Manhaj, secara bahasa, berarti “thariq” yang artinya jalan atau cara. Dalam konteks kajian ilmu hadis, manhaj merujuk pada cara atau metode yang ditempuh oleh para ahli hadis. Terkhususnya para sahabat Rasulullah Saw dalam memahami hadis. Cara ini melibatkan pemahaman baik dari sisi sanad (rantai perawi) maupun matan (teks hadis) dan hal-hal yang terkait dengan periwayatannya.
Cara para sahabat dalam menerima dan menyampaikan hadis pada masa Rasulullah Saw berbeda dengan cara yang dilakukan oleh generasi setelah itu. Pada masa Rasulullah Saw, sahabat yang dekat dengan beliau. Seperti Khulafaur Rasyidin, memiliki minat besar untuk memperoleh hadis langsung dari Nabi Muhammad Saw.
Mereka berusaha keras mengikuti beliau agar dapat menerima secara langsung perkataan, perbuatan, atau taqrir (persetujuan) beliau. Para sahabat yang tidak dapat hadir secara langsung mencari sahabat lain yang dapat mendengar dan melihat apa yang disampaikan oleh Nabi Saw.
Dalam menyampaikan hukum atau melakukan ibadah, Nabi Muhammad Saw memastikan bahwa setidaknya ada sahabat yang menyaksikan agar informasi tersebut dapat disampaikan secara akurat.
Manhaj Sahabat dalam Menerima Hadis
Dalam hal ini, ada empat cara yang ditempuh oleh para sahabat untuk mendapatkan hadis dari Nabi Muhammad Saw.
Pertama, para sahabat selalu aktif menghadiri majelis yang disampaikan oleh Rasulullah Saw. Beliau menyediakan waktu khusus bagi para sahabat untuk mendengarkan dan memahami berbagai ajaran agama Islam. Para sahabat berupaya untuk mengikuti berbagai majelis tersebut, walaupun mereka menghadirinya secara bergiliran.
Jika ada sahabat yang tidak dapat hadir, mereka memastikan agar informasi dan pesan-pesan agama yang disampaikan dapat diwariskan dengan baik dengan bantuan sahabat-sahabat yang hadir. Dengan demikian, semangat para sahabat dalam menghadiri pengajian dan berpartisipasi dalam menyebarluaskan ajaran Islam sangat kuat pada masa Rasulullah.
Kedua, Rasulullah Saw sendiri menghadapi berbagai persoalan, dan beliau yang menyampaikan masalah tersebut kepada para sahabat. Jika jumlah sahabat yang hadir saat penyampaian masalah tersebut cukup banyak, Nabi Muhammad Saw memastikan informasi tersebut tersebar luas di kalangan mereka.
Namun, jika jumlah sahabat yang hadir terbatas, beliau memerintahkan kepada sahabat yang hadir untuk segera menyampaikan berita tersebut kepada sahabat-sahabat yang tidak hadir.
Ketiga, ketika para sahabat menghadapi kesulitan, ketidakpastian, ataupun memiliki persoalan, mereka selalu mencari petunjuk dan penjelasan langsung dari Rasulullah Saw. Sebagai Rasul dan pemimpin umat, beliau memberikan fatwa dan penjelasan hukum Islam untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi oleh para sahabat.
Jikalau ada sahabat yang malu bertanya, maka dia mengutus sahabat lain yang berani untuk bertanya langsung tentang suatu peristiwa atau masalah hukum yang dialaminya itu dan Rasulullah juga selalu terbuka untuk menjawab pertanyaan dan memberikan bimbingan.
Keempat, terkadang para sahabat menyaksikan langsung perbuatan Rasulullah, terutama dalam konteks ibadah, seperti wudhu, sholat, zakat, dan haji. Dengan sesegera, sahabat yang menyaksikan hal itu pun menyampaikan peristiwa tersebut kepada sahabat yang lain hingga generasi sesudahnya. Proses ini membantu menjaga akurasi dan kesahihan pelaksanaan ibadah sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw.
Manhaj Sahabat dalam Menyampaikan Hadis
Para sahabat sangat berhati-hati dalam menyampaikan kembali hadis Rasulullah yang telah diterimanya. Seperti halnya sikap hati-hati yang diterapkan oleh Abu Bakar, Umar bin Khaṭṭab, Uṡman bin Affan, dan Ali bin Abi Ṭalib terhadap periwayatan hadis dalam masa awal-awal Islam. Sikap kehati-hatian dalam menyampaikan hadis mencerminkan ketelitian dan tanggung jawab mereka terhadap warisan Islam.
