Kisah: Hal Sederhana Namun Rumit
Beberapa abad silam, ada suatu kejadian di daratan kota Madinah, antara sikap hati-hati dalam mengambil langkah yang benar baginya, namun salah pada kenyataannya.
Habib Zain bin Ibrahim bin Sumait dalam kitab al-Fawaid al-Mukhtaroh, menceritakan,
قال جابر بن عبد الله : خرجنا مع عمر ابن الخطاب الى بعض رباع (المدينة) فقطر على رجل منا ماء من جناح فقال الرجل : ياصاحب الجناح أنظيف ماؤك؟ فالتفت اليه عمر فقال يا صاحب الجناح لا تخبره فان هذا ليس عليه.
Sahabat Jabir bin Abdullah meriwayatkan bahwa suatu hari ia berjalan-jalan di lorong-lorong kota Madinah bersama Khalifah Umar bin Khattab. Tiba-tiba dari sebuah teras rumah ada air yang tumpah dan mengenai salah satu dari rombongan tersebut.
Lelaki itu lantas bertanya, “Wahai pemilik rumah, apakah airmu bersih atau tidak?”
Khalifah Umar dengan cepat berkata kepada pemilik rumah, “Wahai pemilik rumah, tak perlu engkau jawab, karena sebenarnya ia tidak wajib untuk menanyakan hal itu”.
Demikian sebuah kisah singkat dituliskan dalam kitab al-Fawaid al-Muhktaroh pada halaman 322. Yang merupakan kumpulan nasihat dari al-Allamah as-Sayyid Zain bin Ibrahim bin Sumaith, seorang Ulama dan mujaddid Islam dari Madinah pada Abad ini.
Meskipun singkat namun pelajaran yang dikandung kisah tersebut sangat berharga, singkat tapi padat, dan sarat akan makna di dalamnya, bahwa dalam hidup ini banyak sekali hal-hal yang sesungguhnya sederhana namun dibuat rumit oleh pikiran sendiri.
Banyak Bertanya yang Membuat Semakin Rumit
Sebagaimana kejadian di atas, secara hukum fiqih, apabila seseorang tidak tahu air itu berasal dari mana dan tidak ada tanda-tanda air tersebut kotor maka statusnya adalah suci. Tanpa perlu menanyakannya. Bahkan, sama sekali tidak ada kewajiban untuk menyelidiki lebih jauh.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Sayyid Abdurrahman bin Muhammad al-Hadromi, bahwa setiap sesuatu yang belum dipastikan kenajisannya, namun biasa najis dalam sejenisnya, seperti baju anak kecil dan dan tukang jagal yang bodoh, maka yang paling unggul dari dua pendapat ialah mengamalkan pendapat yang asal yaitu, suci. (Lihat, Bughyatul Mustarsyidin, h. 30)
Peristiwa itu tak ubahnya bani Israil yang mendapat perintah sederhana untuk menyembelih seekor sapi betina. Namun mereka justru membuat rumit diri sendiri dengan bertanya ciri-ciri sapinya, usia, dan warna kulitnya. Padahal awalnya, perintah Nabi Musa as sangat gampang yang penting sapi dan betina. Cerita itu diabadikan oleh Allah Swt dalam Al-Qur’an. Allah berfirman:
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَذْبَحُوا بَقَرَةً قَالُوا أَتَتَّخِذُنَا هُزُواً قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Allah memerintahkan kamu agar meyembelih seekor sapi betina.” Mereka bertanya, “Apakah engkau akan menjadikan kami sebagai ejekan?” Dia (Musa) menjawab, “aku berlindung kepada Allah agar tidak termasuk orang-orang yang bodoh.” (QS Al-Baqarah: 67).
***
قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا هِيَ قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ لا فَارِضٌ وَلا بِكْرٌ عَوَانٌ بَيْنَ ذَلِكَ فَافْعَلُوا مَا تُؤْمَرُونَ
Artinya, “Mereka berkata, “mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menjelaskan kepada kami tentang (sapi betina) itu.” Dia (Musa) menjawab, “Dia (Allah) berfirman, bahwa sapi betina itu tidak tua dan tidak muda, (tetapi) pertengahan antara itu. Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan krpadamu.” (QS Al-Baqarah: 68).
قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا لَوْنُهَا قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ صَفْرَاءُ فَاقِعٌ لَوْنُهَا تَسُرُّ النَّاظِرِينَ
Artinya, “Mereka berkata, “mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menjelaskan kepada kami apa warnanya.” Dia (Musa) menjawab, “Dia (Allah) berfirman, bahwa (sapi) itu adalah sapi betina yang kuning tua warnanya, serta menyenangkan orang-orang yang memandangnya.” (QS Al-Baqarah: 69).
قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا هِيَ إِنَّ الْبَقَرَ تَشَابَهَ عَلَيْنَا وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ لَمُهْتَدُونَ
Artinya, “Mereka berkata, “mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menjelaskan kepada kami tentang(sapi betina) itu. Karena sesungguhnya sapi itu belum jelas bagi kami, dan jika Allah menghendaki, niscaya kami mendapat petunjuk.” (QS Al-Baqarah: 70).
Semua permintaan bani Israil mengakibatkan jawaban Allah swt yang justru lebih rinci. Pada ayat selanjutnya Allah berfirman:
قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ لا ذَلُولٌ تُثِيرُ الأَرْضَ وَلا تَسْقِي الْحَرْثَ مُسَلَّمَةٌ لا شِيَةَ فِيهَا قَالُوا الآنَ جِئْتَ بِالْحَقِّ فَذَبَحُوهَا وَمَا كَادُوا يَفْعَلُونَ
Dia (Musa) menjawab, “Dia (Allah) berfirman, (sapi) itu adalah sapi betinayang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak (pula) untuk mengairi tanaman, sehat, dan tanpa belang.” Mereka berkata, “Sekarang barulah engkau menerangkan (hal) yang sebenarnya.” Lalu mereka menyembelihnya, dan nyaris mereka tidak melaksanakan (perintah) itu. (QS Al-Baqarah: 71)
Sederhana dan Hati-Hati
Imam Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan, jika seandainya ketika bani Israil mendapatkan perintah untuk menyembelih sapi langsung mereka lakukan, dengan menyembelih sapi seperti apapun, maka itu sudah cukup, namun mereka membuat sulit diri mereka sendiri, akhirya Allah mempersulit mereka (Lihat, Tafsir Ibnu Katsir, juz 1, h. 295)
Dari tulisan ini bisa diambil kesimpulan, bahwa pada dasarnya Islam sangat mengedepankan sikap hati-hati dalam mengambil tindakan, jika sudah diketahui antara benar dan salah. Namun, dalam hal-hal yang oleh syariat tidak terlalu diberikan aturan ketat, sikap hati-hati justru tidak mengindahkan.
Editor: Rozy