Sudah tak bisa dipungkiri bahwa teologi dan filsafat sama-sama menggunakan metode silogisme dalam aturan berpikirnya. Silogisme adalah suatu metode pengambilan kesimpulan atau pengetahuan yang didasarkan atas premis-premis (premis mayor dan premis minor). Bedanya, dalam filsafat, pengetahuan yang bisa dijadikan premis mayor jika merupakan premis primer, premis yang benar, pasti dan meyakinkan setelah diuji secara rasional.
Sementara itu, dalam teologi, premis mayor bisa diambilkan dari sesuatu yang sudah diterima secara umum (opini) dalam masyarakat atau yang diturunkan dan diyakini dari ajaran agama. Karena itu, menurut Al-Farabi, keyakinan yang tuntas mempunyai tiga tipe kepercayaan.
Pertama, kepercayaan bahwa sesuatu itu berada atau tidak dalam kondisi spesifik. Kedua, kepercayaan bahwa sesuatu itu tidak mungkin merupakan sesuatu yang lain selain darinya. Ketiga, kepercayaan bahwa kepercayaan kedua tidak mungkin sebaliknya. Itu sebabnya, dalam pemikiran filsafat, sebuah proposisi bisa menjadi premis primer jika memenuhi tiga kategori di atas sekaligus, sedang dalam pemikiran teologi hanya mensyaratkan dua point yang pertama.
Dengan kata lain, dalam aturan pikir filsafat, sebuah proposisi agar bisa didudukkan sebagai premis primer, selain bahwa ia telah diterima sebagai sebuah kebenaran juga bahwa ia telah teruji kebenarannya secara logis. Sedang dalam pola pikir teologi tidak demikian. Karena, point ketiga mempersyaratkan suatu pengujian kritis terhadap dua persyaratan sebelumnya tidak dikenal dalam teologi.
***
Dalam buku Hierarki Ilmu dikatakan bahwa, atas dasar ini pulalah Al-Farabi kemudian menempatkan teologi dan yurisprudensi (fiqh) dalam urutan terakhir, setelah kelompok ilmu-ilmu filsafat, dalam hierarki ilmu yang disusunnya, karena teologi dan fiqh dianggap tidak memberikan pengetahuan yang meyakinkan. Akan tetapi, baru ada pada tahap mendekati keyakinan karena tidak adanya pengujian secara rasional dan logis dalam metodologinya.
Syahdan, dalam teologi, pertimbangan pertama dalam penerimaan pengetahuan atau opini bukan atas dasar kebenaran atau keabsahan rasional, tetapi lebih karena adanya konsensus umum berkenaan dengannya. Karena ia umumnya diambil dari sesuatu yang diakui atas dasar iman atau kesaksian orang lain.
Adanya faktor kemasyhuran atau popularitas, dan bukan kebenaran rasional, ini bisa kita saksikan sampai saat ini. Di mana, dalam persoalan keagamaan, terutama fiqh, opini-opini yang bertentangan, minimal berbeda, satu sama lain bisa diterima sekaligus.
Dengan demikian, perbedaan persyaratan dalam klaim tentang sesuatu yang pantas dianggap sebagai benar untuk dapat didudukkan sebagai premis primer ini, selanjutnya, memberikan dampak yang luas sesuai dengan tipe pemikiran masing-masing. Pemikiran filsafat menjadi sangat terbuka terhadap segala pemikiran dan pengetahuan. Tuntutan rasionalitas dan logis mengarahkannya untuk mempertanyakan segala sesuatu, tidak terkecuali terhadap ajaran-ajaran agama yang oleh golongan lain dianggap sebagai sesuatu yang tidak bisa diganggu gugat.
Yang tak kalah pentingnya adalah, filsafat bahkan mempertanyakan dirinya sendiri, sehingga kesimpulan-kesimpulan yang diberikan filsafat yang diperoleh dari cara berpikir demonstratif, tidak jarang bertentangan dengan dasar-dasar teologi Islam yang pokok, untuk tidak mengatakan bertentangan dengan ajaran al-Qur’an sendiri.
Tiga pemikiran filsafat yang dituduh kufur oleh al-Ghazali; keqadiman alam, kebangkitan ruhani dan ketidaktahuan Tuhan tentang hal-hal yang partikular (juz’iyat) adalah salah satu bukti akan hal itu (baca: Al-Ghazali, Tahafut, 307, dan seterusnya. Lihat juga Al-Munqidz, 42-46).
