Oleh: Nirwansyah
Muhammadiyah merupakan organisasi terbesar di Indonesia, yang pada tanggal 18 November 2019 berusia 107 tahun. Muhammadiyah tak henti-hentinya mengawal bangsa ini dan telah banyak melahirkan tokoh-tokoh yang sangat luar biasa jasanya bagi bangsa dan umat. Salah satu tokoh yang dilahirkan dari rahim Muhammadiyah adalah Ahmad Syafi’i Ma’arif atau yang biasa dipanggil Buya Syafi’i.
Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif atau disingkat ASM merupakan ikon lintas agama, tokoh pluralis, seorang guru serta suluh bagi bangsa ini. ASM merupakan salah satu “Tiga Pendekar dari Chicago” bersama Amien Rais dan Nurcholis Madjid. ASM lahir dari pelosok negeri di Desa Calau, Sumpur Kudus, Sijunjung, Sumatera Barat pada 31 Mei 1935.
ASM tak pernah lelah memikirkan permasalahan yang menimpa bangsanya. Peran beliau untuk bangsa ini tak diragukan lagi. Berbagai kritik, pesan, nasehat dan pemikiran beliau sudah banyak di dedikasikan untuk tanah air ini. Pemikiran-pemikiran beliau merupakan sumbangsih tanpa pamrih yang bersumber dari nurani yang tulus. ASM sangat menjunjung tinggi rasa toleransi serta egalitarianism.
Suluh Bangsa Nan Menyejukkan
ASM merupakan suluh serta guru bangsa yang tetap konsisten dalam mencerahkan bangsa ini. Di tengah hiruk pikuk negeri beliau berani tampil sebagai orang yang lantang menyuarakan pendapatnya, tak takut melawan arus, dikala kaum intelektual lain bungkam. Kehadirannya di pentas nasional terasa sangat menyejukkan di tengah-tengah kegelisahan rakyat. Martin van Bruinessen menyebut Buya Syafii sebagai “Indonesia’s last remaining public wise old man” dan “a unique paragon of moral leadership”. Perpaduan sinergi antara tingkat intelektual dengan integritas moral menyebabkannya berbeda dari tokoh-tokoh lain.
Dia tidak hanya menjadi motor penggerak kampanye moral, tetapi dia juga berdiri di baris terdepan dalam memperjuangkan hak-hak azasi manusia. Lebih dari itu, dia juga kerap menjadi ikon atas berbagai usahanya dalam merajut kasih dengan berbagai pemimpin lintas agama. Ketika menjabat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah (1998-2000) beliau ingin menjadikan Muhammadiyah sebagai “Tenda Bangsa” yang tidak hanya memperbesar dirinya sendiri, tetapi manfaatnya juga dirasakan oleh siapapun dan dimanapun. Beliau berpendapat “Sebuah Muhammadiyah yang tidak mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah Indonesia, bukanlah Muhammadiyah yang sebenarnya.”
Pemikir “The Progressive Ijtihadist”
ASM dikenal sebagai seorang yang nasioanlis dan seorang negarawan. Pemikiran beliau tak lepas dari pengaruh sentral Fazlur Rahman yang merupakan tokoh neo-modeernisme dan pemikir Islam dari Pakistan, yang juga menjadi Guru beliau selama menempuh pendidikan di Chicago. Sebagaimana pernyataannya “pergumulanku dengan kuliah-kuliah Rahman selama empat tahun telah memengaruhi sikap hidupku dengan sangat mendasar sekalipun ilmuku tidak sampai seperempat ilmunya.”
Di usia senjanya, ASM tak pernah jemu memikirkan bangsa ini. Jiwanya yang selalu gundah dan gelisah atas pelbagai persoalan yang ada dan ingin terlibat langsung, membuatnya dekat dengan konsep “Intelektual Organik” Antonio Gramsci. Manifestasi pemikiran beliau dapat dilihat dari karya-karyanya serta menginisiasi beberapa komunitas intelektual progresif seperti; Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP), Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), hingga Maarif Institute for Humanity and Culture.
Dengan berbagai ijtihadnya itu, Ahmad Syafii Maarif memenuhi syarat sebagai pemikir progresif ijtihadis sebagaimana yang disebutkan oleh Abdullah Saeed. Karakteristik pemikiran Muslim progresif-ijtihadis, dijelaskan oleh Abdullah Saeed dalam bukunya Islamic Thought sebagai berikut: (1) mereka mengadopsi pandangan bahwa beberapa bidang hukum Islam tradisional memerlukan perubahan dan reformasi substansial dalam rangka menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Muslim saat ini; (2) mereka cenderung mendukung perlunya fresh ijtihad dan metodologi baru dalam ijtihad untuk menjawab permasalahan-permasalahan kontemporer; (3) beberapa diantara mereka juga mengkombinasikan kesarjanaan Islam tradisional dengan pemikiran dan pendidikan Barat modern; (4) mereka secara teguh berkeyakinan bahwa perubahan sosial, baik pada ranah intelektual, moral, hukum, ekonomi, teknologi harus direfleksikan dalam hukum Islam; (5) mereka tidak mengikutkan dirinya pada dogmatism atau mazhab hukum dan teologi tertentu dalam pendekatan kajiannya; (6) mereka meletakkan titik tekan pemikirannya pada keadilan sosial, keadilan gender, HAM, dan relasi yang harmonis antara Muslim dan non-Muslim.
Kesederhanaan yang Ekstrem
Di balik sosoknya yang toleran serta humanis, ASM juga orang yang sangat sederhana. Dalam berbagi nasehatnya, beliau lebih menekanka pada sisi Kemanusiaan. Bisa jadi hal inilah yang mendorong kesederhanaan beliau. Dengan berbagai penghargaan yang diterimnya, rasanya ia bisa hidup bermewah-mewah. Tetapi hal itu tak dilakukannya. Beredarnya foto ASM ketika menunggu kereta dari stasiun Tebet menuju Bogor, membuktikan sosoknya yang sederhana dan bersahaja. Menurut Muhammad Abdullah Darraz, kesederhanaan ASM terlalu ekstrim.
Cerita kesederhanaan ASM yang lain, datang dari Deny Asy’ari. Ketika menunggu antrean Check-Up rutin di RS PKU melihat ASM mengantri, Deni berinisiatif menemani ASM hingga antrean selesai. Tetapi malah ASM merasa keberatan atas hal tersebut. Kerap juga beberapa kali pihak RS PKU Muhammadiyah hendak memberikan prioritas terhadap ASM. Namun ASM menolak hal tersebut. ASM menganggap hal itu akan menzalimi orang banyak.
Sungguh, suatu sikap yang sangat langka dan amat bersahaja yang telah dicontohkan ASM dan nyaris tidak kita ditemukan di negeri ini. Dimana kebanyakan orang yang gila hormat serta ingin di perlakukan khusus (bak Raja). Tetapi, Ahmad Syafi’i Ma’arif dengan segala kerendahan hatinya dan dengan sangat bersahaja menjauhi sikap tersebut atas dasar kesamaan kedudukan (egaliter) dan kemanusiaan. Sikap seperti itulah yang seharusnya ditanamkan kepada anak bangsa ini agar tidak menjadi orang-orang yang hedonis.