Belakangan viral tulisan seorang politisi, yang isinya banyak menceritakan pengalaman pribadinya saat memimpin dan terlibat dalam politik. Menariknya, tulisan tersebut dimuat dalam bentuk sebuah artikel jurnal, yang biasanya berisi hasil penelitian atau tinjauan ilmiah atas sebuah fenomena. Artikel tersebut menjadi menarik, karena isinya lebih banyak berisi pengalaman penulis dalam satu periode tertentu.
Saya tidak ingin mendiskusikan artikel tersebut di sini. Biarlah itu menjadi wilayah editor dan mitra bebestari yang melakukan penilaian sejawat atas artikelnya. Saya ingin masuk ke satu pertanyaan yang kebetulan muncul di benak saya ketika membaca artikel tersebut: bolehkah kita menuliskan pengalaman pribadi, atau cerita-cerita yang diangkat dari pengalaman sendiri, dalam sebuah artikel ilmiah?
Boleh, Asalkan
Jawaban sederhana dari pertanyaan tersebut adalah: boleh. Sebelum mendiskusikan alasannya, kita perlu mengupas cara ilmuan sosial memahami realitas.
Dalam ilmu sosial, ada beberapa cara untuk memahami realitas sosial dan politik yang kompleks. Cara pertama, yang dipegang oleh arus utama ilmuan sosial yang banyak terinspirasi metode yang digunakan oleh ilmu-ilmu alam, adalah dengan memahami realitas se-objektif mungkin. Realitas adalah apa yang ada di hadapan kita, dan mesti dipahami secara terukur, objektif, jelas, dan yang terpenting bisa didebat oleh ilmuan lain. Secara umum, ini metode yang dikenal sebagai ‘positivisme’.
Tapi ada kelompok ilmuan lain yang menganggap cara memahami ilmu sosial semacam itu bukan satu-satunya jalan. Bagi kelompok ilmuan ini, yang namanya pengetahuan lahir dari refleksi seseorang ketika berinteraksi dengan masyarakat atau lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, realitas sosial juga bisa dipahami melalui refleksi, interpretasi/tafsiran atas fenomena tertentu, atau pengalaman pribadi. Artinya, pengetahuan tidak semuanya bisa dipahami secara objektif, dan sumber pengetahuan juga bisa dari hal-hal yang sering dianggap subjektif.
Nah, kalau kita berangkat dari cara pandang kedua, artinya pengalaman pribadi bisa dan sah untuk menjadi sumber pengetahuan. Tapi tunggu dulu! Meskipun pengalaman pribadi bisa dituliskan dalam sebuah artikel ilmiah, tentu ada syaratnya. Pengalaman yang dimaksud mesti diolah dengan tujuan dan cara tertentu, yang akan berbeda dari tulisan politikus narsis yang memamerkan keberhasilan dan capaiannya di politik.
Auto-etnografi
Dalam ilmu sosial, ada satu metode khusus yang intinya adalah menggali pengalaman pribadi ini, yaitu ‘auto-etnografi’. Metode ini sudah lama berkembang terutama di antropologi dan sosiologi, dan sedikit banyak sudah merambah disiplin keilmuan lain, termasuk disiplin Hubungan Internasional yang saya tekuni.
Secara singkat, auto-etnografi adalah metode riset yang spesifik menggali pengalaman-pengalaman pribadi, momen-momen unik yang menarik, dan merefleksikannya untuk memahami fenomena sosial dan politik yang lebih luas. Berbeda dengan etnografi dimana seorang peneliti terlibat dengan objek komunitas yang diteliti secara intens, yang diteliti adalah ‘diri sendiri’ – bagaimana informasi dan pengalaman pribadi diolah secara kreatif untuk memahami apa yang terjadi di masyarakat.
Tentu saja, karena risetnya bersifat pengalaman, ia bersifat ‘subjektif’ dan tidak dimaksudkan untuk melihat masyarakat secara objektif. Tapi justru itu kelebihannya. Auto-etnografi mencoba untuk memahami subjektivitas diri – bagaimana diri ini berinteraksi dengan ‘dunia luar’ – dan kemudian merefleksikannya dengan konteks fenomena sosial dan politik yang lebih luas. Metode ini biasanya disandingkan dengan analisis visual – menampilkan dokumentasi punya sendiri dan menghubungkannya dengan pengalaman diri.
Di sini, tentu metode auto-etnografi tidak cukup sekadar dilakukan dengan menceritakan pengalaman laiknya seorang pejabat diwawancarai untuk pemilu atau biografi. Yang dimaksud dengan ‘pengalaman’ adalah hal-hal yang bersifat personal dan dirasakan oleh diri sendiri, dan membutuhkan refleksi, cerita ulang, dan pencerminan diri. Auto-etnografi adalah penceritaan dan pemaknaan ulang atas apa yang sudah dialami untuk memahami masyarakat yang lebih luas. Tujuan auto-etnografi adalah telaah dan penafsiran kritis atas realitas sosial yang kita alami sendiri, sehingga bisa memberikan pemahaman baru atas masyarakat.
Ini membuat auto-etnografi tidak berbeda, secara tujuan, dengan penelitian etnografi yang biasanya dilakukan oleh antropolog atau sosiolog budaya. Bedanya adalah: auto-etnografi bercermin pada apa yang sudah diri sendiri alami, dengan telaahan yang sifatnya berulang-ulang dan refleksi yang panjang. Jadi jangan dikira riset auto-etnografi bisa selesai dalam satu bulan. Kadang kita membutuhkan waktu berbulan-bulan, bahkan bisa bertahun-tahun, sekadar untuk bisa sampai pada kesimpulan reflektif tentang pengalaman keseharian kita.
