Kalau ada pertanyaan siapakah ulama nusantara yang punya paket keilmuan yang lengkap, Buya Hamka adalah salah satu jawabannya. Bagaimana tidak, beliau tidak hanya menulis karya buku atau kitab tafsir dan agama, tapi juga karya sastra berupa novel.
Mengenal Buya Hamka sebagai penulis, sastrawan, mufasir, sekaligus ulama merupakan sematan yang lengkap kepada beliau atas karya-karyanya. Bahwa beliau bukan hanya ulama yang bertabligh, tapi juga menggoreskan kedalaman ilmu dan kebijaksanaan nasihatnya dalam karya-karya tulisnya.
Maka tak heran, kalau sekarang namanya masih harum. Itu semua berkat karya tulisnya yang abadi masih dinikmati umat hingga kini. Karya-karya sastra beliau seperti yang kita ketahui ada Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Di Bawah Lindungan Kakbah, dan Terusir. Adapun buku petuah agama seperti serial Mutiara Falsafah Buya Hamka: Tasawuf Modern, Falsafah Hidup, Lembaga Hidup, dan Lembaga Budi. Semuanya masih relevan dan enak untuk dikhidmati.
Rahasia Kegigihan Menulis Buya Hamka
Melihat karyanya yang bejibun dan lintas genre, saya jadi bertanya-tanya, sebenarnya apa yang membuat daya menulis beliau begitu kuat dan menggebu? Pertanyaan dan rasa penasaran saya mungkin bisa mudah terjawab. Tentu karena beliau seorang ulama yang ilmunya dalam, kaya referensi, dan banyak baca buku.
Tapi, pertanyaan saya tentu tidak seklise itu, dan jawaban yang diharapkan tidak segeneral itu. Pertanyaan saya lebih terkait bagaimana cara beliau menulis; merangkai kalimat; menyelipkan makna; menasihati dengan lembut dan penuh kebijaksanaan; hingga menggebu dalam menulis dan berkarya.
Dalam pengantar buku Tasawuf Modern-nya beliau mengungkapkan rahasia menulisnya dengan sangat rendah hati, “Isi tulisan Tasawuf Modern itu bukan ciptaan otak kita, bukan dari filsafat kita yang masih muda dan masih sedikit pengetahuan. Tulisan ini hanyalah kita tilik dari buku-buku karangan ahli-ahli filsafat dan Tasawuf Islam…”
Dengan kata lain, beliau ingin menyampaikan bahwa suatu konsep atau konstruksi pemikiran tidaklah berangkat dari ruang kosong yang bernama pikiran diri sendiri. Ia berangkat dari kepingan-kepingan pemikiran orang lain, terlebih orang-orang yang lebih ahli dan berilmu.
Lebih lanjut beliau berkata, “Kita pertautkan di sana dan di sini. Kita rekat dengan pemikiran sendiri. Kita kumpulkan kata si anu dan si fulan, lalu kita namai dia tulisan kita…”
Ternyata, kata Buya Hamka, satu hal yang paling fundamental dalam menulis adalah memperkaya bacaan atau referensi. Dengan begitu, kita akan mampu menautkan pemikiran orang yang satu dengan pemikiran orang yang lain. Dari sintesis referensi pemikiran tersebut, kita susun dan tambahkan dengan pemikiran kita sendiri.
Karya Tulis Membutuhkan Literasi
Suatu karya tulis itu tidak lahir dari ruang kosong. Ia tidak berasal dari kehampaan dan kesenyapan, tapi dari keriuhan yang dihasilkan oleh pergulatan akan konsepsi-konsepsi pemikiran banyak orang. Maka dari itu, sangat penting memulai keinginan menulis dengan terlebih dahulu melahap banyak bacaan.
Mengutip perkataan Imam Fakhruddin Al-Razi, Buya Hamka secara terang-terangan menyatakan rahasia keuletannya, baik sebagai seorang ulama atau pun penulis, “Tidaklah ada yang kita dapatkan selama umur kita ini selain dari mengumpulkan kata si fulan dan si anu.”
Pengumpulan perkataan dan pengalaman si fulan dan si anu itulah yang membuat kita punya pemahaman dan pemaknaan yang solid dan komprehensif atas suatu hal. Seperti halnya Buya Hamka yang menulis karya tulis Tasawuf Modern, beliau dengan gamblang bahwa tulisannya merupakan pertautan antara kitab-kitab para ulama dan pemikir.
