Dari koran Saudi Gazette 22 Juni 2023 dilaporkan kedatangan jemaah haji sampai hari ini dari seluruh penjuru bumi sudah 1.342.351 yang dirilis dari direktorat pasport (imigrasi). Estimasi jemaah haji tahun ini lebih dari 2 juta orang dari 160 negara di planet bumi. Jin belum dihitung. Dari jalur udara sebanyak 1.280.240 jemaah, jalur darat sebesar 57.463 jamaah haji, dan jalir air (kapal) sebanyak 4.648 orang. Dari Indonesia hanya memakai satu jalur yaitu pesawat terbang. Yang bersepeda belum ada informasi kedatangan.
Di monitor “raksasa” depan bandara Jeddah disiarkan kedatangan kedatangan haji dari udara air dan tanah(daratan) terlihat dari haji tempoe doeloe. Saya sendiri setuju, Indonesia perlu buka jalur kapal untuk jemaah haji karena Indonesia negara maritim, harus juga via di laut karena nenek moyangku seorang pelaut. Juga, jamaah haji yang takut ketinggian tapi tak takut mabuk laut diajak naik haji pakai jalur air.
Implikasi mass production dari dua juta jemaah haji adalah gunungan sampah skala besar. Sebagai gambaran, tercatat musim Haji 2018, sampah diproduksi perharinya 4 ribu ton (Dinas Lingkungan Saudi Arabia). Tahun 2022, selama 3 hari puncak ibadah haji di Makkah hasilkan 128 ribu ton. Ini kalau sampah sampah dikirim ke Jogja, akan tenggelam dalam waktu singkat. Sebagai tamu, jemaah haji Indonesia perlu ikut mencari dan menjadi bagian dari solusi.
Volume limbah makanan global mencapai 931 juta ton pada 2019, termasuk 40 juta ton berasal dari dunia Arab. Di sinilah urgensi memulai memikirkan Green Spring, gerak menghijaukan tanah Arab dari “kutukan” krisis iklim dan itu malaikat pada jamaah dan 160 negara yang mengirim jamaah haji ke Saudi Arabia.
Fakta memprihatinkan itu diungkapkan Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) dalam laporan terbaru awal bulan ini.
Menurut organisasi internasional ini, Mesir menempati urutan pertama, dengan total sembilan juta ton makanan terbuang pada 2019. Irak berada di urutan kedua, dengan 4,73 juta ton limbah makanan, diikuti Sudan (4,16 juta ton), Aljazair (3,91 juta ton), Arab Saudi (3,59 juta ton), Maroko (3,31 juta ton), Yaman (3,02 juta ton), Suriah (1,77 juta ton), Tunisia (1,06 juta ton)
Tahun 2021, peringkat pertama bergeser menjadikan Arab Saudi sebagai pemenangnya.
Barilla Center Food And Nutritions, menempatkan Arab Saudi menjadi negara pembuang sampah makanan terbesar di antara negara G20. Pada 2021, total sampah makanan yang dihasilkan mencapai 151 kilogram (kg) per orang per tahun. Sampah tersebut berasal dari retail (20 kg per orang/tahun), restoran (26 kg), serta rumah tangga (105 kg).
Indonesia negara yang jemaah hajinya sangat besar menduduki urutan kedelapan dengan menghasilkan sampah sisa makanan sebanyak 121 kg per orang per tahun. Kontribusi Sampah rumah tangga sendiri 77 kg. Food Waste dan Food Lost ini sangat memprihatinkan bagi kedaulatan dan keamanan pangan pada kondisi melebarnya kesenjangan ekonomi.
Daya Ubah Ajaran Islam dan Haji
Banyak catatan menunjukkan berhaji di zaman kolonial punya resiko tertentu. Resiko pertama, niat saja sudah terbentur dengan pembatasan pemerintah Hindia Belanda. Saat perjalanan bisa jadi kapal yang ditumpangi dibatalkan atau tak diangkut. Kalau orang londo tak hijau mata lihat dimensi bisnis haji tentu peminat jamaah haji di Indonesia tak sebanyak dulu (pendirian konjen belanda di Jeddah 1873 menunjukkan nalar bisnis perusahaan kapal kapal belanda). Ekonomi bisnis lebih utama dari keterancaman gerakan anti penjajahan yang lokomotifnya para penyandang gelar haji. Bisa dimengerti, jemaah haji zaman itu adalah “petarung” dan kelompok Islam Militan mengingat medan juang perjalan haji dan komitmen pasca haji yang menuntut peran transformatifnya. Haji tak sekedar wisata ruhani, tapi misi profetik di tengah ketertindasan bangsa oleh bangsa lain.
Perasaan merdeka menjalankan ibadah di Arab Saudi di dua kota suci dan di dua masjid suci pasti menginspirasi kenapa di negara sendiri menjalani agama tak merdeka dan dikekang kekang. Islam memerdekakan, Kiai Dahlan pasti banyak memikirkan kebebasan dan kemajuan umat Islam. Sang Haji yang dirikan ormas-ormas besar adalah bukti watak transformatif dan “radikal” para penyandang gelar haji dengan nama baru reformisnya.
Resiko lainnya, sepulang haji tiba di tanah air, bisa tak lolos uji kelayakan penyandang gelar haji dan kalau layak akan diintai saat beraktifitas di pesantren, tarikat, dan pendirian masjid-masjid baru sebagai pusat pembinaan umat Islam.
Bukan hanya watak transformatif para penyandang haji itu, para haji bisa sangat radikal menjadi muadzin dan organizer anti kolonialisme. Buktinya, pemberontakan di daerah hampir semua ada keterlibatan “Sang Haji”. Pun dalam pembaharuan dan pemulihan atas kerusakan lingkungan. Pasca haji punya kewajiban ekologis sebagai parameter kemabruran lantaran selama ibadah haji seringkali tak terhindarkan memberi kredit pada jejak karbon.