Jadi, jelas kalau auto-etnografi bukan ajang ber-narsis-ria untuk menceritakan pencapaian sosial, politik, atau pribadi, yang biasanya bisa kita lihat di masa kampanye Pemilu atau Pilkada.
Contoh Penelitian Auto-etnografi
Saya akan memberikan contoh pada disiplin yang saya tekuni: Hubungan Internasional. Dalam 10 tahun terakhir, sudah mulai banyak penelitian di studi HI yang menggunakan auto-etnografi. Di studi HI, ada dua ilmuan yang mempopulerkan metode ini untuk riset-riset HI, yaitu Pak Roland Bleiker dan Mas Morgan Brigg, yang kebetulan mengajar di kampus saya sekarang. Keduanya memperkenalkan auto-etnografi melalui artikel mereka yang berjudul “Hubungan Internasional secara Auto-etnografis: Menjelajah Diri sebagai Sumber Pengetahuan”, yang diganjar sebagai artikel terbaik di jurnal Review of International Studies tahun 2010.
Menurut Pak Bleiker dan Mas Brigg, sebelumnya ada beberapa orang yang telah melakukannya terlebih dulu tanpa menyebut metode mereka autoetnografi. Beberapa di antaranya bisa disebut. Tahun 1990an, ada penelitian yang dilakukan oleh Ibu Carol Cohn, yang merefleksikan pengalamannya, sebagai ilmuan perempuan, ketika berinteraksi dengan komunitas keamanan dan nuklir Amerika Serikat. Dengan berpijak pada pendekatan feminisme yang kental, penelitian itu mengkritik kajian keamanan Amerika Serikat yang sangat maskulin pada masanya.
Selan itu, ada tulisan Iver Neumann, Profesor HI terkenal di Norwegia yang juga banyak terlibat dalam politik. Beliau merefleksikan pengalamannya ketika menjadi penulis pidato Menteri Luar Negeri Norwegia pada artikel yang berjudul “Pidato yang Menggambarkan Seluruh Kementerian, atau: Mengapa Diplomat Tidak Pernah Membikin Hal Baru”. Artikel yang dimuat di Jurnal International Political Sociology tersebut kemudian jadi salah satu pelopor pendekatan ‘teori praktis’ dalam studi HI hari ini.
Sekarang, metode autoetnografi juga digunakan untuk penelitian di jenjang Doktoral. Ada banyak teman saya di Universitas Queensland yang menggunakan metode ini, baik di Jurusan HI atau Jurusan lain. Salah satu yang penelitian Doktoral terkenal adalah kajian yang dilakukan oleh mbak Erzsebet Strausz untuk riset PhD-nya di Universitas Aberystwyth, Wales. Kajian mbak Strausz yang berjudul “Menjadi Diri Sendiri dalam Hubungan Internasional: Sebuah Buku Pengalaman tentang Kedaulatan”ini melakukan auto-etnografi terhadap konsep kedaulatan dalam studi HI, yang kemudian diganjar sebagai Tesis Terbaik untuk Studi HI Inggris pada tahun 2013. Mbak Strausz kini mengajar di Universitas Eropa Tengah di Budapes, Hungaria.
Kajian mbak Strausz sederhana: dia ingin memahami konsep ‘kedaulatan dalam HI secara lebih kritis. Apa yang ia lakukan kemudian mendobrak pemahaman klasik kita tentang kedaulatan: Mbak Strausz menggunakan pengalaman dirinya berinteraksi dengan konsep ‘kedaulatan’ di Universitas dan pengalaman riset praktis, yang membekas pada pemahaman dirinya sendiri tentang kedaulatan. Bagi mbak Strausz, kedaulatan bukan konsep mengawang-awang yang digunakan secara munafik oleh elit-elit pemerintah. Kedaulatan muncul dari cara kita memahami politik, mengartikulasikannya dalam interaksi di universitas, dan membangun pemahaman yang memungkinkan alumni perguruan tinggi melaksanakannya secara praktis.
Di sini, mbak Strausz menawarkan satu konsepsi tentang kedaulatan sebagai sesuatu yang dibentuk dari pengalaman sehari-hari. Oleh sebab itu, kedaulatan bukan hanya milik negara; ia juga bersifat subjektif, dipraktikkan oleh banyak orang yang terlibat dalam studi Hubungan Internasional di keseharian mereka, dan membentuk cara pandang “negara” ketika memahami politik internasional.
Masalah Sesungguhnya
Nah, pertanyaannya: apakah tulisan di jurnal ilmiah yang sedang ‘viral’ itu adalah bentuk auto-etnografi. Sekali lagi, biarlah para peer-reviewer dan editor jurnal yang menjelaskan. Saya hanya menjelaskan apa yang disebut sebagai ‘auto-etnografi’ dan mana yang bukan.
Yang jelas, terlepas dari hal tersebut, ada satu refleksi yang bisa kita tarik. Jangan-jangan masalahnya bukan soal metode auto-etnografi atau bukan, tapi juga menggambarkan tradisi ilmiah di negeri kita hari ini, bahwa lembaga pengetahuan ilmiah mungkin sudah jadi tempat untuk sekadar memamerkan kekuasaan dan status sosial, dan isi pengetahuannya sudah tidak lagi dianggap penting.
Yang mestinya mendorong kita, sebagai warga persyarikatan Muhammadiyah, untuk bisa berbuat lebih baik daripada sekadar menjadi Profesor –baik yang Honoris Causa atau bukan.
Editor: Azaki K