Mengenang Ustadz Yun Ulama Moderat Kanan juga bisa dibaca dari dari pandangannya tentang ulî al-amr (an-Nisa: 59). Merujuk pada al-Mâidah: 55, “Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah),” Ustadz atau Buya Yun menyebut ulî al-amr adalah pemimpin umat yang menggantikan kepemimpinan Rasul.
Menurut Buya Yun, ayat di atas menjelaskan tiga hirarki kepemimpinan: Allah, Rasul, dan orang-orang yang beriman. Secara operasional kepemimpinan dilaksanakan oleh Rasulullah, dan sepeninggal beliau dilaksanakan oleh orang-orang yang beriman.
Sebagai Rasul, Muhammad SAW tak bisa digantikan. Tapi sebagai kepala negara, ulî al-amr, tugasnya dapat digantikan. Orang-orang yang dapat dipilih menggantikan beliau minimal harus memenuhi empat kriteria di atas: beriman kepada Allah, mendirikan salat, membayarkan zakat, dan seraya tunduk pada Allah.
Dengan memakai definisi Abduh, ulî al-amr mencakup kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif dengan segala perangkat dan wewenangnya yang terbatas.
Ulî al-amr juga mencakup para ulama, baik perorangan atau kelembagaan, seperti lembaga fatwa dan semua pemimpin masyarakat dalam bidangnya masing-masing.
Batas kewenangan ulî al-amr menurut sebagian ulama, karena kata al-amr yang berbentuk ma’rifah, maka wewenang pemilik kekuasaan terbatas hanya pada persoalan kemasyarakatan semata, bukan persoalan akidah atau keagamaan murni. Untuk persoalan akidah dan keagamaan murni harus dikembalikan kepada nash-nash agama.
Menurut Abduh, perbedaan pendapat sangat mungkin terjadi dalam memahami nash, tapi bukan dalam mematuhi nash. Dalam masalah hadits tentang tata cara mengetahui awal Ramadhan dan Syawal, persoalannya bukan pada masalah patuh atau tidak patuh pada petunjuk Rasul tersebut, tetapi tentang bagaimana memahami hadits tersebut.
Menurut Muhammadiyah, hadits itu ada ilat-nya, yaitu karena umat pada masa itu belum mempunyai cara lain untuk mengetahui awal bulan kecuali dengan melihat hilal. Kalau gagal melihat hilal karena mendung, maka bulan yang sedang berjalan digenapkan menjadi 30 hari.
Sekarang, ilmu astronomi sudah demikian maju, sehingga dapat digunakan untuk mengetahui awal bulan. Oleh sebab itu Muhammadiyah yakin tidak melanggar sunnah tatkala menggunakan hisab hakiki untuk menentukan awal bulan.
Sebagian memahami, yang bersifat ta‘abbudi itu puasa Ramadan dimulai 1 Ramadan dan shalat ‘Id al-Fitr tanggal 1 Syawal. Sedangkan bagaimana cara menentukan awal Ramadan dan awal Syawal adalah hal yang bersifat ta‘aqquli dan bersifat teknis.
Jika terjadi beda pendapat dalam memahami nash diselesaikan dengan memakai kaidah-kaidah perbedaan pendapat yang sudah ada dan biasa dalam sejarah pemikiran hukum Islam.
Pemerintah tak dapat mengintervensi dalam hal pemahaman nash, karena bukan wewenangnya. Tapi jika terjadi beda pendapat dalam soal kemasyarakatan yang bersifat ijtihadiyah. Pemerintah dapat memutuskan pendapat mana yang akan diikuti.
Perbedaan pendapat dalam menentukan awal Ramadan dan Syawal serta pelaksanaan ibadah puasa dan shalat ‘Id, maka penyelesaiannya diserahkan kepada para pemimpin agama. Tetapi urusan libur ‘Id al-Fitr dan hal-hal lain di luar urusan keagamaan murni diputuskan oleh pemerintah.
Lalu siapa yang dapat disebut sebagai ulî al-amr dalam penentuan awal Syawal di Indonesia? Buya Yun menjelaskan satu pihak menyatakan bahwa ulî al-amr itu pemerintah. Konteks urusan penetapan awal Syawal ialah Menteri Agama.
Dengan demikian, bila Menteri Agama sudah menetapkan awal Syawal, semua harus mematuhi. Dalam relasinya dengan Muhammadiyah, jika Muhammadiyah mengumumkan berbeda dengan pemerintah, berarti Muhammadiyah dinilai tidak taat dengan ulî al-amr. Berarti juga tidak melaksanakan perintah Allah dalam ayat di atas.
Padahal Muhammadiyah tidak menolak kewajiban patuh dalam ayat di atas. Tetapi yang dipertanyakan, apakah Menteri Agama itu sah disebut ulî al-amr? Untuk urusan keagamaan, apalagi terkait ibadah mahḍah, harusnya diputuskan oleh lembaga yang kompeten dan otoritatif. Sementara Menteri Agama adalah jabatan politik, ditunjuk oleh Presiden berdasarkan pertimbangan politik bukan pertimbangan keulamaan.
Indonesia tidak mempunyai Mufti atau Grand Mufti. Selama ini fatwa-fatwa keagamaan dikeluarkan oleh lembaga-lembaga fatwa yang ada pada ormas-ormas Islam seperti Majlis Tarjih dan Tajdid (Muhammadiyah), Lajnah Bahtsul Masail (Nadhlatul Ulama) atau Komisi Fatwa (Majelis Ulama Indonesia).
Dalam konteks penentuan awal Idul Fitri, dengan tegas dan berani, Ustadz Yun mengatakan bahwa posisi pemerintah, dalam hal ini Menteri Agama sebagai bukan ulî al-amr.