Tentu sebagai negara pusat berkumpul Muslim se dunia yang tunaikan haji masalah ini menjadi perhatian dunia Islam secara keseluruhan. Arab Spring 2.0 dengan membawa arus greening muslim world menjadi pantas untuk diarusutamakan mengingat demokratisasi juga bisa cepat menyebar dalam konteks yang progresif. Artinya, Green Spring bukan “hil mustahil” bagi Negara Arab yang menjadi destinasi dari berbagai umat Muslim di dunia. Manusia diserukan untuk mengerjakan haji, niscaya mereka datang ke Baitullah dari penjuru yang jauh. Mereka pun kembali ke segala penjuru dengan hikmah risalah Islam ibadah haji yang juga banyak mewajibkan menjaga bumi.
Persebaran pengetahuan akan lingkungan (sains kesemestaan) sangat kompatibel dengan ajaran Islam. Ada banyak ayat setidaknya mengingatkan akan perlunya jemaah haji menjadi bagian dari pemakmur dan penjaga bumi(rumah manusia ciptaan-Nya) salah satunya dalam firman Allah berikut ini:
وَاِذۡ بَوَّاۡنَا لِاِبۡرٰهِيۡمَ مَكَانَ الۡبَيۡتِ اَنۡ لَّا تُشۡرِكۡ بِىۡ شَيۡـًٔـا وَّطَهِّرۡ بَيۡتِىَ لِلطَّآٮِٕفِيۡنَ وَالۡقَآٮِٕمِيۡنَ وَ الرُّكَّعِ السُّجُوۡدِ
Dan (ingatlah), ketika Kami tempatkan Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan), “Janganlah engkau mempersekutukan Aku dengan apa pun dan sucikanlah rumah-Ku bagi orang-orang yang tawaf, dan orang yang beribadah dan orang yang rukuk dan sujud (QS. Al Hajj).
“Green Spring” Hijaukan Muslim Arab
Tentu, kita mengapresiasi upaya pemerintahan Saudi Arabia bekerja keras untuk memastikan jemaah haji tetap sehat dan mabrur dengan mengupayakan lingkungan bersih sehat. Dampak perubahan iklim tak bisa dihindari, karena faktanya cuaca ekstrem terjadi di Arab Saudi, bulan Juni 2023 di Makkah bisa mencapai 43 derajat celcius dan bisa naik lagi. Tidak sedikit ahli mengaitkan ini adalah persoalan global climate change.
Dari banyak faktor krisis iklim, sampah makanan, plastik, penggunaan BBM tak terbarukan ikut kontribusi. Pemerintah Arab via Dinas Lingkungan berusaha keras mengelola sampah, memulai daur ulang, dan mengurangi cara menimbun ratusan ribu ton yang secara ekologis tak sehat. Jika jutaan ton pada 2035 belum terimplementasi mekanisme kelola sampah, dampak kepada iklim, polusi pada kesehatan akan kian parah.
Kepada jemaah haji dan pengelola tentu kita harus berusaha mengedepankan perintah berbuat baik pada alam dan manusia sebagaimana firman-Nya;
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu dan janganlah kamu melupakan bahagiamu dari kenikmatan duniawi dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang berbuat kerusakan” (QS. Al-Qashash: 77).
Jejak karbon haji dalam musim normal jelas sangat besar. Beruntung naik haji itu tidak bawa kendaraan pribadi tapi lebih pada angkutan umum(public transportation) sehingga setidaknya ada dimensi kurangi emisi. Dengan jumlah jamaah haji 1 sd 2,5 juta orang prospek “haji hijau” semakin menemukan tantangannya. Seperti lawan gerakan lingkungan pada kapitalisme, mass production akibat berkumpulnya jamaah menciptakan problem lingkungan yang akselerarif dan massif pada musim haji. Statemen aktivis lingkungan Nouhad Awwad bahwa bukan ukuran massa yang menentukan dampak pada lingkungan tetapi perilaku kolektif itu benar. Bahwa perilaku jutaan jemaah yang akan berdaya rusak besar jika tidak dikelola dengan smart-ecology karena kesinambungannya dan massifnya menggiring pada deret trigonometrik (berlari seperti deret ukur).
Pra Kondisi Green Arab Spring
Ada dua faktor internal dan eksternal untuk mengefektifkan Green Spring ini. Faktor internal, political will pemerintah Arab, kesadaran warga kerajaan Arab, persebaran pengetahuan di masyarakat Arab dalam lembaga pendidikan(kampus, sekolah). Adapun faktor eksternal antara lain adalah dukungan rezim Green Governance Global baik dari lembaga UN, NGO, CSO, and Global Organization.
Selain rencana 2035 untuk tata kelola sampah lebih baik, ambisi Saudi Arabia terkait pembangunan pangkalan energi terbarukan tahun 2035 tenaga surya yang memerlukan investasi besar ini juga sudah mulai diwacanakan dua tiga tahun terakhir ini.
Cadangan minyak bumi yang menipis memaksa kerajaan Saudi Arabia untuk mencari jalan alternatif. Tanpa alternatif, prospek destinasi wisata spiritual-internasional ini akan berdampak serius. Jika dapat dibangun dengan hasil pengelolaan minyak bumi, tentu ini akan menjadi langkah progresif mengingat keterbatasan minyak di dalam bumi. Hasil pariwisata, haji dan umrah sendiri menjadi sumber keuangan yang relatif “lebih hijau” daripada proyek energi ekstraktif selama seratus tahun terakhir ini.
Editor: Soleh