Disebutkannya kitab-kitab itu, antara lain Ihya Ulumuddin, Arba’in fi Ushuluddin, Bidayah, Al-Hidayah, Minhajul Abidin karya Imam Al-Ghazali; Ringkasan Ihya karya Jamaluddin Al-Dimsaqy; Tahdzibul Akhlaq karya Ibnu Maskawih; beberapa risalah karya tulis Ibnu Sina; Tafsir Mohammad Abduh; Raddu’alad Dahriyin karya Jamaluddin Al-Afgani; Abadud Dunya Wad Din karya Al-Mawardi; dan lain-lain.
Menggubah untuk Mengubah
Satu poin penting yang harus digarisbawahi dari Buya Hamka tentang menulis adalah perkataan beliau yang menyebutkan bahwa menulis berarti menggubah, “Kalau mengumpulkan dan mempertautkan sudah boleh dinamai tulisan, kalau memasukkan pemikiran dan penderitaan kita sendiri itu barang sedikit sudah bernama gubahan,” kata beliau.
Menggubah berarti mengumpulkan bacaan atas pemahaman dan pengetahuan orang-orang yang lebih alim dan abid. Kemudian pengumpulannya dipertautkan satu sama lain, dikolaborasikan, setelah itu dituliskan pula pandangan, pendapat, dan pengalaman pribadi. Itulah sejatinya proses menulis, kalau kita hendak berguru kepenulisan kepada Buya Hamka.
Esensi menulis atau menggubah yang kita pelajari dari Buya Hamka tidak berhenti pada proses atau teknis menulisnya, tapi juga tahapan selanjutnya adalah fokus mencapai tujuan dari tulisan yang telah kita buat.
Dilihat dari seluruh karya dan pengalaman menulisnya, mulai dari kolomnis dan pemimpin majalah, hingga menjadi penulis buku. Terlebih lagi buku-bukunya beragam genre: karya sastra, pemikiran dan pergerakan Islam, petuah dan nasihat agama, sampai tafsir Al-Quran. Karya-karyanya tersebut membuat jelas dan bulat bahwa orientasi beliau dalam menggubah adalah untuk mengubah.
Tantangan Ulama Mengubah Umat
Mengubah umat yang tadinya terbelakang dalam keilmuan menjadi tercerahkan; mundur dalam peradaban menjadi berkemajuan; rendah dalam akhlak menjadi berkeadaban. Demi perubahan dan kemaslahatan umat yang perlahan tapi pasti dan signifikan, Buya Hamka terus menggoreskan pikiran dan perasaannya dalam guratan pena.
Untuk menghasilkan kemampuan dan kekuatan yang ampuh dalam menggubah, proses latihan saja tidak cukup. Semua itu perlu dilandasi oleh tujuan mulia yang kokoh agar pada prosesnya kita selalu teguh dan tangguh menghalau segala godaan.
Dari sekian banyak tujuan, menyebarkan gagasan untuk perubahan adalah hal yang paling konkret kita lakukan. Meminjam ungkapannya Buya Hamka dengan sedikit modifikasi, “Kalau menulis sekadar menulis, semua orang pun bisa menulis. Kalau menggubah sekadar menggubah, orang dengan nalar cacat dan sesat pun bisa menggubah.”
Menyadari bahwa tulisan tidak sekadar penuangan pikiran, tapi lebih dari itu terdapat ide dan gagasan ideologis membuat kita harus menancapkan kuat dalam sanubari bahwa kita menggubah untuk mengubah. Bahwa perubahan bisa tercipta oleh gubahan yang menggugah, mencerahkan, dan membangkitkan.
Tulisan atau gubahan tidak akan pernah mati ditelan zaman. Ia akan selalu hidup mewarnai kehidupan umat manusia, bagaimanapun kebudayaannya. Dari dulu hingga sekarang, tulisan selalu menjadi corak kehidupan manusia, walau mediumnya senantiasa mengalami perkembangan.
***
Menggubahlah sesuatu yang menggugah, agar gubahan itu terpatri dalam benak setiap orang; tidak menguap dengan mudah. Gubahan adalah usaha untuk mencipta perubahan dalam peradaban kehidupan, sekaligus tanda dan jejak bahwa kita pernah menginjakkan kaki di muka bumi. Semua itu dicontohkan secara paripurna oleh Buya Hamka.
Terkhusus kepada Buya Hamka, terima kasih telah menggariskan nama besarmu dalam sejarah tokoh intelektual bangsa dengan ikatan-ikatan ide di setiap karya tulismu. Sungguh, semua itu merupakan kekayaan dan warisan yang takkan pernah hilang dalam ingatan; takkan lekang dalam gerusan zaman.
Editor : Shidqi Mukhtasor