Opini

Catatan Seorang Pendatang Muslim Tentang Makna Toleransi di Kota Manado

3 Mins read

Pertama kali menginjakkan kaki di Kota Manado pada 01 Januari 2024 silam, yang
langsung terasa bukan hanya udara pesisir yang hangat dengan nyiur melambai atau
keramahan orang-orangnya, tetapi juga suasana sosial yang terasa berbeda jauh dengan
pengalaman saya hidup di Pulau Jawa. Ada semacam ketenangan dalam keberagaman yang
sulit dijelaskan dengan kata-kata, tetapi nyata terasa dalam interaksi sehari-hari. Sebagai
pendatang Muslim yang bekerja sebagai seorang akademisi, saya tidak membutuhkan waktu
lama untuk menyadari bahwa Manado bukan sekadar kota dengan latar agama dan etnis yang
beragam, melainkan sebuah ruang hidup di mana toleransi benar-benar dipraktikkan secara
alami dalam keseharian masyarakatnya.


Kota Manado dikenal sebagai salah satu kota paling plural di Kawasan Timur
Indonesia (KTI). Kekristenan menjadi agama mayoritas, namun Islam, Katolik, Hindu,
Buddha, dan Konghucu hidup berdampingan secara terbuka dan relatif harmonis.
Keberagaman ini tidak berhenti pada angka-angka statistik demografis, tetapi menjelma
menjadi realitas sosial yang tampak jelas, baik di ruang publik maupun ruang privat. Rumah-
rumah ibadah berdiri berdekatan tanpa rasa saling terancam, perayaan hari besar keagamaan
berlangsung dengan saling menghormati, dan perbedaan identitas tidak serta-merta
melahirkan kecurigaan atau prasangka negatif.


Sebagai seseorang yang datang dari luar Sulawesi Utara, saya belajar bahwa toleransi
di Manado tidak diajarkan semata-mata melalui ceramah panjang dari mimbar ke mimbar,
diskursus formal di ruang kelas, atau slogan normatif yang sering kita jumpai dalam dokumen
kebijakan. Toleransi justru hadir dalam gestur-gestur sederhana yang nyaris luput dari
perhatian: sapaan ramah tanpa perlu menanyakan latar belakang agama, undangan makan
bersama tanpa kecanggungan soal keyakinan, interaksi jual-beli yang cair di pasar swalayan
maupun pasar tradisional, hingga keterlibatan lintas iman dalam kegiatan sosial dan
kemasyarakatan. Di Manado, perbedaan tidak diposisikan sebagai sesuatu yang harus terus-
menerus dijelaskan, apalagi diperdebatkan, melainkan diterima sebagai bagian tak
terpisahkan dari hidup bersama.

Baca Juga  Islam Bukan Sebuah Masalah, Melainkan Solusi


Salah satu nilai lokal yang kerap disebut sebagai fondasi kuat toleransi di Manado
adalah semboyan “Torang Samua Basudara”, yang secara sederhana dapat dimaknai sebagai
“kita semua bersaudara”. Ungkapan ini bukan sekadar retorika budaya atau jargon
kedaerahan, melainkan etika sosial yang membentuk cara pandang masyarakat Sulawesi
Utara, khususnya warga Manado, dalam memandang sesamanya. Identitas agama boleh
berlainan, etnis boleh berbeda, bahkan pandangan politik pun bisa beragam, tetapi
kemanusiaan ditempatkan pada posisi utama. Prinsip ini terasa sangat relevan di tengah
kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk dan kerap diuji oleh menguatnya politik
identitas serta polarisasi sosial-keagamaan.


Menariknya, praktik toleransi di Manado tidak berujung pada penghapusan atau
pengaburan identitas keagamaan. Setiap komunitas tetap menjalankan ajaran dan tradisinya
dengan penuh keyakinan dan kebanggaan. Namun, ekspresi iman tidak diarahkan untuk menegaskan superioritas satu kelompok atas kelompok lain, melainkan menjadi sumber nilai
moral untuk hidup rukun dan bermartabat. Dalam konteks ini, toleransi tidak berarti
relativisme agama, apalagi mengaburkan dan mereduksi keyakinan—terutama prinsip tauhid
dalam Islam, melainkan kesadaran kolektif bahwa keberagaman adalah kehendak sosial yang
harus dirawat bersama.


