Selama ibadah di tanah suci, bolehkah jemaah haji melakukan shalat jamak-qashar secara terus-menerus?
Ada pendapat mengenai seorang musafir tetapi dalam keadaan menetap tidak dalam perjalanan. Berdasarkan fatwa tarjih Muhammadiyah yang terbit di Majalah Suara Muhammadiyah, No. 02, 2014,[1]“seorang yang berasal dari Indonesia bepergian ke Arab Saudi untuk berhaji, selama ia di sana ia boleh menqashar shalatnya dengan tidak menjamaknya sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berada di Mina.”
Walaupun demikian menurut fatwa tarjih, boleh-boleh saja dia menjamak dan menqashar shalatnya ketika ia musafir seperti yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berada di Tabuk. Pada kasus ini, ketika seorang dalam perjalanan lebih baik menjamak dan menqashar shalat, karena yang demikian lebih ringan, tidak memberatkan di perjalanan dan seperti yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun ketika telah menetap di Arab Saudi lebih utama menqashar saja tanpa menjamaknya.
Penjelasan Dalil
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada umatnya untuk senantiasa melaksanakan shalat sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Shalat musafir adalah shalat yang dilakukan oleh seseorang ketika sedang melakukan safar. Pengertian safar adalah suatu kondisi yang biasa dianggap orang itu safar, tidak bisa dibatasi oleh jarak tertentu atau waktu tertentu. Orang yang melakukan perjalanan disebut musafir.
Bagi mereka, Allah dan Rasul-Nya tidak ingin memberatkan umat-Nya. Oleh karenanya, Islam mensyariatkan adanya rukhsah shalat jamak dan shalat qashar. Shalat jamak adalah mengumpulkan dua macam shalat dalam satu waktu tertentu. Dua macam shalat itu adalah shalat Dzuhur dengan shalat Ashar dan shalat Maghrib dengan shalat Isyak. Sedangkan shalat qashar adalah memendekkan/meringkas jumlah rakaat pada shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat yaitu shalat Dzuhur, Ashar dan Isyak.
Adapun dalil-dalil yang menerangkan tentang shalat jamak adalah sebagai berikut:
1. Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
جَمَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ سَفَرٍ وَلا خَوْفٍ، قَالَ: قُلْتُ يَا أَبَا الْعَبَّاسِ: وَلِمَ فَعَلَ ذَلِكَ؟ قَالَ: أَرَادَ أَنْ لاَ يُحْرِجَ أَحَدًا مِنْ أُمَّتِهِ. [رواه أحمد]
Artinya: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjamak antara shalat Dzuhur dan Ashar di Madinah bukan karena bepergian juga bukan karena takut. Saya bertanya: Wahai Abu Abbas, mengapa bisa demikian? Dia menjawab: Dia (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak menghendaki kesulitan bagi umatnya.” [HR. Ahmad]
2. Hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, ia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ ثُمَّ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا فَإِنْ زَاغَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَكِبَ. [متّفق عليه]
Artinya: “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika berangkat dalam bepergiannya sebelum tergelincir matahari, beliau mengakhirkan shalat Dzuhur ke waktu shalat Ashar; kemudian beliau turun dari kendaraan kemudian beliau menjamak dua shalat tersebut. Apabila sudah tergelincir matahari sebelum beliau berangkat, beliau shalat dzuhur terlebih dahulu kemudian naik kendaraan. [Muttafaq ‘Alaih]
Adapun dalil yang menerangkan tentang shalat qasar adalah sebagai berikut:
1. Surat an-Nisaa’ [4]: 101;
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا.
Artinya: “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qasar shalatmu jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.”
2. Hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha:
أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَقْصُرُ فِى السَّفَرِ وَيُتِمُّ وَيُفْطِرُ وَيَصُومُ. [رواه الدّارقطني]
Artinya: “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengqashar dalam perjalanan dan menyempurnakannya, pernah tidak puasa dan puasa.” [HR. ad-Daruquthni]
3. Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la bin Umayyah, ia berkata:
قُلْتُ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنْ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمْ الَّذِينَ كَفَرُوا فَقَدْ أَمِنَ النَّاسُ فَقَالَ عَجِبْتُ مِمَّا عَجِبْتَ مِنْهُ فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ. [رواه مسلم]
Artinya: “Saya bertanya kepada ‘Umar Ibnul–Khaththab tentang (firman Allah): “Laisa ‘alaikum junahun an taqshuru minashshalati in khiftum an yaftinakumu-lladzina kafaru”. Padahal sesungguhnya orang-orang dalam keadaan aman. Kemudian Umar berkata: Saya juga heran sebagaimana anda heran terhadap hal itu. Kemudian saya menanyakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda: Itu adalah pemberian Allah yang diberikan kepada kamu sekalian, maka terimalah pemberian-Nya. [HR. Muslim]
4. Hadis yang diriwayatkan oleh Anas radhiyallahu ‘anhu:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الظُّهْرَ بِالْمَدِينَةِ أَرْبَعًا وَصَلَّى الْعَصْرَ بِذِي الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ. [رواه مسلم]
Artinya:“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Dzuhur di Madinah empat rakaat dan shalat Ashar di Dzul–Hulaifah dua rakaat.” [HR. Muslim]
Shalat jamak dan qashar itu tidak selalu menjadi satu paket (shalat jamak sekaligus qashar). Seorang yang mengqashar shalatnya karena musafir tidak mesti harus menjamak shalatnya, demikian pula sebaliknya. Seperti melakukan shalat Dzuhur 2 rakaat pada waktunya dan shalat Ashar 2 rakaat pada waktunya atau menjamak shalat Dzuhur dan shalat Ashar masing-masing 4 rakaat baik jamak taqdim maupun ta’khir. Diperbolehkan pula menjamak dan menqashar sekaligus.
Editor: Soleh