Oleh: Wahyu Fahrul Rizki*
Studi tokoh, terutama tentang Hamka (w. 1981), bukanlah barang baru dan lazim dilakukan di kalangan para sarjana. Pada umumnya, mereka menganalisis pemikiran Hamka hanya sebatas pada kover tanpa menjelajah lebih jauh buah pemikiran yang tertuang dalam magnum opus-nya.
Lebih jauh lagi mereka memposisikan Hamka sebagai mufasir tradisionalis hanya karena pernah mengeluarkan fatwa kontroversial tentang larangan kaum muslim berpartisipasi dalam merayakan Natal (1981). Hal ini dilakukan Hamka pada saat menjabat sebagai ketua MUI pertama di Indonesia (1975).
Ketradisionalisan Hamka tampak semangkin mencuat, tidak hanya keterlibatan Hamka dalam beberapa jabatan fongsional di Muhammadiyah, melainkan ke kagumannya terhadap Sayid Quthub (w. 1966) yang dihukum gantung karena dianggap telah melakukan konspirasi untuk membunuh presiden Mesir, Gamel Abdel Nasser.
Tidak bisa tidak bahwa sebagian kalangan menganggap sebagian kelompok Muhammadiyah mesih didominasi corak beragama yang kaku, kering, terutama saat berkonfrontatif dengan pergerakan modernitas. Belum lagi keterpukauan Hamka terhadap mufasir tradisionalis asal Mesir itu yang kerapkali mengkampanyekan melalui karyanya berjudul Al-Adalah Al-Ijtima’iyyah Fil Islam, 1948 bahwa keadilan sejati hanya akan tercapai jika masyarakat menerapkan sistem hukum Islam dan mengikuti kaidah-kaidah yang telah diajarkan.
Itulah beberapa catatan miring tentang Hamka, sehingga menempati posisi sebagai mufasir tradisionalis.
Catatan Yang Hilang Dari Hamka
Tulisang singkat ini palingtidak dapat membantah asumsi-asumsi yang tidak mendasar itu, alias pincang. Jika saja mau menelaah secara serius, kita baru akan menyadari bahwa keistimewaan “gagasan” mufasir asal Minangkabau ini, terletak pada kebaruannya dalam menstimulasi kembali khazanah keislaman yang telah lama “tidur”.
Hamka, sebagaimana tercantum dalam karya monumentalnya, menaruh harapan besar terhadap Agama Islam untuk tidak dipahami sebagai identitas, simbolik, eksklusif, terutama menjadikan Agama sebagai kedok untuk menjustifikasi sikap politik seseorang yang sempat mencuat beberapa tahun terakhir ini.
Hamka menegaskan bahwa dalam menekuni Agama tidak sebatas pada norma-norma Islam, lebih dari itu, yaitu “substansi dalam menjalankan Agama”. Hamka lebih menekankan Agama sebagai pedoman iman yang ada pada diri seseorang, terutama membersihkan niat hanya kepada Tuhan.
Kemudian catatan yang hilang dari Hamka adalah ketertarikannya terhadap gerakan reformai norma-norma Islam yang belakangan tampak kaku, sempit, jumud. Di sisi lain, Hamka juga menghindari taklid tanpa mempertimbangkan paham lain yang mungkin lebih dekat pada kebenaran. Lebi jauh lagi, menderong para sarjana mutakhir untuk berfikir logis dalam menghadapi persoalan-persolan yang lebih kompleks.
***
Ketertarikan Hamka terhadap gerakan reformai Islam semakin jelas dalam seluruh karyanya___ terutama tentang Tasauf Modern (1939), Falsafah Hidup (1940) Revolusi Agama (1946), tafsir Al-Azhar (1966)___ yang menjadi wadah baginya untuk menjelaskan ayat-ayat Al-Quran dan sekaligus menjawab problem sosial-keagamaan yang tergolong kompleks ketika itu.
Ketertarikannya itu semangkin kukuh ketika ia mengapresiasi keragaman, sosial dan Agama, di Yogyakarta yang jauh berbeda dengan tanah kelahirannya. Di sana ia menemukan apa yang disebut sebagai “Islam baru” atau “Islam yang hidup”, sehingga melahirkan pemahaman dan aktivitas Islam yang dinamis dan mampu menjawab persoalan-persoalan sosial dan budaya modern.
Keragaman di Yogyakarta itu sekaligus membuat Hamka banyak belajar dengan para cendekiawan muslim reformis; seperti Cokroaminoto yang mengajarinya banyak tentang sosialisme, R.M Suryopranoto yang mengajarkannya tentang sosiologi, H. Fakhruddin seorang pemimpin Muhammadiyah yang mengajarkannya tentang ilmu keislamaan dan Ki Bagus Hadikusumo yang mengajarkannya tentang tafsi Al-Quran.