Bagi saya pribadi, yang sejak kecil tumbuh dan berinteraksi dalam lingkungan
mayoritas Muslim, Kota Manado menjadi ruang belajar yang sangat penting. Kota ini
mengajarkan bahwa toleransi tidak lahir dari ketakutan akan sentimen negatif atau bayang-
bayang konflik, melainkan dari apa yang dalam kajian sosial disebut sebagai social trust.
Ketika masyarakat saling percaya, perbedaan tidak lagi dipandang sebagai ancaman,
melainkan sebagai kekayaan sosial yang memperkuat kohesi lintas agama dan budaya.
Pelajaran semacam ini sering kali sulit ditemukan hanya melalui buku teks atau wacana
akademik yang kerap terasa abstrak dan hambar.

Baca Juga  Kupas Tuntas Fikih Jual Beli Online


Dalam perspektif Islam, perbedaan sejatinya bukanlah sesuatu yang asing atau harus
dihindari. Al-Qur’an secara tegas menyebutkan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku agar saling mengenal (li ta‘ārafū). Ayat ini tidak berhenti sebagai teks
normatif, tetapi terasa hidup dalam praktik sosial masyarakat Kota Manado. Di tengah
tantangan nasional dan global berupa meningkatnya intoleransi, eksklusivisme ideologis, dan
politisasi agama, pengalaman hidup di Manado menghadirkan secercah harapan. Kota ini
menunjukkan bahwa toleransi bukan utopia seremonial yang hanya hidup dalam pidato resmi,
melainkan praktik sosial yang tumbuh melalui sejarah, budaya lokal, dan komitmen kolektif
masyarakatnya.


Bagi pendatang Muslim seperti saya, Manado bukan sekadar tempat tinggal baru atau
lokasi menjalankan tugas akademik dan profesional. Ia menjelma menjadi ruang refleksi
tentang bagaimana seharusnya keberagaman dirawat dalam kehidupan berbangsa. Belajar
toleransi di Kota Manado pada akhirnya bukan semata-mata soal memahami yang berbeda
secara kognitif, tetapi tentang merasakan dan menghidupi kebersamaan dalam perbedaan itu
sendiri. Dari pengalaman inilah kita belajar menjadi manusia yang lebih utuh, manusia yang
mampu beriman tanpa merasa terancam oleh perbedaan.


Pada akhirnya, Kota Manado bukan hanya tempat singgah sementara. Ia menjadi
ruang tafakkur, tadabbur, dan ta’ammul. Tempat saya belajar bahwa toleransi bukan konsep
abstrak yang terpisah dari agama, melainkan laku hidup yang justru selaras dengan nilai-nilai
Islam itu sendiri. Di kota ini, saya memahami bahwa menjadi Muslim yang baik juga berarti
menjadi tetangga yang baik, warga yang adil, dan manusia yang memuliakan sesama. Dan
mungkin, dari Manado, saya mulai menyadari bahwa keberagaman bukan ancaman bagi
iman, melainkan ladang amal untuk membuktikan kedewasaan dan kematangan beragama.

Baca Juga  Sambut Kedatangan Paus Fransiskus, 33 Tokoh Muslim Indonesia Luncurkan Buku


Wallahu’alam.

Editor: Ikrima

Related posts
Opini

Haul ke-16 Gus Dur: Jalan Sunyi "Muhammadiyah Cabang Tebuireng"

3 Mins read
Hiruk-pikuk peringatan Haul ke-16 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) secara seremonial telah usai. Tenda-tenda di Pesantren Tebuireng yang ramai pada pertengahan Desember…
Opini

Riset: Bukan Generasi Stoberi, Gen Z adalah Agen Perubahan

6 Mins read
Menjelang tahun 2026, IDN Research Institute mengeluarkan hasil penelitian bertajuk Indonesia Millenial and Gen Z Report 2026. Dalam laporan tersebut, generasi Milenial…
Opini

Merawat Warisan Cinta: Haul ke-21 Abah Guru Sekumpul dan Aktualisasi Keteladanan Waliyullah

5 Mins read
Setiap kali bulan Rajab tiba, arah rindu jutaan manusia seakan memiliki satu tujuan yang sama: Sekumpul, Martapura, Kalimantan Selatan. Pada puncak haul…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *