Feature

Buya Hamka yang Mengubah Hidup Kami

4 Mins read

Pada masa akhir perkuliahan di 2021, saya merasakan jatuh cinta pada karya-karya romantika dan esensial gubahan dari ketua MUI pertama Indonesia, Buya Hamka. Beberapa kali saya pernah mendengar nama beliau dari perkuliahan yang disampaikan oleh dosen-dosen di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Diantara karya beliau yang membuat saya untuk mulai menyelami alam pikirannya yakni 1) Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, 2) Merantau Ke Deli, 3) Pribadi Hebat, 4) Bohong di Dunia, 5) Angkatan Baru, 6) Studi Islam, 7) Pelajaran Agama Islam, 8) Lembaga Hidup, 9) Lembaga Budi, 10) Tasawuf Modern, dan 11) Falsafah Hidup. Sengaja saya tulis semua, untuk menjadi referensi kawan-kawan yang mencari referensi karya besar beliau.

Tidak hanya membaca bukunya saja, bentuk ekspresi saya untuk mengidolakan beliau sampai-sampai setiap kutipan beliau saya sertakan dalam Laporan Pertanggung Jawaban Himpunan Mahasiswa Islam, ketika kala itu saya menjabat sebagai ketua. Bahkan ketika forum diskusi dan persentasi lomba pun saya turut menyertakan nasehat beliau. Tak lupa juga wallpaper gawai saya dihiasi oleh wajah beliau.

Buku yang Mengubah Hidup Kami

Saya percaya bahwa karakter kita terbentuk setidaknya dari lingkungan keluarga, pengalaman yang dilalui, bahkan dari buku bacaan yang dituntaskan serta dipahaminya. Tempo hari, senior kami pun di organisasi mengatakan, “jika kamu ingin tahu karakter seseorang, setidaknya bisa dilihat dari koleksi buku yang berjejer di kamar kosnya.” Namun saya bergeming, “ahh, belum tentu juga itu buku dibaca semua olehnya.” Tetapi, perkataan senior saya itu benar adanya, hingga kami menemukan satu buku karya Buya Hamka yang mengubah cara pandang kami tentang makna taubat dan pengawasan Allah.

Buya Hamka & Sholat Taubat

Dalam sebuah buku yang ditulis oleh putra ke-5 Buya Hamka, Irfan Hamka. Buku itu berjudul “Ayah”, yang saya beli dipenghujung semester perkuliahan. Sangat disayangkan pula jika selama ini saya membaca buku, namun tidak ada hal yang mempengaruhi diri saya untuk lebih baik, dan buku ini pun menjadi jawabannya.

Baca Juga  Pujian Setinggi Langit Robert Hefner untuk Muhammadiyah

Berikut adalah sub bab yang membuat saya terharu dan mengubah cara pandang saya tentang komitmen ketaatan kita kepada Allah Swt.

Lebih dari 40 tahun Ayah dan Ummi saling mendampingi. Segala duka-cita mereka hadapi berdua dari masa usia muda. Ketika menikah, ayah berumur 19 tahun, sedangkan Ummi 15 tahun. Keduanya dikaruaniai 12 orang anak. Dua di antaranya meninggal dunia di usia dini. Dapat dibayangkan perjuangan Ayah dan Ummi sebagai orangtua dalam membesarkan sepuluh orang anak hingga kami dewasa dan menikah.

Setelah Ummi wafat, aku mulai merasa khawatir terhadap Ayah, karena Ayah pun mulai digerogoti diabetes, mungkinkah kepergian Ummi membuat kondisi kesehatan Ayah semakin menurun?

Ternyata kekhawatiranku tidak terbukti !

Memang untuk beberapa waktu Ayah lebih banyak tinggal di rumah, tidak pernah bepergian. Tamu-tamu berdatangan silih berganti menyampaikan rasa ikut berduka cita. Undangan ke luar kota tidak dapat Ayah penuhi.

Setelah aku perhatikan bagaimana Ayah mengatasi duka laranya sepeninggal Ummi, baru kemudian aku mulai bisa menyimak. Bila Ayah sedang sendiri, Ayah selalu kudengar bersenandung dengan suara yang hampir tidak terdengar. Menyenandungkan “Kaba.”

Senandung Kaba biasanya dinyanyikan dengan iringan saluang atau rebab. Bila selesai bersenandung, Ayah mengambil air wudhu, lalu shalat. Selesai shalat, Ayah tiduran di tempat tidur sambil bersandar di bantal yang disandarkan di kayu tempat tidur itu. Dari bawah bantal yang lain Ayah mengambil Alquran kecil, kemudian hanyut membacanya. Salah satu kebiasaan Ayah, ia tak akan berhenti membaca Alquran sebelum ia mengantuk. Beliau akan terus membacanya sampai 2-3 jam. Karena itu, Ayah bisa menghabiskan 5-6 jam sehari hanya untuk membaca Alquran.

Dalam hal kuatnya Ayah membaca Alquran, suatu kali pernah aku tanyakan kepada Ayah.

“Ayah, kuat sekali Ayah membaca Alquran?” tanyaku kepada Ayah.

