Perspektif

Blue Ecology: Tafsir Kemerdekaan Atas Maritim

5 Mins read

Perayaan kemerdekaan selalu diiringi dengan pernak-pernik kemerdekaan, seperti lomba, karnaval atau event lainya. Tetapi jarang dari kita menganggap kemerdekaan sebagai ruang kontemplatif jejak historis perjuangan bangsa ini untuk meraih kemerdekaanya. Kemerdekaan hari ini tidak diraih sekejap mata, tetapi melalui proses yang begitu panjang,  dimulai dari pertentangan dengan kolonialisme dan imperialisme.

Sejak diproklamasikan 17 Agustus 1945 kemerdekaan semakin diperteguh dengan adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tetapi tafsir kemerdekaan mengalami reduksi dan simplifikasi atas bingkai wilayah dan politik formal. Kemerdekaan tidak pernah ditafsikan lebih luas, ia hanya menjadi jembatan legitimasi kekuasaan.

Laut, yang sebenarnya merupakan inti peradaban Nusantara, sering kali hanya dipandang sebagai area untuk eksploitasi ekonomi dan jalur distribusi perdagangan. Namun, baik dari sudut pandang geopolitik maupun kultural, laut adalah “ruang yang mendasar” yang memengaruhi bagaimana bangsa ini memahami dirinya dan berinteraksi dengan dunia luar.

Indonesia memiliki lebih dari 17. 000 pulau dengan luas perairan mencapai 6,4 juta km, menjadikannya sebagai negara maritim terbesar di seluruh dunia. Fakta geografis ini mengedepankan bahwa kemerdekaan Indonesia tidak hanya bergantung pada kedaulatan wilayah daratan, tetapi juga pada kedaulatan di area laut.

Meski demikian, tantangan seperti globalisasi, industrialisasi yang merusak, dan perubahan iklim sering kali membuat kemerdekaan maritim berada dalam keadaan yang tidak stabil. Penangkapan ikan ilegal, pencemaran laut, reklamasi pantai yang merugikan ekosistem pesisir, serta konflik kepemilikan kawasan perairan menunjukkan bahwa laut belum sepenuhnya dianggap sebagai tempat tinggal yang perlu dilindungi dengan cara yang adil dan berkelanjutan.

Krisis Lingkungan Darat dan Laut

Menurut informasi yang ada, kerusakan lingkungan di Indonesia semakin parah seiring dengan tumbuhnya konsep modernitas. Dalam konteks di Indonesia, kondisi ini terlihat dengan jelas dalam pemilihan arah pembangunan, baik pada fase restrukturisasi maupun reformasi. Orde Baru sangat mengadopsi pandangan W. Rostow mengenai modernitas dengan tahapan pertumbuhan ekonomi yang dituangkan dalam Kebijakan Pembangunan Lima Tahun (PELITA). Konsep modernitas yang diambil membawa kepada perkembangan industri besar-besaran. Untuk mendukung kebijakan ini, beragam sumber daya alam dieksploitasi sedemikian rupa untuk mendukung proses industrialisasi yang menjadi penggerak utama terbentuknya masyarakat modern. (Sudjudiman, Subekti, 2024)

Sebagai contoh, industri minyak di laut menciptakan polusi yang tinggi, menyebabkan lebih banyak ekosistem hancur, terumbu karang, dan habitat ikan yang rusak akibat aktivitas manusia. Fenomena ini dikenal sebagai Developmentalism, di mana arah pembangunan justru menjadikan masyarakat Indonesia tidak bahagia. Pemerintah melaksanakan berbagai upaya pembangunan tanpa adanya kontrol yang efektif dari masyarakat. Negara mendominasi pembangunan sebagai sektor publik yang biasanya bersifat represif. Pembangunan hanya fokus pada pencapaian pertumbuhan ekonomi dan sepenuhnya mengabaikan aspek distribusi dengan dalih pemerataan dan keadilan sosial. (Jemadu Aleksius, 2003)

Baca Juga  Apa itu Demokrasi?

Fakta Terkini Kerusakan Lingkungan

Krisis ekologis di Indonesia telah mencapai titik yang semakin mengkhawatirkan. Setiap tahun, deforestasi masih menjadi masalah utama. Data terbaru WALHI mencatat bahwa pada tahun 2025, luas hutan yang hilang mencapai sekitar 600 ribu hektar. Ironisnya, kerusakan ini tidak hanya terjadi di hutan produksi, tetapi juga merambah kawasan lindung dan konservasi karena adanya celah regulasi yang dimanfaatkan untuk kepentingan industri ekstraktif. Fenomena ini menggambarkan betapa pembangunan yang berorientasi ekonomi jangka pendek masih mendominasi arah kebijakan lingkungan di Indonesia.

Selain itu, eksploitasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil semakin massif. Puluhan pulau telah “dikapling” oleh korporasi tambang, terutama untuk penambangan nikel dan pasir. Praktik semacam ini menimbulkan ancaman serius terhadap ekosistem laut sekaligus mengurangi ruang hidup masyarakat pesisir yang bergantung pada sumber daya perairan. Kerusakan ini tidak hanya berdampak ekologis, tetapi juga sosial karena memarginalkan masyarakat adat dan nelayan kecil (Environment Indonesia, 2025).

Di sisi lain, polusi plastik menjadi ancaman global yang juga menghantam Indonesia. Data terbaru menunjukkan bahwa setiap tahun sekitar 14 juta ton plastik masuk ke laut, dan pada 2025 jumlah total sampah plastik di lautan diperkirakan mencapai antara 75 hingga 199 juta ton. Jika tren ini tidak dihentikan, maka pada 2050 jumlah plastik bisa lebih banyak daripada jumlah ikan. Indonesia sebagai negara kepulauan besar turut menyumbang beban masalah ini, terutama karena sistem pengelolaan sampah yang masih belum efisien (Mongabay, 2025).

Krisis lingkungan ini juga tampak dalam bencana hidrometeorologis. Banjir besar yang melanda Jakarta pada Maret 2025 merupakan contoh nyata bagaimana degradasi ekologi perkotaan memperburuk dampak perubahan iklim. Hujan lebat yang disertai luapan sungai dari Bogor menyebabkan banjir yang menelan korban jiwa dan memaksa puluhan ribu orang mengungsi. Peristiwa ini memperlihatkan bahwa masalah tata ruang dan alih fungsi lahan memiliki kaitan erat dengan kerentanan ekologis (Wikipedia, 2025).

Dengan demikian, fakta-fakta kerusakan lingkungan ini menunjukkan bahwa kemerdekaan Indonesia belum sepenuhnya berarti kemerdekaan ekologis. Alih-alih melindungi ruang hidup bersama, orientasi pembangunan masih mengedepankan eksploitasi yang melemahkan daya tahan bangsa terhadap krisis global.

Baca Juga  Jangan Jadi "Muhammadiyah Garis Nesu"!

Pemikiran Tokoh Bangsa tentang Negara Maritim

Dalam konteks ini, penting menengok kembali pemikiran tokoh bangsa seperti Mahbub Djunaidi yang menegaskan identitas Indonesia sebagai bangsa maritim. Menurutnya, kesalahan besar yang diwariskan kolonialisme adalah menjadikan Indonesia seolah bangsa agraris. Padahal, secara historis, Nusantara tumbuh dan besar karena orientasi baharinya. Belanda sendiri bisa bertahan hidup di kepulauan ini karena memanfaatkan laut sebagai jalur transportasi dan distribusi; tanpa laut, kolonialisme akan ambruk (Junaedi, 1970-an, dalam NU Online Jatim, 2022).

Mahbub juga sangat kritis terhadap praktik eksploitasi laut yang kian marak. Ia menyoroti reklamasi dan sertifikasi laut yang pada praktiknya merugikan ekosistem pesisir dan masyarakat nelayan. Menurutnya, laut harus dikelola untuk kepentingan nasional dan kesejahteraan bersama, bukan untuk keuntungan sekelompok elit. Dengan kata lain, laut bagi Mahbub adalah simbol kedaulatan sekaligus ruang demokrasi ekologis.

Pemikirannya mengingatkan bangsa ini untuk tidak melupakan orientasi historisnya. Dengan lebih dari 17 ribu pulau dan luas laut mencapai 6,4 juta km², Indonesia sesungguhnya adalah kekuatan maritim dunia. Namun, kekuatan itu hanya bisa bermakna jika orientasi pembangunan menjadikan laut bukan sekadar sumber eksploitasi ekonomi, melainkan pusat peradaban yang memberi makna hidup.

Filsafat Eksistensialisme dan Kemerdekaan

Jika ditilik dari perspektif filsafat, eksistensialisme memberi kerangka penting dalam memahami makna kemerdekaan. Eksistensialisme menekankan kebebasan individu, kesadaran akan keterbatasan, dan tanggung jawab untuk menciptakan makna hidup. Dalam konteks ekologis, pendekatan ini menjadi relevan karena kebebasan sejati tidak bisa dilepaskan dari keberlangsungan alam.

Studi mutakhir menunjukkan adanya korelasi antara eksistensialisme dan ekologi. Artikel Ecology and the New Enlightenment menyebutkan bahwa ekologi memiliki dimensi eksistensial karena ia menuntut manusia untuk memahami tempatnya dalam keseluruhan alam. Dengan kata lain, manusia tidak bisa merdeka secara eksistensial jika mengabaikan keterhubungannya dengan ekosistem.

