IBTimes.ID, YOGYAKARTA— Merespon kasus-kasus represi dan teror politik, Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM dan Kebijakan Publik bersama Majelis Hukum dan HAM (MHH PP Muhammadiyah) menyelenggarakan Rembug Nasional bertema Ancaman Kebebasan Sipil dan Keadilan Sumber Daya Alam. Pembukaan diskusi serial Rembug Nasional diselenggarakan pada hari Rabu, 8 Juli 2020.
“Kita bersama-sama (selaku koalisi rakyat dan masyarakat sipil) menyerukan reposisi kebijakan Negara. Kita ajak ke jalan yang benar sesuai dengan amanat konstitusional, yakni kembali kepada kedaulatan rakyat dan kemerdekaan bangsa” papar Busyro menjelaskan latar penyelenggaraan Rembug Nasional dalam sambutannya sebagai pembicara kunci pada pembukaan sesi hari pertama.
Busyro menyampaikan pentingnya reposisi alur kebijakan Negara. Sebab, menurut Ketua PP Muhammadiyah Bidang Majelis Hukum dan HAM ini, pengalaman Indonesia di bawah rezim Orde Baru sungguh sulit. Koalisi rakyat dan masyarakat sipil tidak mungkin berkembang. Organisasi Islam juga tidak bisa mendesain perubahan sosial. Situasi represif Orde Baru sebaiknya tidak terulang kembali. Kendati demikian, Busyro mengatakan gejala politik sudah ada. Dia mencontohkan adanya remiliterisasi dan repolisisasi, peradilan yang tidak adil, hilangnya orientasi kemandirian ekonomi dan berbasis pada ekonomi kerakyatan dan menguatnya oligarki politik serta bisnis.
Busyro Muqoddas: Ada Hikmah dari Orde Baru
Membuka Rembug Nasional seri pertama, Busyro menjelaskan bentuk-bentuk politik kekerasan Orde baru. Pertama, Busyro menjelaskan mengenai rentetan kasus-kasus pelanggaran HAM berat selama era Orde Baru berkuasa seperti kasus pembantaian 1965, operasi Penembakan Misterius (Petrus) yang dimulai pada tahun 1982, kasus Tanjung Priok tahun 1984, kasus Talangsari 1989, dan operasi militer di Aceh tahun 1990. Belum lagi kasus kekerasan di Papua yang sudah terjadi sepanjang era Orde Baru. Busyro mengatakan bahwa tren kekerasan itu masih berlanjut hingga pasca reformasi dengan kasus Papua dan Aceh. Kedua, Busyro menyinggung praktik peradilan sesat yang menjadi ciri khas orde baru. “Banyak dokumen yang bisa dibuka terkait dengan praktik peradilan sesat” ungkap Busyro.
Ketiga, Busyro mengatakan bahwa negara ala Orde Baru sangat aktif memproduksi konten atau wacana tandingan untuk meredam koalisi rakyat dan masyarakat sipil. Busyro mencontohkan seperti politik label politik “kiri”, “komunis” dan “marxis” untuk mendakwa atua menangkap oposisi dari kalangan sipil. Belum lagi bahwa politik label itu berkelindan dengan praktik pemaksaan asas tunggal sehingga orang atau kelompok yang menolak akan dituduh subversif. Pemaksaan tafsir tunggal Pancasila adalah bagian dari politik wacana negara untuk mengontrol sekaligus mengawasi politik alternatif yang diselenggarakan negara.
Keempat, Busyro mengingatkan bahwa tujuan utama dari semua tindakan represif dan kontrol negara Orde Baru tidak lain adalah untuk menumpuk kapital negara untuk kepentingan segelintir elit. “Praktik vulgar nepotisme adalah sumber korupsi politik” jelas Busyro. Mantan ketua KPK ini mengingatkan bahwa negara ala Orde Baru tersebut jelas-jelas institusionla dan membangkang dari amanat UUD 1945.
Catatan Kritis Etis Negara Pasca Orde Baru (1998-2020)
Membuka catatan kritis mengenai tren kekuasaan negara pasca Orde Baru, Busyro menggambarkannya dengan sejumlah kasus kekerasan dan teror. Ia mengungkap kasus yang menimpa aktivis Nahdlatul Ulama (NU) di Lumajang, Jawa Timur. “Aktivis ini meninggal dengan mengenaskan akibat mengadvokasi warga untuk menolak tambang pasir besi di Cipasir. Dia meninggal dengan tanda-tanda kekerasan yang diduga juga melibatkan aparat keamanan” jelas Busyro. Ketua PP Muhammadiyah ini juga mengatakan kasus kekerasan serupa juga terjadi pada petani di Kendeng, Jawa Tengah, korban tambang Halmahera dan Banyuwangi.
Busyro juga menyinggung praktik teror terhadap Komisi Pengawasan Korupsi (KPK), termasuk kasus yang belum ini diperbincangkan publik yakni kasus Novel Baswedan, penyidik KPK. Teror terhadap lembaga antirasuah ini melibatkan petinggi kepolisian yang dikenal dengan “Cicak versus Buaya.”
Secara khusus Busyro mengatakan bahwa kekerasan politik agraria adalah yang paling kelihatan jelas. Mengutip data dari Konsorsium Pembaruan Agraria, ia menunjukkan praktik perampasan dan penguasaan tanah yang timpang di Indonesia. “Segelintir minoritas menguasai sejumlah besar tanah” singgung Busyro. Politik agraria dengan merampas tanah untuk kebutuhan perkebunan sawit, tambang batu bara dan industri pembangkit tenaga listrik semakin mengkhawatirkan.
Represi Politik, Kontrol Wacana Negara, dan Nepotisme
Busyro menyayangkan bahwa era presiden Joko Widodo, tren represi politik justru makin menguat. “Justru pada era kepemimpinan sipil, ragam represi politik menyebar dan meluas” ungkap Busyro. Dia beranggapan munculnya UU ITE, UU KUHP baru, revisi UU KPK dan sejumlah produk undang-undang (rangkaian Omnimbus Law) memperkuat praktik represi dan kekerasan konstitusional. Busyro memberi catatan bahwa bentuk represi politik saat ini berbeda. Sebab, model kontrol sosial dan represi politik seringkali kasat mata. Misalnya kasus peretasan media sosial dan nomor telepon sejumlah aktivis belum lama ini. Begitu pula dengan kasus razia dan pemberhentian seminar, diskusi, acara bedah buku dan kajian kritis serta teror pada perguruan tinggi. Kebebasan akademik juga terancam dengan teror pembunuhan terhadap Profesor Ni’matul Huda dari Universitas Islam Indonesia.
Ancaman kebebasan akademik tersebut berlangsung bersamaan dengan upaya teror terhadap aktivis yang gencar mengkritik negara. Pemeriksaan dan peretasan pada Dandhy Dwi Laksono, produser Watcdoc Image yang aktif memproduksi film dokumenter kerusakan ekologi di Indonesia, karena dituduh pro “separatisme” Papua. Peretasan Ravio Patra, pengamat kebijakan publik yang mengkritik data penanganan wabah pandemi Covid-19. Somasi pada Farid Gaban, jurnalis senior, oleh seorang anggota partai politik akibat mengkritik kerjasama antara Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah dengan Blibli.com, platform dagang daring milik perusahaan Djarum.
Terakhir, Busyro mengingatkan problem laten yang masih langgeng sejak Orde Baru hingga sekarang, yakni korupsi dan nepotisme oleh elit politik dan birokrasi. “Selalu ada korelasi antara praktik suap dan suksesi politik, apalagi menjelang Pilkada” terang Busyro.
Busyro Muqoddas: Hasil Rembugnas akan Diserahkan Pada Presiden Joko Widodo
Semua bentuk represi politik yang akhir-akhir ini terjadi, semakin diperparah oleh tren kekuasaan nepotis. Busyro mengatakan, demokrasi pemilu akan berubah menjadi demokrasi transaksional. Berkaitan dengan itu, ia memperjelas kritik yang telah diungkap berulang kali mengenai keruntuhan demokrasi sipil dengan transaksi politik dan praktik nepotisme. “Demokrasi transaksional akan menghasilkan korporatokrasi kleptokratif, dan produknya adalah state capture corruption atau korupsi oleh negara, misalnya melalui politik legislasi, melalui perda dan lain sebagainya” papar Busyro.
Busyro mengatakan bahwa diskusi serial dalam Rembug Nasional ini akan berlangsung selama lima sesi. Hasil Rembug Nasional akan diserahkan pada Presiden Joko Widodo. “Rembug nasional ini dilakukan sampai 5 sesi, dan pada hari Sabtu 24 Juli kita akan merumuskan rekomendasi saat penutupan, yang akan diserahkan kepada Presiden Jokowi sehingga kembali ke jalan yang lurus” pungkas Busyro.