Salah satu ibadah sunnah yang banyak dilaksanakan oleh sebagian muslim adalah shalat dhuha. Ada beberapa muslim yang, karena berharap keutamaannya, merutinkan shalat dhuha sepanjang hidup mereka. Sebagai shalat sunnah, apakah boleh shalat dhuha dilaksanakan secara rutin?
Menurut Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dalam fatwatarjih.id, Banyaknya jumlah hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan atsar para sahabat mengenai shalat dhuha yang secara lahiriah berbeda satu sama lain itu menyebabkan perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Ibnul Qayyim di dalam kitab al-Hadyu menyebutkan enam pendapat ulama mengenai hukum pelaksanaan salat dhuha.
Enam Pendapat Ulama terhadap Hukum Shalat Dhuha
Pertama, mustahab (sunnah). Kedua, tidak disyariatkan melainkan ada sebab, seperti pembukaan Mekkah, pembunuhan Abu Jahal, permintaan sahabat yang bernama ‘Itban agar Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat di salah satu sudut rumahnya, dan pulang dari perjalanan. Semua sebab tersebut terjadi waktu dhuha sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukannya.
Ketiga, sama sekali tidak mustahab sebagaimana Abdurrahman bin Auf dan Ibnu Mas’ud tidak pernah melakukannya. Keempat, mustahab (sunnah) kadang-kadang dilakukan dan kadang-kadang ditinggalkan. Artinya tidak dilakukan terus-menerus. Ini adalah salah satu riwayat Ahmad. Alasannya, hadis Abu Sa’id bahwa “Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam itu shalat dhuha sehingga kami mengatakan beliau tidak akan meninggalkannya, dan beliau itu meninggalkannya sehingga kami mengatakan beliau tidak akan melakukannya” [HR. al-Hakim].
Diriwayatkan pula dari Ikrimah: “Adalah Ibnu Abbas itu melakukan shalat dhuha sepuluh (hari) dan meninggalkannya sepuluh (hari).” Ats-Tsauri berkata: Diriwayatkan dari Mansur: “Para sahabat tidak suka melakukannya terus-menerus seperti shalat wajib.” Dan diriwayatkan dari Sa’id bin Jubair: “Sungguh aku meninggalkannya padahal aku menyukainya karena aku takut menganggapnya sebagai kewajiban atasku.” Kelima, mustahab (sunnah) dilakukan secara terus menerus di rumah. Keenam, ia adalah bid’ah.
An-Nawawi, sebagaimana dilansir dari fatwatarjih.id juga menyebutkan hadis-hadis yang berbeda satu sama lain dalam pelaksanaan shalat dhuha, namun beliau pada akhirnya menyatakan bahwa shalat dhuha itu menurut mayoritas ulama hukumnya sunnah muakkad.
Dalam keterangan yang juga dapat dilacak di Majalah Suara Muhammadiyah no 13 tahun 2015 ini, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah memandang pendapat Ibnu Umar mengenai shalat dhuha bahwa ia adalah bid’ah maksudnya adalah shalat dhuha di masjid dan memamerkannya. Atau maksudnya, yang bid’ah itu adalah terus-menerus melakukannya, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melakukannya terus-menerus sebab beliau khawatir akan dijadikan fardhu. Namun ini adalah untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Hadis-Hadis yang Membolehkan Salat Dhuha secara Rutin
Adapun untuk umat Islam, Majelis Tarjih dan Tajdid menganjurkan untuk terus-menerus melakukannya sebagaimana dalam hadis-hadis berikut:
1. Hadis riwayat Abu Hurairah:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: أَوْصَانِى خَلِيلِى صلى الله عليه وسلم بِثَلاَثٍ: بِصِيَامِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، وَرَكْعَتَىِ الضُّحَى، وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَرْقُدَ. [رواه مسلم]
“Dari Abu Hurairah [diriwayatkan bahwa] ia berkata: “Kawan karibku (Rasulullah) shallallahu ‘alaihi wasallam mewasiatiku tiga hal: Puasa tiga hari pada setiap bulan, shalat dhuha dua rakaat, dan shalat witir sebelum tidur” [HR. Muslim].
2. Hadis riwayat Abu ad-Dardak:
عَنْ أَبِى الدَّرْدَاءِ قَالَ: أَوْصَانِى حَبِيبِى صلى الله عليه وسلم بِثَلاَثٍ لَنْ أَدَعَهُنَّ مَا عِشْتُ: بِصِيَامِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، وَصَلاَةِ الضُّحَى، وَبِأَنْ لاَ أَنَامَ حَتَّى أُوتِرَ. [رواه مسلم]
“Dari Abu ad-Dardak [diriwayatkan bahwa] ia berkata: “Kekasihku (Rasulullah) shallallahu ‘alaihi wasallam mewasiatiku tiga perkara yang tidak akan aku tinggalkan selama aku masih hidup: Puasa tiga hari setiap bulan, shalat dhuha, dan aku tidak tidur sehingga shalat witir dahulu” [HR. Muslim].
3. Hadis riwayat Abu Dzar:
عَنْ أَبِى ذَرٍّ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ: يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلاَمَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ، فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ، وَنَهْىٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ، وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى. [رواه مسلم]
“Dari Abu Dzarr, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam [diriwayatkan bahwa] beliau bersabda: “Hendaklah setiap pagi setiap sendi salah seorang di antara kamu melakukan sedekah. Setiap tasbih itu sedekah, setiap tahmid itu sedekah, setiap tahlil itu sedekah, setiap takbir itu sedekah, amar ma’ruf itu sedekah, nahi munkar itu sedekah. Semua itu dicukupi dengan dua rakaat yang dilakukan pada waktu dhuha” [HR. Muslim].
Berdasarkan hadis-hadis di atas, kita disunnahkan untuk melakukan shalat dhuha semampu kita tanpa melalaikan kewajiban-kewajiban. Wallahu a’lam.
Editor: Yusuf