Lebih jauh, kajian “Towards an Existentialist Ecology” berargumen bahwa eksistensialisme dapat menjadi dasar etika ekologis baru di era krisis iklim. Kebebasan manusia tidak lagi dilihat sebatas ketiadaan batas dari luar, melainkan kebebasan untuk memilih tindakan yang bertanggung jawab terhadap sesama makhluk hidup dan lingkungan. Dengan demikian, kemerdekaan dalam bingkai eksistensial bukanlah kebebasan egoistik, melainkan kebebasan yang sadar akan keterkaitan ekologis (Gosetti Jennifer, 2023).

Kemerdekaan Eksistensial Berdasarkan Blue Ecology

Di titik inilah konsep Blue Ecology menjadi sangat relevan. Berbeda dengan pendekatan teknokratis yang sering kali melihat alam hanya sebagai objek, Blue Ecology menekankan prinsip spiritual dan etis dalam hubungan manusia dengan ekosistem. Nilai-nilainya mencakup Spirit, Harmony, Respect, Unity, dan Balance. Prinsip-prinsip ini menempatkan manusia bukan sebagai penguasa, melainkan bagian dari jaringan kehidupan (BlueEcology.org, 2022).

Baca Juga  Berislam Secara Kaffah dalam Negara Demokrasi

Dalam kerangka kemerdekaan eksistensial, Blue Ecology memberi dimensi baru bagi makna merdeka. Pertama, merdeka berarti menyadari bahwa kebebasan manusia tak bisa dilepaskan dari kebebasan ekosistem untuk hidup. Kedua, merdeka berarti hidup seimbang: mengambil secukupnya, memberi kembali, serta menjaga harmoni. Ketiga, merdeka berarti mampu melepaskan diri dari paradigma eksploitatif yang hanya mengejar keuntungan materi, menuju paradigma ekologis yang penuh tanggung jawab.

Dengan demikian, kemerdekaan eksistensial dalam bingkai Blue Ecology bukan hanya wacana filsafat, tetapi jalan praktis menuju keberlanjutan hidup. Indonesia, sebagai negara maritim, memiliki modal besar untuk menjadikan prinsip ini sebagai fondasi pembangunan yang otentik—yang berakar pada sejarah bahari sekaligus relevan dengan krisis global.

Kemerdekaan Indonesia tidak lagi cukup dipahami sebatas kedaulatan politik atau keutuhan wilayah. Tantangan abad ini memaksa kita menafsirkan ulang makna kemerdekaan dalam bingkai ekologis dan eksistensial. Fakta kerusakan lingkungan mengingatkan bahwa kemerdekaan yang tidak berwawasan ekologi hanyalah kemerdekaan yang rapuh.

Pemikiran Mahbub Djunaidi mengingatkan kembali akar maritim bangsa, eksistensialisme memberi kerangka filsafat tentang kebebasan yang bertanggung jawab, sementara Blue Ecology menghadirkan jalan menuju harmoni dengan alam. Jika ketiganya dijalankan secara konsisten, maka kemerdekaan Indonesia bukan hanya akan tegak di darat dan laut, tetapi juga akan bermakna dalam eksistensi manusia dan keberlanjutan bumi.

Kebebasan sejati tidak hanya diukur dari lepasnya suatu bangsa dari ikatan penjajahan, tetapi juga dari kemampuannya menjaga harmoni dengan alam semesta yang menjadi tempat lahir peradaban. Indonesia sebagai negara berbasis maritim menerima warisan laut yang luas, namun warisan tersebut juga membawa tanggung jawab besar untuk menjaganya. Jika laut hanya dijadikan sebagai objek eksploitasi semata, maka kebebasan hanya akan menjadi simbol tanpa arti.

Namun, apabila laut dipandang sebagai ruang hidup yang perlu dihargai, maka kebebasan akan menemukan kedalaman eksistensialnya: kebebasan yang berlandaskan tanggung jawab, keberlanjutan, dan keseimbangan. Pemikiran ini menegaskan bahwa memperkuat kedaulatan maritim adalah memperkuat masa depan bangsa—bukan hanya untuk generasi sekarang, tetapi juga untuk generasi mendatang.

Editor: Soleh

Krisna Wahyu Yanuarizki
7 posts

About author
Mahasiswa UIN Sayyid Ali Rahmatullah TulungagungMahasiswa UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung
Articles
Related posts
Perspektif

Kebakaran Los Angeles, Azab, dan Hoax

3 Mins read
Dalam tiga hari ini, saya menerima pertanyaan bertubi-tubi tentang kebakaran di tiga district di Los Angeles, Amerika Serikat. Saking banyaknya, sejujurnya hampir…
Perspektif

Moderasi Hilirisasi Haji

3 Mins read
Dalam beberapa tahun terakhir, hilirisasi haji telah menjadi sorotan penting di Indonesia. Berangkat dari visi untuk memberikan pelayanan haji yang berkualitas dan…
Perspektif

Ka'bah dan Wajah Dunia Arab Modern

4 Mins read
Tulisan ini sebagai pertanyaan lanjutan dari tulisan Buya Syafi’i Maarif di Suara Muhammadiyah pada tahun 1992 dan dimuat juga dalam buku (Islam…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *