“Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly mencuri kesempatan untuk membebaskan napi dan terpidana korupsi (koruptor) sebab pandemi virus corona (Covid-19) di Indonesia”
Najwa Shihab dalam Narasi TV (4/4/2020)
Kegaduhan di Masa Covid-19
Tidak ada hentinya, realitas situasi hukum politik nasional negeri ini digoyang hebat oleh pemangku kuasa Lembaga Negara. Bukan main, Indonesia kini diisi oleh antek-antek haus akan kepentingan. Bagaimana tidak, kasus Omnibus Law dikesampingkan padahal sementara itu warga negara yang jadi taruhan jika RUU CILAKA ini disahkan. Kelompok buruh yang tergabung dalam Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) pun meminta DPR menunda pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
MPBI merupakan gabungan tiga konfederasi besar buruh yakni Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) begitu menyesalkan sikap DPR. Karena, disatu sisi negara sedang menghadapi persoalan yang sangat berat yaitu menangani Covid-19.
Namun, DPR terkesan memaksakan kehendak dan memperkeruh suasana. Tidak ada transparansi serta akuntabilitas pemerintah kepada masyarakat, partisipasi publik yang diwajibkan dalam pembahasan RUU pasti tidak bisa maksimal.
Berapa hari yang lalu, mendadak orang nomor satu di negeri ini memberlakukan PSBB beserta wacana penetapan darurat sipil. Belum juga reda, Menkumham menambah kasus baru yakni remisi bagi terpidana korupsi sebab virus Corona.
Apa waras orang-orang di atas yang mengurus dan menjalankan amanah konstitusi? Berbicara hari ini, esok klarifikasi. Begitu wajah NKRI saat ini, Negara Kesatuan menjadi Negara Klarifikasi Republik Indonesia.
Usulan Yasonna Laoly
Alasan di balik akal-akalan Yasona Laoly adalah “pembebasan ini karena lapas yang kelebihan kapasitas akan membuat penyebran virus ini tidak terkendali dan jika satu tertular akan membahayakan semua”, terangnya. Secara prinsip alasan ini bisa diterima. Mengingat memang kondisi lapas yang tidak manusiawi, orang bertumpuk seperti pindang bahkan tidur bergantian.
Hal ini sukar dipahami ketika berbicara soal terpidana korupsi. Menimbang, sel bagi koruptor berbeda dengan tahanan yang lain. Sebut saja Lapas Sukamiskin misalnya, satu napi satu kamar. Lengkap dengan fasilitas di dalamnya. Dalih berdesakan dengan napi lain sehingga memungkinkan penyebaran Covid-19 tidak masuk akal.
Para koruptor di Sukamiskin bahkan bisa mandi air panas di kamar mandi pribadi dan olahraga dengan alat khusus di dalam sel eksklusif mereka. Tentu jauh berbeda dengan kondisi “napi” yang hanya mencuri kayu bakar atau sendal di Mesjid.
Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur misalnya, menilai alasan kelebihan kapasitas tidak berlaku bagi napi kasus korupsi. Sel mereka berbeda dengan napi lain. Tak ada desak-desakan, bahkan relatif eksklusif.
Selain itu, DPR wajib mengawasi kebijakan-kebijakan pemerintah yang berpotensi menyebabkan kerentanan di masyarakat. Bukan hanya menghabiskan dana masa reses diluar untuk kepentingan maslahat. Belum terasa fungsinya.
Remisi untuk Koruptor
Apa itu remisi? Menurut Pasal 1 ayat (1) Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 174 Tahun 1999, remisi adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang telah berkelakuan baik selama menjalani pidana.
Menurut Pasal 1 ayat (6) Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999, remisi adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Menurut Pasal 34 Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 1999 sebagai berikut:
a. Setiap narapidana dan anak pidana berhak mendapatkan remisi.
b. Remisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang telah memenuhi syarat:
1) berkelakuan baik; dan
2) telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan.
Persyaratan berkelakuan baik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dibuktikan dengan:
a) tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun 6 (enam) bulan terakhir, terhitung sebelum tanggal pemberian remisi; dan
b) telah mengikuti program Pembinaan yang diselenggarakan LAPAS dengan predikat baik.
Secara sosiologis, pemberian remisi untuk narapidana sesungguhnya sangat melukai masyarakat yang telah lama menanti kesejahteraan dan keadilan. Senada dengan itu, Wakil Ketua KPK 2010-2011 Busyro Muqoddas mengatakan bahwa remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor. Selain melukai rasa keadilan hukum, juga menunjukkan pemerintah yang tidak sensitif terhadap semangat pemberantasan korupsi.
Lebih dari itu, “Kejahatan korupsi yang luar biasa, justru dihukum dengan tidak luar biasa. Ini menyedihkan,” kata Busyro yang saat ini menjadi Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum.
Isu pemberian remisi ini memperlihatkan bahwa keberpihakan pemerintah dalam urusan pemberantasan korupsi sangat lemah. Terbukti dari data yang dicatat Indonesia Corruption Watch (ICW) 2015-2019 Yasonna Laoly pernah berencana merevisi PP No. 99 Tahun 2012 Tentang Syarat Dan Hak Napi Di Lapas.
Napi korupsi cukup mendapat perhatian khusus di dalam lapas. Contohnya, setiap napi tidak boleh mendapat kunjungan selama pandemi bukan dengan pemberian remisi.
Fakta dan Tanggapan KPK
Berangkat dari data Indonesia Corruption Watch (ICW) 18 Februari 2020, dari 250.000 napi tindak kejahatan di Indonesia, terdapat 1.8% nya adalah terpidana korupsi. Maka angka 1.8% tersebut atau dengan jumlah 4.500 napi korupsi tidak relevan jika dijadikan sebagai data konstitusional dalam hal pemberian remisi terhadap koruptor.
Artinya, kondisi pandemi saat ini dari tidak bisa memenuhi syarat pemberian remisi bagi terpidana korupsi yang termaktub dalam Pasal 34A dan 43A, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Di luar daripada itu banyak narapidana akibat kejahatan lain, misal narkoba. Data diatas jelas menunjukkan bahwa tidak ada alasan kenapa pelaku tindak pidana Extraordinary Crime (kejahatan luar biasa) seperti korupsi mendapatkan keringanan remisi.
Diketahui sebelumnya, dalam rapat bersama DPR Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri mengaku pihaknya tidak dilibatkan oleh MenkumHAM Yasonna Laoly soal pembebasan napi korupsi berusia lanjut. KPK pun tidak mendukung bila hal itu turut terjadi kepada napi tindak pindana korupsi.
“KPK melalui Biro Hukum tidak pernah diminta pendapat tentang substansi dari materi yang akan dimasukan dalam perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan mengingat dampak dan bahaya dari korupsi yang sangat merugikan negara dan masyarakat,” kata Ali Fikri saat dikonfirmasi, Sabtu (4/4).
Maka tidak salah apabila para aktivis pegiat Anti Korupsi dan HAM menduga kuat bahwa Yasona Laoly hanya menunggangi isu Covid-19, sebagai jalan mulus remisi bagi terpidana korupsi.
Editor: Nabhan