasbih kepada Allah. Inilah sebuah perspektif teologis yang bahkan kalangan muslim juga jarang memahaminya.
Belajar dari Avatar?
Ada sebuah film berjudul Avatar. Film ini dirilis tahun 2009. Sampai sekarang, sejak film itu dirilis saya tidak bosan-bosan menontonya. Bahkan jika waktu senggang saya masih suka menyempatkan diri untuk menontonya. Saya sampai hafal tiap scanenya. Selain didetil dengan sangat baik oleh sutradara Titanic. Juga mengesankan makna yang cukup dalam.
Salah satu figur utamanya adalah Jake Sully yang notabene seorang difable. Sully mengendalikan Avatar. Semacam biorobotik sintetik yang dibuat mirip dengan penduduk lokal di sebuah palnet yang diberi nama Pandora. Biorobotik itu dikendalikan dari jarak jauh. Digunakan untuk memperlajari penduduk lokal yang disebut Na’vit.
Yang membuat film ini menarik adalah bagaimana bangsa Na’vit mempertahankan alamnya dari ekploitasi perusahaan tambang dari Bumi untuk menambang anobtanium di perut planet mereka.
Hingga akhirnya perang terjadi antara pasukan perusahaan dengan bangsa Na’vit. Bangsa Na’vit mati-matian membela alam mereka untuk tidak diekspoitasi karena mereka menganggap alam mereka sebagai Eywa.
Eywa adalah semacam tuhan dalam konsep manusia Bumi. Na’vit menyembah Eywa. Dengan bahasa lain, alam adalah tuhan mereka yang memberikan mereka hidup. Mungkin ini hanya fiksi. Tapi ada sebuah pelajaran yang luar biasa bagi seorang environmentalis. Yakni bagaiamana menjaga dan memuliakan alam. Karena alam yang memberi manusia hidup.
Biosentrisme
Suatu ketika, saya ditugaskan di sebuah wilayah di Sumatera. Satu hal saya kagumi di tempat tersebut adalah alamnya yang begitu eksotis. Memang wilayah ini terkenal dengan keindahan alamnya. Terisolasi oleh pegunungan rendah. Sebuah wilayah yang dikelilingi pegunungan pohon pinus yang hijau dan rimbun. Aliran sungai yang jernih, mengalir dari puncak pegunungan. Dan satu hal yang tak kalah penting, jauh dari kesan industrialisme.
Bagi penduduk lokal, mungkin hal tersebut biasa saja. Bagi saya, satu kata, “indah”. Membawa damai bagi siapa saja yang melihatanya. Mungkin itu sebabnya kenapa surga digambarkan dengan kebun yang mengalir sungai dibawahnya. Kebun yang rimbun memberikan keindahan dan membawa ketenangan.
Bagi saya, pegunungan rimbun itu jauh lebih berharga dari pada gedung-gedung pencakar langit di Jakarta atau Surabaya. Karna faktanya pohon-pohon itulah yang memastikan kelangsungan hidup ras manusia di Bumi.
Bagi saya, memuliakan alam berarti memuliakan manusia. Karena manusia adalah bagian inhern dari alam itu sendiri. Karena itu, manusia harus menghormati alam sebelum berpura-pura menghormati manusia.
Pada akhir ulasan ini, saya ingin mengatakan bahwa environmental ethic dengan payung biosentrisme adalah sebuah perspektif baru untuk memastikan keberlangsungan ras manusia di Bumi.
*) Human Right Defender, Kader Muda Muhammadiyah.
Editor: Nabhan