Dunia permedsosan kita akhir-akhir sedang dipenuhi dengan topik–topik seputar perang antara Ukraina dan Rusia yang notabene masih serumpun itu. Apapun alasannya, peperangan antar dua negara itu harus kita akui sebagai tragedi kemanusiaan sama halnya seperti perang-perang di tempat lain yang juga belum kunjung usai.
Perang selalu melegitimasi kekerasan yang sifatnya sistematis bahkan menjadi trauma kolektif yang tidak mudah hilang meskipun sudah terlalui. Di dalam ilmu sosial, kita mengenal istilah trauma nasional, suatu momen yang menyiratkan tentang adanya kejadian-kejadian diluar batas-batas kemanusiaan yang pernah terjadi.
Setidaknya, hal itulah yang dirasakan oleh para korban perang Bosnia, perang Dagestan, perang Vietnam, dan perang-perang lainnya yang sampai hari ini sebenarnya masih terus terjadi bahkan meninggalkan banyak tragedi kemanusiaan yang belum sepenuhnya terungkap.
Di lain pihak perang juga dapat mempertegas adanya standar ganda terhadap kemanusiaan oleh pihak-pihak tertentu. Kemanusiaan dipandang hanya sebatas kepada siapa semua berlaku.
Rasisme terhadap pelajar Afrika yang terjadi di Ukraina, adalah salah satu akibat dari standar ganda ini tentu dalam konteksnya yang mikro. Di level makro, kita tentu ingat dengan jutaan pengungsi asal Timur Tengah yang di telantarkan oleh negara-negara yang kini memberi karpet merah bagi warga Ukraina bahkan hewan peliharaan mereka.
Boikot, Dis-investasi, bahkan sanksi terhadap Rusia pun tidak akan berlaku jika kekejaman itu dilakukan oleh negara sekutu mereka. Tapi disini saya bukan bermaksud membela Rusia, karena negara ini pun banyak meninggalkan jejak konflik yang tak kalag menyedihkan.
Cobalah anda menelaah tentang konflik Chechnya, Dagestan, Suriah, dan yang paling epik adalah perangnya dengan Afganistan saat masih bernama Uni Sovyet, namun berbeda dari lawannya.
Memang harus kita akui intervensi Rusia jauh lebih sedikit ketimbang lawannya. Apalagi soal invasi jadi kalau di ibaratkan seperti Lesser Evil, namun tetap bukan pihak yang sepenuhnya baik.
Harus Lepas dari Kerangka Pikir Barat dan Timur
Oleh karena itu langkah yang paling tepat dalam memahami konflik ini, kita harus terlepas dari kerangka berpikir ala Perang Dingin yang menekankan keterpecahan biner antara Barat vs Timur maupun Demokratis vs Komunis.
Kita harus paham kalau eskalasi situasi yang terjadi tidak bisa hanya dilihat dari satu faktor saja. Dalam ilmu logika, melepaskan diri dari bineritas menghindarkan kita dari dilema palsu yang menyebabkan kekeliruan akibat menempatkan batasan pada pilihan yang tersedia sebagai jalan keluar untuk suatu masalah.
Ada istilah, kekeliruan bifurkasi yaitu jenis dilema palsu tertentu di mana pilihannya terbatas pada dua ketika, pada kenyataannya, mungkin ada yang lain jika tidak lebih banyak. Dalam retorika politik, ini sering diringkas sebagai, “Kamu bersama kami atau melawan kami.”
Glorifikasi adalah gejala lanjutan yang terjadi ketika kita memilih memihak. Ironisnya, glorifikasi akan menjauhkan kita dari pemahaman yang sebenarnya. Semakin hari, kita melihat konflik dua negara serumpun itu dalam konteks politik identitas, hanya karena di satu pihak ada segolongan yang agamanya sama dengan kita bahkan mencocokologi satu pihak itu dengan nubuat tentang bangsa Rum.
Saya jadi teringat akan kata Ernesto Malesta tentang perang. Baginya, perang hanyalah pertumpahan darah manusia yang menggunakan kebodohan pihak lain untuk kepentingan pihak yang lebih superiors. Dalam perang selalu ada benturan antara fanatisme buta yang selalu berakhir tragis.
***
Rasa-rasanya, sudah waktunya kita mencoba untuk tidak berisik di ruang publik seolah-olah merasa paling tahu. Oleh karena itu, cobalah untuk memfokuskan diri pada informasi yang tepat ditengah zaman yang penuh dengan obrolan yang pada akhirnya kemana-mana ini.
Kita harus lepas dari Candu media yang membuat kita ingin melihat, melihat lagi. Tetapi semakin mendengar, melihat justru terjadi kekaburan pemahaman. Sebab kita yang mengobrol itu tidak menetap pada apa yang kita obrolkan karena sudah ada tema baru, obrolan baru.
Karena persoalan adalah bukan berapa banyak info yang dapat kita raih, tetapi sedalam apa kita paham suatu persoalan untuk kebaikan eksistensial kita. Keramaian, kehebohan opini publik menjauhkan sesuatu yang lebih penting, ada kita sendiri.
Semakin berulang, penyingkapan yang dimaksud dari arus informasi, berbalik menjadi penyembunyian. Informasi membanjiri kesadaran, namun kesadaran tak sempat bermukim dan mencari makna sehingga akhirnya kita selalu berpikir dangkal dalam memahami keadaan.
Apapun yang terjadi, kita harus mengecam tragedi kemanusiaan dimanapun dan kapanpun itu terjadi. akhirul kalam saya menutup artikel ini dari lirik lagu superman is dead yang memantik Tanya sekaligus refleksi.
Can you tell me why
The world is so ugly
And there ain’t no pretty pictures
Everywhere I go
Editor: Yahya FR