***
Berbeda, di sisi lain, pemikiran teologi yang tidak mempersyaratkan adanya uji rasionalitas dan logisitas pada premis-premis primernya menjadi sangat tertutup. Ia tidak mempersoalkan pendapat-pendapat yang telah menjadi opini umum dan menerimanya tanpa koreksi.
Kondisi ini masih ditambah dengan tuntutan adanya “personal commitment” (kesetiaan pribadi) yang sangat kuat terhadap ajaran agama. Sebagaimana dikatakan Amin Abdullah dalam buku Teologi dan Filsafat. Bahwa dalam pemikiran teologi atau teologis dituntut adanya personal commitment seperti ini.
Karena itu, bagi pemikiran teologi, agama adalah persoalan hidup dan mati (ultimate concern) yang tidak dapat dengan mudah diganti. Ini sesuai dengan definisi dan tujuan ilmu teologi itu sendiri, bahwa teologi adalah ilmu yang membahas tentang ketuhanan dan bertujuan untuk mempertahankan keyakinan dari serangan kaum bid’ah.
Artinya, pemeluk agama tertentu akan mempertahankan ajaran-ajaran agamanya dengan gigih sehingga bersedia berkorban jiwa raga jika diperlukan. Juga, agama menuntut keikutsertaan dan kesetiaan secara total dari segenap pengikutnya. Agama berkaitan erat dengan emosi, untuk tidak mengatakan berhubungan erat dengan rasio.
Kesetiaan terhadap agama adalah bentuk keputusan dan pilihan yang sangat kental. Seorang agamawan yang baik selalu menunjukkan dedikasi yang tinggi dan sanggup berkorban demi mempertahankan prinsip dan mencapai tujuan yang dianggap sebagai perintah agama.
Karena itu pula, sikap dan pertimbangan rasional serta pemikiran yang sedikit mengambil jarak dari agama yang dipeluknya akan dianggap sebagai pengerdilan terhadap pengalaman keberagamaan yang seharusnya dimiliki.
Mengikuti Amin Abdullah, tidak salah jika dikatakan bahwa bahasa yang digunakan oleh pemeluk agama dalam menjelaskan ajaran-ajaran agamanya adalah bahasa pelaku atau pemain (aktor), bukan bahasa seorang pengamat atau lebih-lebih bahasa seorang peneliti yang datang dari luar (spectator).
Sementara itu, dalam model pemikiran filsafat, karena tuntutan rasionalitas dan bersifat terbuka serta tidak adanya kesetiaan secara total kecuali kepada kebenaran rasio, ia bisa mengambil jarak dengan ajaran agama, atau bahkan keluar dari dirinya sendiri.
Benarkah Terjadi Ketegangan Antara Teologi dan Filsafat?
Meskipun dalam hal-hal tertentu terjadi hubungan timbal balik yang cukup baik antara teologi dan filsafat, bukan berarti keduanya bisa terus berjalan harmonis. Yang sering muncul justru perbedaan-perbedaan, ketegangan dan pertentangan. Bahkan itu terjadi sejak awal.
Setidaknya ini bisa dilihat pada perdebatan antara Abu Sa’id al-Syirafi (893-979 M) seorang teolog Muktazilah dengan Abu Bisyr Matta (870-940 M), guru filsafat Al-Farabi yang beraliran Nestorian, sebagaimana yang dikemukakan Oliver Leaman, adalah bukti nyata akan hal itu, meski isi perdebatan tersebut sebenarnya baru menyangkut persoalan bahasa dan logika.
Rupanya, ketegangan teologi dan filsafat semakin kentara dan menonjol ketika pada masa Al-Farabi yang ahli filsafat paripatetik menempatkan teologi (juga yurisprudensi) pada rangking bawah setelah ilmu-ilmu filsafat, dalam hierarki ilmu yang disusunnya. Al-Farabi menyusun hierarki ilmunya terdiri atas ilmu-ilmu filsafat; metafisika, matematika, ilmu-ilmu fisika/kealaman dan ilmu politik.
Artinya, teologi dan fiqh ditempatkan dalam urutan paling bawah dan sebagai sub-bagian ilmu politik. Alasannya, secara metodologis, pengambilan kesimpulan teologi tidak didasarkan atas prinsip-prinsip logika yang benar dan teruji secara rasional, sehingga tidak bisa dipertanggung jawabkan. Atau, menurut Al-Farabi, teologi tidak bisa memberi pengetahuan yang meyakinkan, tapi baru pada tahap mendekati keyakinan, sehingga ia hanya cocok untuk konsumsi masyarakat awam, masyarakat non-filosofis dan bukan selainnya.