“Kau tahu, Irfan. Ayah dan Ummi telah berpuluh-puluh tahun lamanya hidup bersama. Tidak mudah Ayah melupakan kebaikan Ummi. Itulah sebabnya bila datang ingatan Ayah terhadap Ummi, Ayah mengenangnya dengan bersenandung. Namun, bila ingatan Ayah kepada Ummi itu muncul begitu kuat, Ayah lalu segera mengambil air wudhu. Ayah shalat Taubat dua rakaat. Kemudian Ayah mengaji. Ayah berupa mengalihkannya dan memusatkan pikiran dan kecintaan Ayah semata-mata kepada Allah,” jawab Ayah.

“Mengapa Ayah sampai harus melakukan shalat Taubat?” tanyaku lagi.

“Ayah takut, kecintaan Ayah kepada Ummi melebihi kecintaan Ayah kepada Allah. Itulah mengapa Ayah shalat Taubat terlebih dahulu,” jawab Ayah lagi.

Soal Akidah, memang Ayah sangat berhati-hati sekali.

Urgensi Taubat dan Menyegerakannya

al-insân makânul khatha’ wan nisyân, manusia itu tempatnya salah dan lupa. Itulah mengapa taubat itu harus diutamakan. Manusia kecendrungan salah dan khilaf, kecenderungan tidak ingin disalahkan, kecenderungan melakukan pembenaran, dual-dimension (munafik) dan godaan dari luar diri manusia.

Baca Juga  Tradisi Iwadh: Wujud Moderasi Beragama di Kampung Arab Ampel Surabaya

Selepas membaca buku “Ayah”, saya bersama rekan-rekan di kontrakan mendiskusikan betapa pentingnya diri kita yang sering tidak Insaf untuk memeriksa diri sendiri akan lalainya ketaatan kita kepada Allah. Jangankan menumbuhkan rasa cinta kepada Allah, melaksanakan ibadahnya pun seringkali kita melaksanakan tanpa perasaan hanya sekedar menuntaskan kewajiban, parahnya lagi sebagian kita meninggalkan kewajiban itu.

Buya Hamka saja yang jatuh cinta kepada pasangan halal yang telah tiada, beliau merasa bersalah sebab khawatir cintanya melebihi daripada cinta kepada Allah. Bagaimana dengan diri ini seringkali khilaf mencintai seseorang yang belum halal untuk kita.

Lalu bagaimana kita yang merasa pesimis untuk bertaubat? Menurut Imam Al-Ghazali, jika kamu berkata: “yang menghalangiku untuk bertaubat ialah karena aku merasa mungkin saja aku kembali melakukan dosa setelah taubat. Jadi taubatku tidak ada faedahnya.”

Maka jawabnya adalah: ketahuilah, perasaan dan sangkaan itu semata-mata tipuan setan. Dari mana kamu tahu jika kamu akan kembali melakukan dosa? Padahal, ada juga kemungkinan, setelah bertaubat kamu dipanggil pulang ke rahmatullah, sebelum kembali mengerjakan dosa. Dengan demikian kamu termasuk orang yang mati bahagia. Bersih dari dosa, mati dalam keadaan khusnul khatimah.

Dalam literatur lain pun, saya menemukan sebuah perkataan menarik tentang pertaubatan, yang diucapkan oleh Rabiah al-Adawiyah:

“Aku telah sering berbuat dosa dan menjadi semakin tidak taat. Tetapi, apabila aku bertaubat, akankah Allah mengampuninya?”. Rabi’ah menjawab: “Tidak. Tetapi apabila Allah mengampunimu, maka engkau akan bertaubat.”

Jadi, agenda mendesak kita adalah menyegerakan untuk bertaubat. Dalam memotivasi manusia untuk bertaubat, Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (Q.S. Al-Baqarah: 222).

Baca Juga  Tanggapan atas Testimoni yang Dinisbatkan kepada Hamka "Saya Kembali ke Ru'yah"

Semoga Allah sudi untuk menghapus segala kesalahan kita, baik itu yang disadari ataupun tidak, baik itu yang disengaja ataupun tidak, baik itu yang dilakukan ditengah kerumunan orang maupun tidak.

Editor: Soleh

12 posts

About author
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Articles
Related posts
Feature

SHARIF 1446/2024 dan Masa Depan Kalender Islam Global

4 Mins read
Pada hari Rabu-Jum’at tanggal 18-20 Jumadil Awal 1446 bertepatan dengan tanggal 20-22 November 2024 diselenggarakan Sharia International Forum (SHARIF) 1446/2024 di Hotel…
Feature

Basra, Mutiara Peradaban Islam di Irak Tenggara

2 Mins read
Pernahkah kamu mendengar tentang kota di Irak yang terkenal dengan kanal-kanalnya yang indah, mirip seperti Venesia di Italia dan dijuluki dengan Venesia…
Feature

Rakernas dan Dinamika Dunia Wakaf

4 Mins read
Jogja, Jumat 1 November 2024. Pukul 05.30 pagi dengan sebuah mobil dari Ringrud Selatan Jogja kami menuju Kartasura. Di perjalanan ikut bergabung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds