Oleh: Ali Audah
Orang-orang Romawi pernah mempercayai cermin sebagai alat pendeteksi kesialan atau kemalangan dalam hidup mereka. Nenek moyang mereka mengajarkan bahwa mereka akan mengalami kesialan selama tujuh tahun jika wajah mereka di cermin terlihat pucat atau kusam. Dari kisah ini lahirlah mitos bahwa cermin yang retak adalah pertanda kesialan.
Di jaman Firaun dahulu, konon, saat tujuh tahun musim panen gandum di Mesir, semua perempuan asyik berias di depan cermin. Mereka berlomba mencari perhatian Yusuf sang Bendaharawan Negara yang kaya raya dan tampan menawan.
Tujuh tahun berikutnya, suasana menjadi sangat suram. Perempuan menjadi tidak terurus, sulit sekali mencari cadangan makanan, karena cadangan makanan telah disetor ke kas negara, sedangkan tanaman banyak yang mati kekeringan. Saat itulah cermin-cermin menjadi ajang para perempuan untuk melampiaskan kekesalan pada nasib hidupnya. Dan sejak itu pula, cermin pecah (broken mirror) menjadi tanda atau lambang kesialan.
Orang Melayu mempunyai satu peribahasa,” buruk muka, cermin dibelah.” Ini juga yang terjadi ketika Queen Malodora (ibu tiri Putri Salju) marah karena sang cermin menyebut ada wanita selain dirinya yang menjadi perempuan tercantik seantero dunia. Sang Ratu dijuluki ‘The Evil Queen’, atau ‘the Wicked Queen’ karena mempunyai perangai buruk terhadap oranglain yang dianggap menghina dirinya. Memang orang yang ber’darah panas’ (hot-blooded) seringkali mudah terbakar (inflammed) atau panas kupingnya sehingga mudah cepat bereaksi secara emosional (quick-tempered).
Netizen Reaktif
Sudah dua hari ini, sahabat saya yang lama aktif mengurusi pengkaderan (baca: pendidikan karakter) di Muhammadiyah dikeroyok warga-internet (net citizen) hanya gara-gara judul ceramahnya di acara sesi peminar pra-Muktamar Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Bengkulu, Jumat (07/02/2020) ” Sekolah Sebagai Basis Perkaderan Muhammadiyah (Berbagai Pengalaman Mendidik di Sekolah Muhammadiyah) ” diganti menjadi “Jamali: Hapus Mapel Kemuhammadiyahan, Ganti dengan Pendidikan Karakter.”
Semburan dan lontaran kemarahan dari ‘kaum netijen’ terhadap Cikgu (demikian saya biasa memanggil) pada kolom komentar di grup FB “ISLAM BERKEMAJUAN” sudah sangat kelewatan. Ada yang menyebutnya gila, PKI, penyusup, dan seterusnya.
Sekalipun jelas bahwa semua yang dituduhkan itu adalah keliru, namun Cikgu Ayip sama sekali tidak marah. Ia hanya bertanya kepada setiap penghujatnya,” apakah saudara sudah membaca lengkap tulisan saya?” Besar kemungkinan, para penghujat adalah mereka yang berkuping panas, yang dengan cepat naik darah setelah membaca judul berita, tanpa terlebih dahulu membaca utuh isi beritanya.
Pemimpin Bijak, Tahan Hujat
Seorang pemimpin masyarakat apalagi negara memang sebaiknya jangan mudah cepat naik darah. Dikritik dan dihujat adalah salah satu resiko menjadi pemimpin. Banyak orang merasa tidak setuju atau tidak puas dengan gaya atau hasil kepemimpinan, dan sebagai ungkapan ketidaksetujuan dan ketidakpuasan itu adalah lontaran kritik dan hujatan. Ini sudah menjadi hukum alam.
Baru-baru ini ada seorang kepala daerah yang emosi karena disebut sebagai kodok. Dengan dalih ‘tidak terima orangtua dihina’, kepala daerah tersebut berniat memenjarakan emak-emak yang menyebut dirinya kodok tadi. Di tempat lain, ada juga kepala daerah yang dilukiskan sebagai seorang Joker, tokoh psikopat dan pembunuh dalam serial Batman, namun sang kepala daerah hanya menanggapinya dengan senyuman.
Tentu saja tindakan menghina apalagi menghujat bukanlah termasuk amal perbuatan mulia. Apalagi jika ditujukan kepada orang yang sebenarnya lebih baik dari orang yang menghina dan menghujat tersebut. Akan tetapi, konsekuensi berada di ranah publik (public space) adalah kita tidak dapat sepenuhnya mengendalikan tindakan, perasaan dan pikiran orang di luar diri kita. Dalam kondisi demikian, hal terbaik adalah membiarkan semua orang melihat ke dalam cermin dirinya masing-masing.
Jika cermin anda ada yang retak, mulailah mewaspadai diri sendiri. Lebih baik menata dan memperbaiki terus kualitas kemanusiaan kita ketimbang memaki bahkan memecahkan cermin. Sebagai manusia yang memang diibaratkan sebagai mahluk yang dipenuhi lautan dosa dan kesalahan, tentu banyak hal yang masih memerlukan perbaikan dan pembenahan. Saling mengingatkan dalam kesabaran dan kebenaran mengandung nilai bahwa perbaikan tersebut memang tidak mudah dan harus terus dijalani.
Yogyakarta, 8 Pebruari 2020