***
Dalam Al-Munqidz juga dikatakan bahwa, pernyataan teologi tidak bisa memberikan pengetahuan yang meyakinkan. Pada gilirannya juga diakui oleh Al-Ghazali, meski keputusan akhir yang diambil kedua tokoh ini berbeda. Ketidakpuasan Al-Ghazali pada teologi dilarikan pada tasawuf, sementara ketidakpuasan Al-Farabi diobati dengan filsafat (baca: Al-Ghazali, Al-Munqidz).
Penempatan posisi dan serangan yang dilakukan Al-Farabi sebagai ahli filsafat terhadap teologi ini, memberikan dampak serius bagi perkembangan kedua kelompok pemikiran di atas. Minimal telah menaikkan pamor filsafat dalam percaturan pemikiran Islam yang sebelumnya masih dicurigai dan diabaikan. Kenyataannya, klasifikasi dan hierarki ilmu Al-Farabi ini banyak dianut dan berpengaruh besar pada tokoh filsafat berikutnya, seperti Ibn Sina (980-1037 M), Ibn Thufail (w. 1186 M) dan Ibn Rusyd (1126-1198), dan Ibn Khaldun (1332-1406).
Tak heran jika dalam Muqaddimah-nya, Ibn Khaldun membagi ilmu-ilmu menjadi dua bagian: pertama, ilmu-ilmu rasional (al-ulum al-aqliyah); kedua, ilmu-ilmu religius (al-ulum al-naqliyah). Yang termasuk ilmu rasional adalah logika, matematika, fisika dan metafisika. Sedangkan bagian ilmu religius adalah ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fiqh, teologi, tasawuf dan tabir mimpi.
***
Puncak ketegangan teologi dan filsafat terjadi pada masa Al-Ghazali (1058-1111 M), yakni ketika ia sebagai wakil kaum teolog (mutakallimin) menyerang pemikiran filsafat, khususnya pemikiran filsafat Al-Farabi (870-950 M) dan Ibn Sina (980-1037 M), lewat tulisannya dalam Tahafut al-Falasifah yang diulangi lagi dalam al-Munqidz min al-Dhalal.
Penting dicatat bahwa, Tahafut al-Falasifah diselesaikan pada 11 Muharram 488 H/ 21 Januari 1095 M. Dalam kitab ini, diuraikan 20 persoalan filsafat yang dianggap merupakan bid’ah. Tiga di antaranya bahkan merupakan kekufuran bagi penganutnya. Sementara, tentang al-Munqidz min al-Dhalal, kitab ini ditulis sekitar lima tahun sebelum kematian al-Ghazali, setelah ia mengalami krisis epistemologi, bukan krisis keyakinan, dan setelah kembali mengajar di perguruan tinggi Al-Maimunah al-Nizhamiyah di Naisabur.
Meski isi serangan tersebut lebih diarahkan pada persoalan metafisika dari pada logika, karena Al-Ghazali sendiri mengakui pentingnya logika dalam penjabaran ajaran-ajaran agama. Bahkan bidikan Al-Ghazali sebenarnya lebih tepat diarahkan pada pemikiran filsafat Yunani purba, seperti Thales (545 SM), Anaximandros (547 SM), Anaximenes (528 SM) dan Herakleitos (480 SM), bukan metafisika Islam sendiri, sehingga tuduhannya terhadap pemikiran al-Farabi dan Ibn Sina tidak tepat. Akan tetapi, serangan tersebut telah memberikan dampak dan gaung yang demikian besar dalam soal hubungan teologi dan filsafat. Masyarakat muslim menjadi antipati terhadap pemikiran filsafat.
Sebuah Catatan Akhir
Jelasnya, bahwa ketegangan yang terjadi antara teologi dan filsafat disebabkan, pertama, adanya perbedaan dalam memahami makna dari sebuah istilah yang digunakan. Sebagaimana dikatakan al-Hamadani, bahwa setiap kelompok atau aliran pemikiran, seperti teologi, filsafat, tasawuf, fiqh dan seterusnya mempunyai istilah-istilah teknis tersendiri. Di mana, istilah-istilah yang digunakan tersebut bisa jadi sama, tetapi mempunyai makna yang berbeda sesuai dengan yang dimaksud oleh si pembicara.
Karena itu, seseorang dari golongan tertentu tidak bisa langsung mengklaim atau memberikan makna tentang sebuah istilah sebelum meminta penjelasan secara baik kepada si empunya istilah. Menjatuhkan keputusan terhadap pembicara sebelum meminta penjelasan tentang apa yang dimaksudkan berarti sama dengan menembak dalam kegelapan, hanya membuat keonaran.
Ketegangan antara teologi dan filsafat (juga ketegangan di antara kelompok yang lain, seperti tasawuf dengan fiqh, mazhab fiqh yang satu dengan yang lain dan seterusnya) rupanya disulut oleh persoalan ini; tidak adanya sikap tabayyun terlebih dahulu sebelum diambil keputusan. Serangan al-Ghazali terhadap filosof karena istilah ‘qadim’ pada alam adalah bukti nyata akan hal itu.
***
Kedua, adanya kecenderungan atau tuntutan yang berbeda. Harus dipahami, saling serang di antara para tokoh filsafat dan teologi terjadi pada masa dan kondisi zaman yang berbeda. Sebagai contoh, Al-Farabi menyerang pemikiran teologi dan mengunggulkan filsafat karena saat itu ada trend besar di Damaskus dan Aleppo, tempat al-Farabi tinggal, adalah pemikiran filsafat.
Sebaliknya, pada masa Al-Ghazali, teologi (Asy’ari) sedang berada puncak kebesarannya, sedang filsafat banyak disalahgunakan oleh oknum-oknum bertanggungjawab. Apa yang dilancarkan Al-Ghazali yang tidak terhadap filsafat, salah satu tujuannya adalah untuk menghindarkan agama dari dampak buruk ulah oknum tersebut. Bukan semata untuk menghancurkan filsafat.
Ketiga, adanya campur tangan penguasa. Meski statemen ini masih patut dikaji lebih jauh, tetapi harus pula dipahami bahwa tokoh-tokoh kedua golongan ini, seperti Al-Farabi dan Al-Ghazali, sama-sama hidup dalam lingkungan istana. Setidaknya mendapat dukungan kekuasaan. Al-Farabi hidup dalam lingkungan istana yang gandrung pemikiran filsafat, sedang Al-Ghazali dekat dengan faham teologi Sunni.
***
Bahkan, Al-Ghazali mengakui bahwa kajian dan tulisan yang dilakukan terhadap ajaran Bathiniyah, misalnya, adalah demi memenuhi permintaan khalifah Baghdad. Begitu pula yang dilakukan Al-Farabi ketika menulis Fi Ma Yasih wa Ma La Yasih min Ahkam al-Nujum untuk memenuhi permintaan Abu Ishaq Ibrahim ibn Abdullah, seorang gubernur yang gandrung pada ilmu astronomi. Tidak adakah pengaruh kekuasaan dalam gagasan-gagasan yang ditulis tersebut.
Keempat, adanya perbedaan metodologi. Seperti dipaparkan, teologi dan filsafat menggunakan metode pemikiran yang berbeda, yang pada gilirannya mendorong munculnya sikap yang khas pada masing-masing kelompok. Filsafat cenderung terbuka dan rasional sedang teologi menjadi tertutup dan doktriner. Ditambah dengan tuntutan kesetiaan total dan truth claim dari agama (teologi) yang dianut, yang semua itu membuat teologi semakin tertutup dan militan.
Persoalan truth claim memang tidak dapat dan tidak perlu dihindarkan. Agama atau teologi atau bahkan sebuah gagasan tanpa truth claim ibarat pohon tidak berbuah sehingga menjadi kurang menarik. Tanpa truth claim, sebuah agama, teologi atau sebuah aliran pemikiran akan menjadi sebuah bentuk kehidupan (form of life), atau bentuk mazhab yang distinctive yang tidak memiliki kekuatan simbolik bagi para pengikutnya.
Akan tetapi, truth claim yang dipahami secara mentah dan emosional juga banyak menimbulkan masalah. Adanya ketegangan, perselisihan, pertikaian dan bahkan peperangan antara komunitas agama, aliran pemikiran dan bahkan antar partai politik adalah lebih dikarenakan adanya truth claim yang dipahami secara sempit. Mentah dan emosional. Wallahu a’lam bisshawaab.
Editor: Soleh