Meskipun Uṡman dan Ali memiliki sikap hati-hati, seruan mereka tidak begitu berpengaruh terhadap para periwayat yang bersikap “longgar” dalam menyampaikan hadis. Dalam kasus Usman, kemungkinan pengaruhnya kurang dibandingkan dengan Umar karena Usmān tidak sekeras Umar. Sementara itu, Ali menghadapi pertentangan politik dan ekspansi wilayah Islam yang luas, yang membuat kontrol ketat terhadap periwayatan hadis menjadi sulit.
Pentingnya kendali terhadap periwayatan hadis disoroti, dimana luasnya wilayah Islam bisa menjadi faktor pembatas dan mempersulit pengendalian. Namun, di sisi lain, wilayah yang luas juga memungkinkan para sahabat untuk menyebarkan hadis kepada sahabat lain dan tabi’in. Selanjutnya, tabi’in yang menerima hadis menyampaikannya pada tabi’in lain atau pada generasi tabi’ tabi’in, begitupun seterusnya. Periwayatan hadis terus berlanjut hingga pada akhirnya hadis tersebut sampai kepada Mukharrij.
Dua Metode Periwayatan Hadis
Para penghimpun hadis (al-mukharrij) menjadi kunci dalam mengumpulkan dan menyebarkan hadis, dan karya mereka menjadi sumber pengetahuan hadis pada masa berikutnya. Metode periwayatan hadis kemudian dijelaskan, terbagi menjadi dua:
Pertama, Al-riwayah bi al-lafdzi. Beberapa poin yang terkait dengan periwayatan hadits secara lafdzi yaitu;
- Periwayatan lafdzi yang tepat. Lafadz hadits harus disampaikan dengan tepat tanpa perubahan, penggantian, penambahan, atau pengurangan kata. Ini menunjukkan komitmen untuk menjaga keselamatan dan integritas lafadz yang berasal dari Nabi Muhammad Saw.
- Penegasan dari ulama terkemuka. Beberapa ulama terkemuka seperti Muhammad ibn Sirin, Abu Bakar al-Razy, dan Raja ibn Hayuh menegaskan pentingnya periwayatan hadits dengan lafadz. Mereka menolak periwayatan hadits dengan makna atau tafsir, dan mementingkan penyampaian sesuai dengan lafadz yang diterima.
- Penjagaan terhadap redaksi. Kesepakatan ulama ahli hadits bahwa menjaga lafadz hadits dengan sepenuh hati lebih utama daripada periwayatan secara makna. Hal ini dilatarbelakangi oleh keinginan untuk memastikan keseragaman dan keakuratan redaksi hadits, serta untuk menghindari perbedaan yang mungkin timbul akibat interpretasi makna.
- Fashahah dan balaghah. Penjagaan terhadap lafadz hadits dikaitkan dengan nilai-nilai fashahah (kelancaran) dan balaghah (keindahan bahasa) dalam perkataan Nabi. Memahami dan menyampaikan hadits dengan lafadz yang benar membantu mempertahankan keindahan dan kekayaan bahasa dalam ajaran Islam.
Kedua, Al-riwayah bi al-ma’na. Berikut beberapa poin berkaitan dengan pengertian periwayatan bi al-ma’na dan beberapa pendapat ulama yang dapat diambil dari penjelasan tersebut:
- Definisi Periwayatan Maknawi: Periwayatan maknawi didefinisikan sebagai penyampaian hadits oleh seorang rawi berdasarkan makna atau arti hadits dengan lafal dari dirinya sendiri tanpa melakukan perubahan, penambahan, atau pengurangan keterangan.
- Pendapat Ahmad Umar Hasyim. Menurut Ahmad Umar Hasyim, periwayatan hadits dengan makna adalah penyampaian hadits dan periwayatannya dengan maknanya, baik seluruh lafadznya dari rawi atau sebagian, dengan syarat perawi harus memelihara makna hadits.
- Pendapat Muhammad Ajjaj al-Khatib: Muhammad Ajjaj al-Khatib mengungkapkan bahwa perawi yang melakukan periwayatan secara maknawi diwajibkan menjelaskan bentuk tahammul yang digunakannya. Ulama memiliki motivasi untuk menjaga otentisitas hadits tanpa melakukan perubahan atau distorsi.
- Perbedaan Pendapat Ulama. Meskipun sebagian besar ulama hadits memperbolehkan periwayatan secara maknawi, praktiknya tetap tidak bersifat “longgar.” Artinya, walaupun diberikan izin untuk melakukan periwayatan maknawi, terdapat batasan dan syarat yang harus diikuti, sehingga keragaman redaksi hadits tetap tidak dapat dihindari.
Editor: Soleh