Sejalan dengan makin menguatnya populisme Islam dan terlibatnya tokoh-tokoh agamawan Islam di ranah politik praktis dewasa ini, sikap ekslusif dalam beragama juga makin menguat. Belum lagi makin mengglobalnya paham wahabisme juga turut andil bagi menguatnya sikap ekslusif di tengah umat. Bahkan, tidak hanya kepada agama lain, terlebih-lebih pada sesama saudaranya (umat Islam) juga mendapati sikap ekslusif dari model keberagamaan wahabisme.
Ekslusivisme yang diterapkan secara kaku dalam beragama akan cenderung menjadikan antar-umat beragama mengalami konflik abadi yang tak berkesudahan. Pandangan itu sangat berbahaya, karena memiliki kecenderungan untuk melahirkan arogansi spiritual. Oleh karena itu, semanagat toleransi yang merupakan manifestasi sikap inklusif, sering kali menjadi anti-thesis dari sikap ekslusivisme. Sikap inklusif, masih meyakini agamanya sebagai sumber kebenaran utama dan sumber keselamatan, tapi tetap berhubungan baik dengan kelompok agama lain untuk kebutuhan prgamatis (ekonomi, sosial-budaya). Sikap inklusif yang mendua itu sayangnya cenderung melahirkan gaya keberagamaan yang hipokrit dan hanya mengakui keragaman itu secara pragmatis, namun tidak secara dogmatis.
Bagi Farid Esack, salah seorang intelektual Muslim asal Afrika Selatan, toleransi saja tidak cukup, dan ia meyakini hanya pluralisme-lah yang bisa menjadi anti-thesis bagi keberagamaan yang ekslusif. Bukannya seperti sikap ekslusif yang arogan, dan hanya mengakui kebenaran subyektifnya sendiri, bukan pula sikap inklusif, yang cenderung menghargai keragaman karena kebutuhan pragmatis, pluralism menghendaki penerimaan keragaman agama bahkan sejak ranah doktrinal.
Ide Pluralisme Ada dalam Al-Quran
Menurut Esack, Al-Quran sesungguhnya banyak mengajarkan sikap-sikap pluralis dan justru sangat mengecam sikap-sikap eksklusifisme. Kecaman-kecaman ini, antara lain, tampak pada celaan yang diberikan Al-Qur’an pada kalian sebagian ahli kitab bahwa kehidupan hanya untuk mereka dan “tidak diperuntukkan bagi orang lain” (QS. Al-Baqarah, 94; 111), bahwa api neraka hanya akan menyentuh mereka beberapa hari (QS. Ali Imran; 24), bahwa kelalaian mereka di dunia tetap akan dimaafkan (QS. Al-A’raf; 169), dan bahwa mereka adalah satu-satunya kekasih Tuhan (QS. Al-Jumu’ah; 6)
Selain melarang keberagamaan yang ekslusif, Al-Quran juga secara tersurat mengajarkan ide-ide pluralisme. Berikut adalah bukti bahwa Al-Quran mendukung ide pluralisme.
Pertama, ahli kitab sebagai penerima wahyu diakui sebagai bagian dari komunitas. Sesungguh, inilah ummatmu, umat yang satu (QS. Al-Mukminun; 52). Pembentukan satu umat untuk ungkapan keagamaan yang berbeda-beda juga telah tersirat dalam Piagam Madinah.
Kedua, dalam bidang sosial terpenting, makanan dan perkawinan, Al-Qur’an secara tegas menyatakan, makanan orang ahli kitab adalah halal (sah) bagi kaum muslim dan makanan kaum muslim halal bagi ahli kitab (QS. Al-Maidah; 5). Begitu juga, laki-laki muslim dibolehkan mengawini “wanita suci ahli kitab” (QS. Al-Maidah; 5)
Ketiga dalam bidang hukum agama, norma-norma dan peraturan kaum Yahudi dan Nasrani diakui (QS. Al-Maidah; 47) dan bahkan dikuatkan oleh Nabi ketika beliau diseru untuk menyelesaikan perselisihan di antara mereka (QS. Al-Maidah; 42-43).
Keempat, kesucian kehidupan religius penganut agama wahyu lainnya ditegaskan oleh fakta bahwa izin pertama yang pernah diberikan bagi perjuangan bersenjata adalah untuk terjaminnya kesucian ini. “Sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian lainnya, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja dan sinagog-sinagog Yahudi, juga masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah” (QS. Al-Hajj; 40)
***
Melalui empat argument di atas, dapatlah kita pahami bersama, bahwa pluralism menjadi sikap dari Al-Quran sendiri dalam menghadapi realitas keberagaman yang telah menjadi fitrah manusia. Pluralisme menjadi sikap yang harus kita tempuh, bukan semata-mata untuk kepentingan sosiologis semata, namun lebih dalam dari itu karena hal itulah yang dikehendaki oleh Al-Quran, oleh Allah Swt. Penerimaan pada keragaman agama tidak bisa semata-mata dalam ranah sosial, namun harus dimulai dari ranah doktrinal, berakar kedalam basis pemahaman.
Pemahaman pluralism, akan menghidarkan umat beragama dari arogansi spiritual dan sekaligus pada sikap hipokrit, yang mana menerima perbedaan pada ranah sosiologis semata. Sebaliknya, akan melahirkan umat beragama yang bisa memandanga umat agama lain dengan setara dalam kebenaran dan setara dalam kemuliaan sebagai sesama umat manusia. Tugas umat beragama bukanlah menegaskan perbedaan dirinya di antara yang lainnya, tapi untuk saling bersaing, berlomba-lomba dalam melahirkan kebaikan dan kebijaksanaan yang berguna bagi umat manusia pada umumnya.
Fastabiq al-Khairaat dalam Menyikapi Keragaman
Menurut Esack, pemahaman yang pluralis dan perintah menjadikan pluralisme agama sebagai ajang perlombaan amal baik tidak hanya satu kali disampaikan Al-Qur’an. Dalam ayat lain yang juga turun di Madinah, AI-Qur’an menyatakan, bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya (likullin wijhatun huwa muwalliha). Maka, berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada Hari Kiamat). Sesungguhnya, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (QS. Al-Baqarah; 148)
Esack menyatakan bahwa tercakupnya agama lain (pluralisme) dalam al-Qur’an adalah sesuatu yang tidak dapat terelakkan. Tantangan untuk berlomba-lomba dalam kebajikan muncul segera setelah adanya pernyataan tentang beragamnya jalan keimanan. Jika Allah menghendaki, Dia tentu membuatmu satu kaum. Namun, Dia ingin menguji kamu dengan apa yang telah Dia berikan kepadamu. Karena itu, berlomba-lombalah dalam kebajikan.
Persaingan dalam melahirkan kebajikan dan kebijksanaan di tengah masyarakat tentu akan melahirkan masyarat yang tidak lagi membenci perbedaan, sebaliknya, mampu merayakan perbedaan. Perbedaan dalam agama adalah fitrah manusia, ia adalah kehendak Tuhan itu sendiri. Oleh karenanya, kita tak boleh melawan kehendak Tuhan atas keragaman tersebut, sebaliknya kita harus merayakannya dengan ber-Fastibiq al-Khairaat.