Virus corona penyebab penyakit Covid-19 semakin hari kian meresahkan penduduk dunia, kini tren menunjukkan besarnya pengaruh Covid-19 bagi perantau.
Wabah ini muncul pertama kali di Wuhan, Provinsi Hubei, China pada akhir November 2019. Selama wabah virus covid19 menyerang Negeri Tirai Bambu tersebut tak kurang dari 3.000 orang meninggal.
Persebaran virus covid19 semakin meluas hingga ke seluruh negara di dunia walaupun China telah memberlakukan lockdown. Pada 11 Maret 2020, WHO (World Health Organization) menyatakan wabah ini sebagai pandemi. Hingga hari ini ditemukan lebih dari 1,7 juta kasus positif di seluruh dunia yang dilaporkan oleh lebih dari 200 negara di dunia, termasuk Indonesia.
Covid-19 Bagi Perantau
Indonesia adalah salah satu negara yang terus mengalami peningkatan kasus positif Covid-19. Sampai saat ini, Indonesia menjadi negara dengan angka kematian tertinggi dibanding negara-negara di Asia Tenggara. Tercatat kasus positif Pada 12 April 2020 sebanyak 4241 kasus positif, pasien sembuh sebanyak 369 dan total kematian sebanyak 373.
Pandemi virus Covid-19 menjadi suatu ketakutan tersendiri bagi masyarakat. Upaya demi upaya dilakukan pemerintah untuk memotong mata rantai persebaran virus. Upaya dari isolasi, Social Distancing, hingga Lockdown diterapkan dinegara berkembang ini. Kordinasi Pemerintah Pusat dan Daerah semakin kuat dilakukan bersama-sama, stay at home, work from home menjadi upaya terkuat yang dilakukan saat ini.
Imbauan physical distancing hingga work from home menyebabkan semua lini aktivitas dilarang bahkan dibatasi agar tidar menyebabkan kerumunan banyak orang. Melalui kebijakan tersebut pemerintah meminta masyarakat untuk tinggal dirumah dan melakukan semua aktivitas dirumah.
Aktivitas sekolah terhenti, mahasiswa dirumahkan, sektor ekonomi sosial hingga urusan agama dilarang melakukan kegiatan di luar rumah. MUI selaku badan keagamaan Indonesia meminta pemberlakuan salat Jumat dilakukan dirumah masing-masing dan meminta masjid-masjid tidak menyelenggarakan kegiatan salat Jumat.
Perekonomian semakin lesu karena adanya ketakutan konsumen beraktivitas di luar, bahkan banyak usaha kecil yang harus gulung tikar sementara. Selain itu berlaku juga pelarangan untuk berkumpul, kumpulan warga, hingga acara pernikahan dan aktivitas keagamaan.
Physical distancing menjadi sesuatu yang sangat sulit dilakukan bagi masyarakat Indonesia yang menerapkan kebiasaan budaya yang kuat. Kebiasaan budaya tahlilan, kondangan, kumpulan warga, sampai budaya mudik menjadi suatu hal yang mengakar kuat di masyarakat. istilah “makan nggak makan yang penting kumpul” menjadi prinsip yang dipegang kuat masyarakat Indonesia.
Wabah Covid-19 bagi para perantau adalah dilema. Baik Mahasiswa maupun pekerja yang ingin balik kampung halaman. Mereka khawatir dan kebingungan dengan ketidakpastian jadwal perkuliahan yang simpang siur. Kondisi yang serba terbatas dan tidak dapat dipastikan menjadi permasalahan yang pastinya menghambat proses perkuliahan. Walaupun kebijakan perkuliahan daring sudah dilakukan.
Dilema dan Ketakutan
Pulang kampung atau mudik menjadi suatu rutinitas kebiasaan yang dilakukan masyarakat Indonesia. Covid-19 sudah melanda Indonesia sejak awal tahun 2020, namun hingga mendekati bulan Ramadan belum ada tanda-tanda virus ini lenyap.
Mahasiswa perantau dirundung kegelisahan dan masih bertahan di kos-kosan maupun kontrakan hanya menunggu kepastian terkait situasi yang membingungkan. Mudik haram dalam keadaan seperti ini. Dilema.
Di satu sisi mereka menunggu kepastian nasib apakah harus bertahan dengan segala ketidakpastian atau tetap nekad balik kampung dengan segala konsekuensinya. Memilih untuk pulang kampung bukan berarti tanpa risiko. Risiko terpapar Covid-19 menjadi lebih besar atau mungkin saja menjadi carrier bagi keluarga dirumah.
Bukan hanya itu, mereka yang nekat balik kampung dari luar kota akan langsung dimasukan ke kategori orang dalam pemantauan (ODP).
Terlebih lagi, kemungkinan Pemerintah Daerah untuk menerapkan Karantina daerah/ PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) menyebabkan setiap orang dilarang untuk bepergian keluar kota atau masuk wilayah/daerah. Mudik 2020 akan dilarang.
Ketakutan dan dilema sangat kuat dirasakan oleh semua perantau termasuk saya yang harus menjalankan Paskah di tanah rantau. Saat orang lain bisa berkumpul di rumah, para perantau harus menahan rindu yang amat kuat untuk tidak bertemu dengan keluarga di rumah.
Kemungkinan terburuk juga harus siap dihadapi untuk berlebaran di tanah perantauan yang jauh dari keluarga. Tentunya hal ini menjadi sesuatu yang amat sangat berat. Setelah setahun lamanya tak bertemu dengan keluarga dirumah dan melewatkan momen sakral lebaran tanpa keluarga.
Pulang Haram, Tak Pulang Rindu
Banyak pro-kontra timbul di masyarakat dalam menyikapi larangan pulang kampung dan fatwa “haram” yang dikeluarkan MUI. Bahkan tak tidak sedikit pula para perantau yang tetap nekat balik kampung. Alasan terkuat untuk tetap balik yakni faktor ekonomi.
Satu hal yang terkadang luput dari pantauan pemerintah, pulang dan berkumpulnya seorang anak bagi orangtua adalah obat mujarab bagi imunitas keluarga (Mengutip artikel Syamsul Bahri). Situasi berat yang dihadapi bangsa ini disepanjang tahun 2020 harus berperang melawan Covid-19 dan perekonomian di ambang batas kehancuran.
Situasi berat yang dihadapi bangsa ini harus saling bahu-membahu dan dipikul bersama semua pihak untuk meberantas mata rantai persebaran virus COVID19.
Kita berharap semua masalah yang sedang melanda bangsa ini akan segera sirna. Nasib perantau yang dirundung ketakutan dan dilema balik kampung segera mendapat titik terang. Khusus perantau yang memaksakan diri pulang kampung juga dapat mendisiplinkan diri dan mengikuti anjuran pemerintah. Tentu menjalankan mekanisme swakarantina setelah sampai di kampung tujuan.
Semoga balik kampung tak menjadi buah simalakama Covid-19: Pulang haram, tak pulang rindu–dan tak makan.
Editor: Nabhan