Indonesia adalah negara yang sangat beragam. Keberagaman Indonesia bisa kita lihat dari banyaknya etnis, budaya, dan agama yang ada didalamnya. Keberagaman yang dimiliki oleh Indonesia adalah sebuah ancaman dan juga peluang.
Keberagaman menjadi ancaman ketika keberagaman menjadi sebab perpecahan. Sebaliknya, keberagaman menjadi peluang ketika dijadikan spirit pembangunan Indonesia dari beragam perspektif.
Keberagaman yang sering disorot di Indonesia adalah keberagaman agama. Sebagaimana kita ketahui, ada enam agama resmi di Indonesia, yaitu; Islam, Kristen, Khatolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Chu. Oleh karena ini, Indonesia dijuluki sebagai “the meeting place of world religions.”
Disorotnya perbedaan agama di Indonesia tentunya bukan tanpa sebab. Agama yang sejatinya membawa perdamaian sekalipun dengan keberagaman tampak gagal menunjukkan wajahnya. Kerapkali, agama muncul dengan wajah garang, bringas, keras, dan menjadi sumber perseturuan.
Konflik antaragama dan antaretnis yang pernah terjadi di Indonesia adalah bentuk dari wajah suram agama. Sebut saja tragedi yang menimpa warga Ahmadiyah, Syi’ah dan juga perang saudara yang terjadi di Pontianak, Sampit, Ambon, dan Poso (Natalia, 2016).
Kenapa Agama Menjadi Sumber Konflik?
Islam adalah agama yang sering disoroti dalam topik konflik antar umat beragama di Indonesia. Salah satu penyebab umat Islam terlibat dari konflik antar umat beragama adalah penafsiran teks agama yang bersifat formalistis tanpa adanya upaya kritis dan reinterprestasi yang lebih kontekstual. Hal ini menyebabkan umat Islam gagal dalam membaca keberagaman di Indonesia.
Abdul Muta’ali mencatat setidaknya ada 90 ayat dalam Al-Qur’an yang salah diartikan dan diinterprestasikan kedalam bahasa Indonesia. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan bahasa dan budaya yang tidak dipahami ketika memaknai maksud dari Al-Qur’an (Susanto, 2018).
Oleh karena itu, untuk menangkal konflik antar umat agama perlu adanya upaya serius. Salah satu upaya serius dalam menangkalnya adalah dengan upaya deradikalisasi melalui lembaga pendidikan Islam itu sendiri.
Selama ini, upaya deradikalisasi kerap kali menggunakan pendekatan keamanan yang bersifat reaksioner dan lebih berorientasi jangka pendek. Maka, upaya serius dan lebih bersifat jangka panjang menjadi tantangan bagi pendidikan Islam (Robby, Anindya, Amanda, & Habib, 2021).
Deradikalisasi Melalui Pendidikan Islam
Seperti kata pepatah, “sedia payung sebelum hujan” maka reorientasi pendidikan Islam yang kaffah adalah payung untuk mencegah terjadinya radikalisme dalam rangka menenakan konflik antaragama.
Dalam hal ini, pendidikan Islam perlu melakukan reorientasi pendidikan sebagai bentuk upaya deradikalisasi sejak dini dan berorientasi jangka panjang. Salah satunya adalah dengan menekankan metode pedagogi kritis yang dikenalkan oleh Paulo Freire.
Pada dasarnya, pedadogi kritis yang dikenalkan oleh Freire adalah proses pendidikan yang membangun kesadaran kritis bagi murid. Kritis yang dimaksud digunakan untuk membantu murid dalam memahami keyakinan dan memahami kondisi sosialnya (P, 2019).
Menurut hemat penulis, untuk lebih menekankan aspek pedagogi kritis dalam pendidikan Islam yang dimaksud. Kita bisa melakukannya melalui jalur pemikiran Islam dan jalur sejarah Islam agar proses memahami keyakinan dan kondisi sosial tidak bersifat dogmatis-fanatis.
Pertama, pemikiran Islam. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa salah satu fungsi pendidikan adalah untuk mengembangkan aspek kognitif siswa. Maka, pengembangan kognisi sangatlah berdampak pada aspek praksisnya nanti.
Dalam memahami teks Islam, sudah sepatutnya didalami dengan kematangan berfikir kritis dan juga keluwesan pengetahuan. Agar pengetahuan yang diproduksi dalam dunia pendidikan adalah pengetahuan yang konprehensif atau menyeluruh.
Memahami teks Islam secara menyeluruh akan menjauhkan diri dari pemahaman agama yang dogmatis. Tentunya, dogmatisme dalam beragama adalah akar dari radikalisme. Misal, memahami ayat al-qur’an tanpa adanya pengetahuan bahasa arab, ushul fiqh, balaghah, takwil, dan lainnya akan mempersempit pemahaman kita terhadap interprestasi teks Islam itu sendiri.
Selain itu, tentunya upaya dalam memahami teks Islam diperlukan pula upaya kontekstualisasi untuk mengukur relevansi pemikiran berdasarkan konteks sosial-kemanusiaannya. Bahkan lebih dalam lagi, Muhammad Arkoun salah seorang pemikir Islam kontemporer menawarkan sebuah metode yang dia sebut dengan dekonstruksi.
Dekonstruksi merupakan kritik epistemologi Islam Arkoun yang menawarkan pendekatan historis, sosiologis, dan antropologis dalam rangka memahami teks Islam. Hal ini, agar kita dapat memberi jarak pada interprestasi Islam yang menutup nalar berfikir kritis (Solkihin & Fadholi, 2018).
***
Kedua, sejarah Islam. Dalam pendidikan Islam, sejarah kerapkali ditampilkan dengan peristiwa-peristiwa perselisihan dan perperangan. Hal ini seolah memperkenalkan Islam dengan wataknya yang sering berseteru. Baik itu adanya perang saudara dalam sejarah Islam ataupun ‘invansi’ umat Islam sendiri ke berbagai belahan dunia.
Pembelajaran sejarah Islam yang seperti ini tentu akan menormalisasi bahwa kehadiran Islam dari awal memanglah untuk berseteru. Oleh karenanya, pedagogi kritis menjadi sangat penting dalam konteks memahami sejarah Islam tersebut. Sebab, sejarah tidak hanya rentetan peristiwa linier yang terjadi begitu saja.
Misal, dalam konteks diskriminasi terhadap kelompok syi’ah di Indonesia. Ini adalah bentuk kegagalan dalam memahami sejarah keberagaman dan toleransi di Indonesia dan juga kegagalan dalam memahami kemunculan syi’ah di dunia Islam dan Indonesia ini sendiri.
Oleh karena itu, memahami sejarah Islam tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial bangsa ini. Hal ini tentunya untuk menjaga kerukunan antar agama maupun kelompok didalamnya. Maka pemahaman sejarah Islam yang seperti ini perlu digaungkan dalam pendidikan Islam agar pemahaman sejarah tidak mengalami rigiditas ataupun stagnanisasi.
Menurut Michael Foucault (Dewantara, 2016), sejarah adalah diskontiniusitas. Maksudnya, sejarah tidak mesti memiliki keterhubungan satu sama lain, apalagi dalam konteks ruang dan waktu yang berbeda. Bisa saja, sejarah memiliki kekhasannya masing-masing setelah menggali peristiwa ditempat tertentu.
Wallahu A’lam Bis Shawaab
References
Asrori, A. (2015). Radikalisme di Indonesia: antara Historisitas dan Antropisitas. Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, 259.
Dewantara, A. W. (2016). POLITIK MENURUT FOUCAULT DALAM “THE ARCHAEOLOGY OF KNOWLEDGE” DAN RELEVANSINYA BAGI MULTIKULTURALISME INDONESIA. JURNAL PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK, 15.
Natalia, A. (2016). FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB RADIKALISME DALAM BERAGAMA. Al-Adyan, 2-4.
P, S. (2019). PEDAGOGI KRITIS SEJARAH, PERKEMBANGAN DAN PEMIKIRAN. Jurnal Pendidikan Dasar dan Keguruan, 66.
Robby, M. B., Anindya, C. R., Amanda, P. K., & Habib, M. (2021, September 10). Tiga cara sistem pendidikan Indonesia bisa berperan mencegah radikalisme dan ideologi kekerasan. Retrieved from theconverstionid: https://theconversation.com/tiga-cara-sistem-pendidikan-indonesia-bisa-berperan-mencegah-radikalisme-dan-ideologi-kekerasan-161282
Solkihin, M., & Fadholi, M. (2018). KRITIK ARKOUN ATAS EPISTEMOLOGI ISLAM. slamic Review: Jurnal Riset dan Kajian KeIslaman, 29.
Susanto, N. H. (2018). Menangkal Radikalisme Atas Nama Agama Melalui Pendidikan Islam Substantif. Jurnal Pendidikan Islam, 68-69.
Editor: Yahya