Hal ini sekaligus membuktikan bahwa ormas Islam, seperti Muhammadiyah, tidaklah kaku dalam beragama dan justru memandang positif terhadap pergerakan modernitas, terutama pembaruan hukum Islam, sebagaimana yang diasumsikan banyak orang.
Hamka, Rasyid Ridha-nya Indonesia
“Keahlian dan keluasan pemikiran Hamka dalam merangsang kembali pemahaman tentang keagamaan, untuk sementara waktu, membuatnya layak dijuluki sebagai Bapak mufasir reformis atau lebih tepat lagi, Rasyid Ridha-nya Indonesia”. Inilah salah satu “peran” Hamka dalam mewarnai khazanah keislaman.
Hamka dalam memainkan haluan tafsirnya banyak memanfaatkan tafsir Al-Manar sebagai basis metodologinya. Meskipun di sisi lain juga tidak sedikit memanfaatkan tafsir lainnya, Al-Maraghi, Fi Zhilalil Qur’an, Mahasin Al-Ta’wil, namun menurutnya itu belum dapat mengimbangi kehujahan Al-Manar.
Hamka sang Bapak Reformis
Agar gagasan sang bapak reformis ini semangkin jelas dan terarah, maka pada bagian ini sedikit mengulas “buah” ide Hamka tentang teologinya orang Islam (3:19) yang kerapkali disalahpahami dan disalah gunakan oleh mereka-mereka yang mengaku-ngaku sebagai kelompok beriman.
Salah satu alasan yang mendasar mengapa saya mengangkat ayat 3:19 dalam pandangan Hamka. Ayat ini cukup rawan dan sensitif. Jika tidak hati-hati dalam memahaminya, maka negeri ini yang semula ramah, santun, saling berdampingan, menghormati dan menghargai, kini terasa “panas dan gerah”.
Aroma perpecahan dalam keragaman Agama di Indonesia, yang mayoritas Islam, beberapa tahun belakangan terasa mencuat. Segelintir etnis yang bukan beragama Islam kerapkali diasosikan dengan sesat dan kafir, terutama penghinaan terhadap simbol-simbol Agama lain. Pada akhirnya ayat ini pun menjadi tidak toleran dan digunakan sebagai justifikasi oleh kelompok-kelompok beriman untuk mengunggulkan Agama kelompoknya.
Hamka, melalui karya monumentalnya yang saat ini berumur setengah abad lebih, telah mendiskusikan cukup panjang, agar ayat ini dipahami secara harmonis dan komprehensif. Dalam konteks Indonesia yang memiliki kerukunan keragaman (Agama, suku, etnis) maka makna ayat “sesungguhnya Agama di sisi Allah hanyalah Islam” ini tidak dapat dipertahankan secara literal, sebagaimana dipahami pada abad ke-7M.
***
Hamka secara fasih menjelaskan tentang al-din dan al-islam. Menurutnya, din yaitu “Agama” merupakan suatu risalah yang dibawa Nabi-Nabi yang diutus oleh Tuhan. Sementara “Islam” ialah penyerahan diri kepada Tuhan, bukan sebagai identitas keagamaan.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa seseorang harus beragama, karena itu merupakan perintah Tuhan melalui para Nabi-Nya. Lebih lanjut, Hamka menegaskan bahwa ada misi dalam beragama, yaitu penyucian jiwa dari hal-hal yang keliru (kotor) dan meningkatkan kesempurnaan niat hanya kepada Tuhan.
Sementara bagaimana Agama itu dijalankan, maka itu adalah wilayah praktis yang setiap orang dapat menjalankannya, menurut keyakinan masing-masing melalui penyerahan diri hanya pada Tuhan dengan Ikhlas dan Tulus.
Akhir diskusi ini, Hamka memberikan kesimpulan cukup apik bahwa salah satu penyebab konflik antar Agama dan menganggap Agamanya paling benar, adalah karena orang beragama, Muslim, Yahudi, Kristen dan Hindu, tapi “tidak pernah mempraktikkan keyakinan mereka”.
Jika saja kita mau jujur dan mau menerima. Ayat yang semula dipahamai “sesungguhnya Agama di sisi Allah hanyalah Islam”, maka pada perkembangannya tidak menjadi persoalan, jika bergeser makna menjadi, “sesungguhnya Agama di sisi Allah hanyalah yang menjalankanya denga hati yang ikhlas dan tulus”.
*Mahasiswa Program Doktor UIN Sunan Kalijaga; Kajian Ilmu Hukum dan Pranata Sosial Islam