Sebagai seorang akademisi, saya cukup miris, heran, dan sekaligus terusik dengan sebagian rekan akademisi lain yang memandang rendah profesi artis. Ungkapan-ungkapan sinis akademisi kepada artis cukup melimpah di media sosial, yang muaranya adalah mereka tidak rela artis mendapatkan uang lebih banyak daripada cuan yang bisa dibawa pulang akademisi.
Ungkapan-ungkapan yang populer itu misalnya, “Artis kerja untuk merusak masyarakat dibayar mahal; guru untuk mendidik dibayar murah”, “Akademisi kerja serius, gaji main-main; artis kerja main-main, gaji serius”, “Enak jadi artis, tinggal tampil di TV dapat bayaran besar, tak perlu bertahun-tahun kuliah dan bikin skripsi.” dan sederet ucapan sinis lain yang tak sedap dibaca atau didengar.
Saya yakin bahwa akademisi seperti itu sudah kehilangan cara bijak untuk menarik perhatian, penghargaan dan tentu saja duit bin fulus. Semua pasti tahu bahwa siapa pun yang bekerja patut dihargai dengan layak. Akan tetapi, tak sepatutnya seorang akademisi mempopulerkan pemikiran eksklusif bahwa guru lebih pantas dibayar mahal daripada artis.
Jika belum tahu, patut diketahui bahwa menjadi artis tak segampang yang dibayangkan guru/dosen nyinyir tadi. Saya menggunakan istilah artis dalam definisi orang awam, yaitu semua pekerja seni/hiburan populer. Modal yang dikeluarkan dalam perjalanan menuju puncak tak bisa dibilang murah—cek saja berapa harga biaya kursus mata pelajaran dan kursus seni (modeling, musik, vokal, lukis) dan alat pendukungnya.
Berapa lama investasi waktu, pikiran, dan tenaga untuk layak naik panggung, bahkan menjadi uang. Peluang gagal menjadi artis berbayaran mahal (sebagai karir/penghidupan) juga sangat tinggi—bandingkan dengan peluang gagal untuk menjadi guru/dosen. Rentang masa jaya seorang artis juga pendek. Risiko ini belum termasuk nyinyiran di masa-masa awal oleh orang sekitar.
Secara umum bayaran akademisi di mana pun memang tergolong rendah dalam struktur gaji publik, dilihat dari level pendidikan formal. Saya pribadi berteman dengan beberapa guru/dosen di Singapura, yang menurut orang Indonesia digaji mahal. Mereka juga mengaku ngos-ngosan dengan gaji mereka.
“Kalau menikah, dua-duanya harus kerja. Jika tidak, seorang guru sulit punya rumah,” saya ingat betul kata salah satu dari mereka. Saya tak pernah tanya berapa nominalnya, karena saya bisa cek di internet gaji rata-rata seorang guru di sana. Gaji mereka jauh di bawah pendapatan teman lain di Singapura yang berprofesi sebagai pengacara, disparitasnya mirip-mirip di Indonesia.
Gaji akademisi yang rendah adalah masalah global. Akademisi boleh mengeluh atau protes untuk memperjuangkan asupan gizi, tapi mengunggulkan profesi atau diri sendiri sambil merendahkan yang lain adalah kebingungan berpikir.
Kecemburuan yang Tak Masuk Akal
Tentu saja serangan akademisi ke artis bersumber dari kecemburuan, secara terselubung maupun terus terang. Serangan sejumlah akademisi berbayaran murah kepada artis pop tersebut sebetulnya perbandingan yang tidak setara: mereka membandingkan dirinya dengan artis pop. Seharusnya dia membandingkan artis popular dengan akademisi tenar pula, sebuah serangan yang sebetulnya hanya membuka buruknya kualitas dalam berlogika.
Jika kita mau terbuka mencermati, baik akademisi maupun artis sebetulnya memiliki kesamaan fundamental, yaitu sama-sama penampil: artis di depan panggung, akademisi di depan kelas. Artis sedih ketika fans bubar, guru mengamuk ketika ditinggal murid bicara sendiri—keduanya haus dengan perhatian publik. Guru beruntung karena bisa menempeleng murid (seperti di banyak berita), sulit menemukan kasus artis yang melempari penggemarnya yang bubar.
Dalam perjalanan karir keduanya, semakin besar fans, tambah besar pula pundi-pundi finansial yang bisa dikeruk. Sebetulnya, akademisi yang populer juga kaya raya, bahkan jika punya sekolah/padepokan yang besar, mereka bisa menyedot banyak sumber daya secara permanen, pun bisa menarik dana publik tanpa perlu adanya audit eksternal dalam penggunaannya. Artis sulit melanggengkan pendapatan seperti ini. Di sisi ini, seharusnya akademisi tak perlu kuatir.
Kesamaan fundamental lain adalah keduanya menghasilkan uang dari kosakata. Evolusi linguistik tidak hanya bermanfaat melejitkan kecerdasan manusia, tetapi mampu digunakan untuk mencari nafkah. Lagu, puisi, prosa, drama adalah sekadar contoh karya artis yang menggunakan kosakata untuk menarik cuan. Di sisi lain, lebih jauh, seorang akademisi bisa mengklaim gerombolan kalimat yang dia buat sendiri sebagai pesan dari Tuhan. Sekali lagi, dari sisi produk yang dijual, sebetulnya akademisi menang banyak.
Sebab bersinggungan dengan fantasi publik, baik artis maupun akademisi juga sulit melepaskan diri dari citra-citra yang disematkan publik ke mereka. Publik ingin artis selalu tampil cakap dan menarik. Hasilnya, seorang artis tak bisa keluar rumah tanpa dandan dan pakaian unik. Di sisi lain, akademisi juga demikian. Meskipun sebetulnya ingin memakai kolor dan kaos oblong, dia tak mungkin melakukannya karena ada citra yang disematkan bahwa akademisi harus mengenakan pakaian dan asesoris tertentu.
Lagi-lagi, dari sisi citra pun akademisi lebih unggul karena ada konotasi baik pada pakaian yang dikenakan akademisi. Bahkan, bukan akademisi tapi berpakaian ala mereka, orang akan menilainya sebagai barisan orang-orang saleh, bandingkan dengan cemooh untuk orang biasa yang dandan bak artis.
Artis mungkin hanya sedikit unggul pada kebebasan kreatif, spontanitas, dan tak terikat kewajiban-kewajiban prosedural. Mungkin ada yang masih ngotot, artis punya groupies. Jangan salah kira. Akademisi juga punya groupies, dengan kesiapan menjadi istri kedua dan seterusnya. Intinya, sama-sama berpotensi mendapatkan gratifikasi seksual.
Jadi, akademisi tak perlu menyerang artis saat menggerutu karena gaji seuprit dan menuntut upah layak. Lebih baik fokus dan jujur pada motif personal saat menjalani profesi. Katakan saja secara terus terang berapa per jam mengajar/ceramah ingin dibayar. Sebutkan seberapa tinggi nilai sebagai akademisi, metode mengajar apa yang sudah dikuasai, keahlian apa yang dimiliki, dan apa dampak bagi murid jika diajar dengan keahlian tersebut. Jika tidak cocok dengan harga, cobalah banting stir menjadi artis. Banyak orang pasti tak sabar ingin melihat secara langsung penampilan mantan akademisi yang mendadak jadi artis, apa benar artis jadi-jadian seperti ini pantas dibayar mahal.
Editor: Soleh