Metro.suara.com tanggal 17 Maret 2023 menampilkan kritik Thomas Jamaluddin (TJ) pada konsep Wujudul Hilal (WH) Muhammadiyah. Secara khusus, kritik ini diarahkan pada kriteria Wujudul Hilal Muhammadiyah bagi masuknya bulan baru, yaitu pada tanggal 29 Matahari terlebih dahulu terbenam daripada Bulan. Dengan kata lain, piringan atas Bulan di atas ufuk ketika maghrib. Menurut TJ konsep ini merupakan teori usang yang merujuk pada geosentris.
Agar obyektif dan adil, orang harus melihat WH Muhammadiyah dari dua sisi yaitu konsep formal dan praksis. Dari sisi konsep formal saya sepakat dengan TJ, WH bukan kondisi piringan atas Bulan di atas ufuk saat maghrib melainkan piringan bawah Bulan. Kriteria Muhammadiyah lebih tepat disebut thulu’ul qamar ‘alal ufuqi (TQU, kemunculan Bulan di atas ufuk).
Tetapi secara praksis, Muhammadiyah sebenarnya menggunakan WH yang seharusnya bukan seperti yang tertuang dalam buku Pedoman Hisab Muhammadiyah. TJ juga abai sisi ini.
Sekarang ini, para ahli falak mutakhir dari semua ormas Islam menggunakan metoda Ephemeris dalam menghitung tinggi Bulan. Metoda yang awalnya dikembangkan oleh kyai Wardan ahli falak Muhammadiyah ini kemudian disempurnakan, di-endorse, dan digunakan juga oleh BMKG. Artinya, ia telah mendapat sertifikat dari lembaga negara resmi. Dalam metoda Ephemeris ini, ketinggian yang dihitung adalah dari ufuk ke permukaan bawah Bulan.
Selanjutnya, lihat tinggi hilal di maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah tentang penetapan hasil hisab Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah 1444 dan tahun-tahun sebelumnya. Ahli hisab mutakhir segera tahu bahwa metoda hisab yang digunakan adalah metoda Ephemeris.
Dengan demikian, kritik TJ sebenarnya bukan pada usang tidaknya teori yang digunakan melainkan menggugat Muhammadiyah mau tetap menggunakan WH seperti hitungan dalam maklumat atau TQU. Jika menggunakan TQU, maka ketinggian di maklumat tinggal ditambah setengah derajat. Selesai!
***
Tentang WH sendiri sebagai kriteria bulan baru cukup kokoh secara ilmiah. Hilal pada prinsipnya adalah bagian Bulan yang mendapatkan cahaya Matahari dan menghadap Bumi yang terus membesar hingga puncaknya saat purnama kemudian kembali mengecil. Secara teoritis ini terjadi sesaat setelah posisi konjungsi atau ijtimak yaitu ketika Matahari-Bulan-Bumi satu garis bujur astronomis.
Hilal ini bahkan dapat diamati sebelum maghrib oleh teleskop terbaru yang dikembangkan oleh Thiery Legault. Observatorium Bosscha telah mempunyai teleskop tipe ini dan 29 Juni 2022 berhasil menangkap citra hilal pada jam 15.50 dan jam 15.54 untuk hilal yang pada saat maghrib mempunyai ketinggian hanya dua derajat. Artinya hilal itu benar-benar ada atau wujud.
Bahwa hilal wujud tersebut tidak diakui oleh penganut imkanu rukyat karena belum tentu dapat dilihat ketika maghrib itu masalah lain dan merupakan wilayah ijtihad yang harus dihormati bukan untuk bahan olok-olok. Tentang penyatuan kalender, Muhammadiyah telah dan sedang membangun sistem kalender islam global sesuai konferensi kalender Islam Turki 2016.
Ada dua faktor obyektif yang perlu kita catat. Pertama, posisi hilal atau Bulan makin ke barat secara umum makin tinggi. Kedua, Indonesia merupakan negeri muslim paling timur. Karena itu, penyatuan kalender secara internasional akan lebih mungkin terjadi jika kriteria visibilitas hilal di Indonesia makin atau paling rendah. Dalam perspektif ini menaikkan kriteria imkanu rukyat dari 2 menjadi 3 derajat jelas semakin menjauhkan dari upaya pembuatan kalender Islam global. Wallahua’lam.
Editor: Yahya