IBTimes.ID – Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) merespon hasil ijtima Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai larangan ucapan salam lintas agama dan selamat hari raya keagamaan.
BPIP melihat dari terbitnya hasil ijtima MUI ini akan berpotensi merusak kemajemukan bagi warga negara karena realitasnya bangsa Indonesia terdiri dari beragam etnis, agama, dan kepercayaan.
Indonesia merupakan negara yang besar dengan berbagai suku, agama, dan kepercayaan, ras, adat istiadat, dan golongan di dalamnya. Wajah kebhinekaan ini adalah kekayaan luar biasa yang harus terus dipelihara dan dijaga bersama.
Indonesia sebagai negara yang berlandaskan pancasila, toleransi antarumat beragama menjadi salah satu kunci untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Semangat toleransi harus diperkuat di tengah keberagaman, bukan justru merusak sendi-sendi persatuan lewat berbagai keputusan dan kebijakan.
Eksistensi toleransi antarumat beragama sudah hidup ratusan tahun. Kita hidup berdampingan dengan damai. Ini menjadi kearifan bangsa sejak dulu. Sehingga tidak seharusnya negara tunduk kepada hasil ijtima yang menyebabkan terjadinya eksklusifitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika adalah kekuatan Indonesia. Perisai yang selalu menjaga keutuhan hidup berbangsa dan bernegara sejak zaman nenek moyang kita. Semangat toleransi, pluralisme, dan kerukunan beragama telah hidup secara kultural dan menjadi identitas bangsa ini.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai sebuah organisasi masyarakat harusnya tunduk dan taat kepada Pancasila dan UU Organisasi Kemasyarakatan. Dimana di dalam regulasinya mengatur bahwa setiap ormas berkewajiban untuk menjaga persatuan dan kesatuan NKRI. Namun penerbitan hasil ijtima MUI tentang pelarangan salam lintas agama dan selamat hari raya keagamaan jelas menegasikan kewajiban ormas sebagaimana di atur dalam UU Ormas Kemasyarakatan Pasal 21 di atas.
Maka dari itu, BPIP sebagai representasi negara yang bertugas menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila memiliki tanggungjawab untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa agar tidak diintervensi oleh dominasi kekuatan agama tertentu.
Berikut 5 sikap dan respon Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) terhadap Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagaimana dilansir dari laman Monitor Indonesia pada (10/6/24):
1. Secara teologis, terdapat perbedaan antar agama dan pemikiran agama, agama dan penafsiran agama. Hasil ijtima adalah pemikiran agama yang memiliki tafsir yang majemuk bukan mutlak, sehingga tidak memiliki kebenaran yang tunggal dan absolut. Hasil ijtima harus dibentuk atas perspektif yang luas, termasuk mempertimbangkan dokumen dan kesepakatan internasional.
Ada The Amman Message, 9 November 2024, Marrakesh Declaration, 22-27 Januari 2016, tentang Hak-hak Minoritas Beragama di Dunia Islam; Abu Dhabi Declaration, 4 Februari 2019, tentang Persaudaraan Umat Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Kehidupan Bersama (Declaration on Human Fraternity for World Peace and Living Together) dan Kesimpulan seminar international Universitas Al-Azhar Kairo 27-28 Januari 2020, juga harus diuji publik.
Layaknya Pancasila, sebagai hasil ijtihad yang sudah disepakati oleh semua pihak. Pancasila menjadi ijma atau konsensus tertinggi, terlengkap, dan paling mengikat.
Pancasila tidak dihegemoni oleh ajaran agama tertentu, namun Pancasila merepresentasikan substansi dari ajaran agama. Agama menjadi inspirasi batin dalam merepresentasikan nilai kemanusiaan dan persatuan yang tinggi. Sehingga semakin taat beragama seseorang, semakin ia menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila.
2. Secara sosiologis, hasil ijtima tentang pelarangan ucapan salam lintas agama dan selamat hari raya keagamaan mengancam eksistensi Pancasila dan keutuhan hidup berbangsa yang sejak dahulu telah terkristalisasi menjadi sebuah kearifan lokal. Tradisi ini menjadi bagian yang diwariskan sejak ratusan tahun oleh nenek moyang kita.
Keutuhan bangsa yang telah hidup ratusan tahun ini tidak boleh direduksi oleh kelompok keagamaan tertentu yang berpotensi mempolarisasi, mendisharmonisasi, dan mendistegrasi keutuhan bangsa.
3. Secara yuridis Islam, hasil ijtima hanya memiliki daya yang mengikat secara internum umat muslim dan forum keagamaan muslim, sehingga tidak boleh dipaksakan ke dalam forum publik secara eksternum karena akan mereduksi nilai-nilai persatuan dan penghargaan terhadap kemajemukan berbangsa.
4. Secara konstitutif, Pancasila sebagai dasar hukum tertinggi harus menjadikan seluruh kebijakan tunduk dan mengacu pada nilai-nilai Pancasila. Pancasila menjadi pedoman dalam setiap penyusuan produk hukum dan kebijakan yang menyangkut kepentingan umum.
5. Kehadiran negara dan peran masyarakat sangat dibutuhkan untuk menjaga eksistensi Pancasila di ruang publik demi terciptanya kesetaraan bagi setiap warga negara.
Mereka yang menyatakan dirinya sebagai bangsa Indonesia, memiliki KTP Warga Negara Indonesia, wajib melaksanakan konsensus Pancasila. Dimana di dalamnya mengandung semangat toleransi dan menghormati perbedaan dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika.
(Soleh)