Hentikan lidahmu (menuduh kafir atau sesat) kepada ahli kiblat (umat Islam) selama mereka masih mengucapkan lâ ilâha illallâh muhammadur rasûlullâh (Imam Ghazali).
Pernyataan Imam Al-Ghazali di atas bukan lahir di ruang hampa, tetapi karena kegalauannya terhadap sikap para teolog (ahlul kalâm) saat itu yang acapkali mengkafirkan dan menyesatkan pihak-pihak yang dianggap berbeda secara ideologi, mazhab, aliran, atau tafsir keagamaan, padahal masih sama-sama pemeluk Islam.
Sebagaimana dimaklumi bersama, istilah kafir lazim disematkan untuk mereka yang berbeda agama. Kendati demikian, beberapa pihak Islam sendiri ada yang gemar mengafirkan orang atau kelompok Islam lain yang tidak sepaham dengan mereka. Dari sinilah kemudian Imam al-Ghazali mewanti-wanti kepada umat Islam untuk tidak mengkafirkan kepada sesama Muslim sepanjang mereka menyakini bahwa tiada tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya.
Imam Al-Ghazali dan Perbedaan Cara Pandang Agama
Imam Al–Ghazali adalah sosok ulama besar yang hidup pada abad ke-11 M. Beliau dikenal dengan pandangan moderatnya. Banyak karya beliau yang dijadikan pegangan oleh umat Islam Indonesia, sehingga umat Islam Indonesia mempunyai semangat moderatisme yang begitu tinggi dan mendalam.
Dalam pandangan Imam Al-Ghazali, perbedaan cara pandang dalam memaknai agama hendaknya jangan sampai menimbulkan sikap saling mengkafirkan dan menyesatkan. Beliau juga melancarkan kritik pedas kepada orang-orang yang terlibat dalam pengkafiran dan penyesatan semata-mata karena hasutan orang lain.
Hasut, iri dan dengki adalah penyakit hati yang sangat sulit disembuhkan dan merupakan bentuk dari kemaksiatan hati. Semua itu harus dibersihkan dari dalam hati dengan cara mendekatkan diri kepada Allah SWT secara intens. Selama hati diliputi rasa hasut, iri dan dengki, seseorang tidak akan sampai kepada hakikat keimanan. Sebab orang beriman adalah orang yang mencintai orang lain laiknya dia mencintai dirinya sendiri. Nabi Muhammad SAW bersabda, lâ yu’minu ahadukum hattâ yuhibba li akhîhi mâ yuhibbu li nafsihî (seseorang tidaklah beriman secara sempurna kecuali dia mencintai orang lain laiknya mencintai diri sendiri), HR. Bukhari.
Karenanya, menurut Imam Al- Ghazali, adalah bodoh jika seseorang beranggapan bahwa hadd at-takfîr (batas pengkafiran) adalah manakala berbeda dengan aliran yang diikuti, baik itu aliran Asy’ariyah, Mu’tazilah, Hanbali dan lain sebagainya.
Dewasa ini, pengkafiran tehadap kelompok yang dipandang berbeda seolah-olah telah dianggap lumrah. Sikap ini muncul untuk mendiskreditkan pihak yang dianggap sebagai lawan. Padahal, menuduh seseorang kafir atau sesat sama halnya dengan menghalalkan darah dan harta orang yang bersangkutan.
Pada zaman terdahulu, aksi pengkafiran dan penyesatan telah memakan korban yang tak terhitung. Sebut saja sebagai misal, Imam Syafii pernah dituduh sesat karena dianggap sebagai pengikut Syi’ah Rafidlah, Imam Abu Hanifah dianggap sebagai pembid’ah dan kafir. Bahkan salah seorang pengikut Imam Abu Hanifah, yaitu Imam Abu Bakar Asy-Syarkhasi harus dipenjara gara-gara tuduhan sesat.
***
Secara teologis, aksi pengkafiran dan penyesatan jelas bertentangan dengan prinsip ketauhidan yang menjadi dasar utama seluruh ajaran Islam. Kesaksian seorang muslim bahwa, “Tidak ada Tuhan selain Allah” mengandaikan bahwa tidak ada kebenaran mutlak kecuali kebenaran-Nya.
Di dalam Al-Quran ditegaskan, Sesungguhnya Tuhanmulah yang Paling Mengetahui siapa yang sesat dari jalanNya dan Dialah yang Paling Mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk(QS. Al-Qalâm: 7).
Ibnu Katsir di dalam kitab Tafsir-nya mengatakan, pengertian ayat ini adalah bahwa Allah SWT mengetahui dua golongan dari kalian; yang mendapat petunjuk dan yang sesat. Karena itu, manusia tidak memiliki wewenang untuk menghakimi dan mengintervensi keimanan seseorang, menganggap kelompok lain kafir, sesat atau salah. Sebab, hanya Allah-lah yang berhak memberikan label keimanan atau kekufuran kepada orang lain.
Apakah ada perbuatan yang lebih buruk dari tuduhan kafir atau sesat kepada orang lain? Pengkafiran dan penyesatan merupakan bentuk kazaliman dan harus dihentikan. Mengkafirkan dan menyesatkan orang lain karena perbedaan tafsir terhadap suatu ajaran agama sama halnya dengan membunuh orang tersebut, sebagaimana dikatakan Al-‘Alla bin Ziyad (seorang tabi’in), Tidak ada bedanya antara mengkafirkan seorang muslim dengan membunuhnya.
Sesama muslim adalah saudara. Selama masih mengatakan lâ ilâha illallâh muhammadur rasulullâh,” seseorang tidak layak disebut kafir atau sesat, karenanya darah dan hartanya tetap haram dan harus dihormati.
Pengkafiran dan penyesatan adalah hak prerogatif Allah SWT sebagaimana dijelaskan di atas. Dengan kata lain, tanpa disadari pengkafiran dan penyesatan telah menjerumuskan seseorang ke dalam jurang kemusyrikan. Padahal kemusyrikan adalah musuh utama kemanusiaan dan merupakan dosa paling besar.
Pengkafiran dan penyesatan akan menimbulkan iklim yang tidak sehat bagi keberislaman. Karena pengkafiran akan menimbulkan sikap saling curiga, permusuhan, kekerasan, dan lain sebagainya.
Citra Islam sebagai agama yang toleran dan anti kekerasan ternodai oleh aksi pengkafiran. Untuk menghindarinya mutlak diperlukan adanya kearifan, kesantunan, dan kedewasaan dalam melihat perbedaan, termasuk juga perbedaan dalam memahami agama dan menafsirkan kitab suci.
***
Imam Al-Ghazali telah memberikan teladan baik kepada kita semua agar tidak mudah mengafirkan atau menuduh sesat orang lain yang tidak sepaham. Sebagai pengikut Imam Al- Ghazali, umat Islam Indonesia sejatinya meneladani keteladanan beliau. Yaitu keteladanan yang mengedepankan kerukunan, perdamaian dan menghormati perbedaan.
Editor: Yahya FR