Budaya Thrift Shop
Istilah kalimat thrift shop awalnya marak di kalangan masyarakat. Namun, tahukah kita bahwasannya kata tersebut terlahir dari sebuah lirik lagu yang dipopulerkan oleh Macklemore, penyanyi rap asal Amerika, sebagai sebuah tren baru di kawula Muda, budaya berburu pakaian bekas (second hand fashion).
Budaya Thrift Shop ini menjamur pada abad ke 19, dengan konsep mass-production of clothing yang merubah cara pandang masyarakat perihal fashion. Karena, harga jual pakaian murah, sehingga timbul cara pandang bahwa pakaian merupakan barang disposable (sekali pakai, buang) (Raihana, 2020).
Dan hal demikian setidaknya memberikan dampak positif terhadap lingkungan (bi’ah). Kok bisa? Iya, karena dengan mengenakan pakaian-pakaian bekas, berarti secara tidak langsung kita ikut andil mengurangi sampah, berupa limbah pakaian-pakaian industri (Raihana, 2020)
Perintah Islam Menjaga Lingkungan
Islam sendiri mengajarkan kita untuk menjaga lingkungan, dan melarang untuk berbuat kerusakan (fasad). Kalimat al-fasad sendiri, disebutkan dalam Al-Qur’anul al-Karim sebanyak 52 kali, dengan berbagai bentuk varianya. Salah satunya yang ada pada QS. Ar-Rum ayat 41, yang penulis akan kupas dalam artikel ini (Hasan, 1322, p. 343).
Gerakan kesadaran lingkungan sendiri, cukup eksis hari-hari ini, yang dimotori oleh aktivis lingkungan termuda asal Swedia, yang bernama Greta Thunberg.
Greta Thunberg merupakan pemenang Person of the Year (tokoh tahunan) di majalah Time pada tahun 2019, dan merupakan sosok termuda yang menjadi cover majalah tersebut.
Sosok Greta Thunberg sangat menginspirasi empat juta orang untuk bergabung dalam aksi jeda untuk iklim (global climate strike), yang merupakan demonstrasi iklim terbesar sepanjang sejarah peradaban manusia (Leonardo, 2020).
Dalam agama Islam sendiri, gerakan kesadaran terhadap lingkungan dikenal dengan istilah fiqhul bi’ah. Sementara di dunia Barat ada slogan reboisasi, penghijaun, serta gerakan menanam atau istilah modernya one man one tree (satu orang menanam satu pohon) (Shomad, 2018, p. 367).
Perintah Melestarikan Lingkungan Surah Ar-Rum Ayat 41
Untuk menarik minat kajian akan hal ini, penulis menukil interpretasi tokoh ulama tafsir modern, yaitu Buya HAMKA. Penulis rasa, rujukan ini rasa munasib (cocok) untuk memecahkan masalah (problem solving) dengan corak tafsir al-adab al-ijtimai (sosial kemasyarakatan).
Sebagai sosok mufassir modern, Hamka punya interpretasi penafsiran menarik tentang lingkungan, terutama interpretasi surah Ar-Rum ayat 41.
Keilmiahan Tafsir Al-Azhar amat kental akan ayat ini. Sebagaimana Hamka pun terkagum-kagum memikirkan ayat ini. Karena kata Hamka, ayat ini akan selalu sesuai dengan perkembangan zaman (shalih likulli zaman).
Berikut firman Allah SWT:
ظَهَرَ الفَسَادُ فىِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِالنَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِى عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.
Diciptakannya manusia di muka bumi ini sebagai khalifah Allah SWT. Yang berarti, sebagai pelaksana bagi kemauan Tuhan. Oleh karenanya, menjadi khalifah hendaklah sekaligus menjadi muslih. Yaitu suka memperbaiki serta memperindah, bukan justru terbelalak pesona melihat bangunan menjulang tinggi, jembatan-jembatan panjang, janganlah hal tersebut dianggap pembangunan, jika berbanding terbalik dengan jauhnya jiwa akan Tuhan (Guci, 2017, p. 120).
Di zaman yang amat pesatnya pengetahuan ini, tutur Hamka, hidup semakin mudah. Namun, kejahatan tumbuh subur mengintai menghancurkan orang lain, jarak tempuh daratan semakin dekat, namun hati semakin jauh. Karena, manusia serba bosan dengan kemewahan, banyak yang bunuh diri, bahkan banyak yang depresi yang berujung pada sakit jiwa, tepat dengan sambungan ayat ini ‘’Supaya mereka deritakan setengah dari apa yang mereka kerjakan” (Guci, 2017, p. 122).
Dalam sambungan ayat di atas, tutur Hamka, nyata sekali bahwa tidak semua perbuatan manusia itu jahat, bahkan hanya setengah saja. Misalnya, seperti kecepatan kapal udara. Sehingga, memudahkan hubungan antar manusia. Namun setengahnya lagi, kapal udara justru diciptakan untuk melempar bom atom, bom hidrogen, dan senjata-senjata nuklir (Guci, 2017, p. 122).
Namun yang perlu digaris bawahi, yaitu bagaimana Hamka mengaitkan penafsiran surah Ar-Rum ayat 41 dengan standar keilmuan modern yaitu futurologi. Karena tutur, Hamka ayat 41 surah Ar-Rum ini akan selalu sesuai di setiap zaman (shalih likulli zaman).
***
Sementara itu, ilmu futurology merupakan pengetahuan tentang yang akan kejadian karena memperhitungkan perkembangan yang sekarang (Guci, 2017, p. 122). Dalam hal ini terdapat dua contoh, sebagai berikut:
Pertama, kerusakan yang terjadi di darat, yaitu polusi yang bersumber dari asap dari zat pembakar, bensin, solar, asap pabrik, yang menjadikan udara tercemar yang berimbas pada udara yang kotor, yang berimbas pula pada paru-paru manusia yang dipenuhi dengan kotoran. (Guci, 2017, p. 123)
Kedua, kerusakan yang terjadi di laut, banyaknya kapal-kapal besar pembawa minyak tanah atau bensin pecah dilautan, sehingga air laut tercemar. Belum lagi air dari pabrik-pabrik kimia yang mengaliri sungai-sungai menuju lautan. Sehingga, air laut dipenuhi racun serta berimbas pada ikan-ikan yang mati keracunan, contohnya di sungai Seine di Eropa, yang menghempaskan ikan-ikan ke bibir pantai dalam keadaan mati keracunan. Di akhir tafsiranya, Hamka mengingatkan untuk memperbaiki hubungan dengan Tuhan. Serta, jangan memikirkan keuntungan laba perorangan lantas merugikan orang lain dengan meninggalkan kerusakan di muka bumi (Guci, 2017, p. 123) Wallahua’lam.
Editor: Yahya FR