Belum lama ini, Lembaga Kajian Strategis dan Pembangunan (LKSP) merilis survei yang menyebut Muhammadiyah sebagai organisasi paling peduli terhadap wabah COVID-19.
Sebagai persyarikatan yang matang, Muhammadiyah sepatutnya memaknai hal tersebut sebagai fi’il amar bukan isim fa’il. Itu bukanlah sanjungan, melainkan tuntutan agar persyarikatan ini istikamah sebagai organisasi yang memang paling sigap menghadapi wabah COVID-19.
Dengan ribuan klinik dan rumah sakit, belum ditambah sekolah, perguruan tinggi, pesantren, dan masjid yang tersebar di seluruh Indonesia, sudah sewajarnya Muhammadiyah berada di garda terdepan dalam menangkal wabah.
Namun, gelar yang disandangkan terlalu dini justru bisa menipu. Apalagi jumhur ilmuwan memprediksi, wabah ini masih akan berlangsung lama, setidaknya sampai vaksin diproduksi massal. Paling cepat tahun depan.
Saat ini, pandemi baru gelombang awal. Jika diibaratkan lomba lari, penanganan wabah kali ini serupa lari maraton, bukan lari jarak pendek. Daya tahan dan konsistensi jangka panjang (sikap istikamah) jauh lebih penting daripada kesigapan di awal.
Sains, Kunci Menangani Wabah
Kita semua sepakat, kunci mengatasi wabah kali ini adalah sains. Setidaknya bisa kita lihat dari struktur organisasi Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC) yang didominasi oleh kalangan dokter. Tetapi, yang sering dilupakan adalah bahwa sains sebetulnya tidak hanya sains alam (natural science) melainkan juga sains sosial (social science).
Dalam hal wabah saat ini, sains tidak hanya menyangkut ilmu perilaku virus, tetapi juga ilmu perilaku manusia. Yang terakhir ini kurang mendapat perhatian, walaupun sebetulnya sama penting dengan yang pertama.
Para ahli epidemiologi sudah memberi pedoman umum mengenai pengendalian wabah, yakni 3M (memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan), serta 3T (test, trace, treat).
Pedoman sains alamnya sudah jelas. Yang masih belum kita kuasai adalah sains sosial. Misalnya, bagaimana membuat kebijakan yang efektif agar orang-orang mau mengikuti pedoman di atas.
Kebijakan Muhammadiyah dan Ujian Sains
Kaitannya dengan hal tersebut, berikut sikap Muhammadiyah yang berhubungan dengan kebijakan masuk sekolah, pesantren, hingga beribadah di masjid.
Sekolah
Sejak pertengahan Juni kemarin, sekolah dan pesantren Muhammadiyah sudah diperbolehkan masuk. Kebijakan ini sebetulnya sangat berisiko walaupun sudah disertai dengan protokol kesehatan. Jam sekolah memang hanya setengah dari biasanya, sehingga siswa bisa dibagi menjadi dua kelompok. Namun, kegiatan belajar masih berlangsung di dalam kelas seperti biasa.
Padahal, ada cara yang risiko penularannya lebih rendah, yaitu belajar di luar ruang. Ini sesuai dengan pedoman sains untuk menghindari 3C, yaitu closed spaces (ruangan tertutup), crowded places (kerumunan), dan close-contact (kontak dekat). Selain risiko penularannya lebih rendah, belajar di alam luar sebetulnya lebih menarik.
Daripada terus-menerus di dalam kelas, lebih asyik belajar ilmu reproduksi dari kambing menyusui dan ayam menetaskan telur, atau belajar fotosintesis dengan ikut petani di ladang, bisa juga belajar budidaya dengan memberi makan ikan lele.
Di sinilah pentingnya Muhammadiyah melibatkan para ahli pendidikan untuk merancang metode belajar era COVID dengan risiko penularan yang paling rendah.
Masjid
Dalam hal ibadah, Muhammadiyah sejak awal wabah sudah memberikan pedoman jelas mengenai kaifiyahnya. Salat rawatib, tarawih, hingga salat id dianjurkan di rumah. Namun, tampaknya ada kesenjangan antara sikap resmi organisasi dengan praktik warga Muhammadiyah di lapangan. Banyak masjid Muhammadiyah yang masih melaksanakan salat jamaah seperti biasa.
Di daerah penulis, sebuah kelurahan yang sudah ada 15 orang positif COVID-19, masjid-masjid Muhammadiyah masih menyelenggarakan salat seperti biasa. Tidak ada kaifiyah baru. Saf masih seperti biasa. Tak ada penjarangan. Sebagian besar jamaah tidak memakai masker. Jumatan pun di dalam ruang. Halaman yang luas tidak dimanfaatkan untuk melakukan penjarangan saf.
Khatib pun masih berlama-lama ceramah tanpa memakai masker. Padahal khatib adalah orang pertama yang harus pakai masker, karena ia berbicara selama puluhan menit dan menghasilkan droplet paling banyak.
Kalau masker kain dirasa kurang nyaman dan mengganggu ceramah, takmir masjid bisa menyediakan masker medis yang biasa dijual di apotek. Kalau level khatib tidak memberi teladan kepedulian terhadap COVID-19, tentu kita sulit berharap kesadaran dari para jamaah awam.
Ini semua adalah celah yang bisa menjadi sumber penularan. Dan menunjukkan bahwa ikhtiar pencegahan masih perlu ditingkatkan. Kalau biasanya imam selalu mengingatkan pentingnya merapatkan saf dengan aba-aba sawwu shufufakum setiap menjelang salat, harusnya imam juga bisa melakukan hal yang sama untuk mengingatkan pentingnya “kaifiyah Covid”.
Pesantren
Selain sekolah dan masjid, pesantren adalah tempat penularan yang harus sangat diwaspadai. Apalagi pesantren merupakan kombinasi sempurna dari 3C: orang banyak yang berkumpul di dalam ruangan dan berinteraksi sepanjang hari.
Bagaimana pun, ketatnya protokol kesehatan, kalau ada satu saja sumber penularan yang lolos masuk ke dalam pesantren, ia bisa menciptakan klaster baru, seperti yang terjadi di Pesantren Al-Fatah Temboro Magetan atau Pesantren Gontor Ponorogo.
Di Gontor, penularan terjadi dari santri yang kembali ke pesantren dalam keadaan sudah terinfeksi, tetapi tidak menunjukkan gejala, sehingga ia lolos begitu saja di tahap skrining kedatangan.
Ia baru dicurigai sebagai pembawa virus setelah ayahnya diketahui positif COVID-19. Penularan dari orang tanpa gejala (OTG) seperti ini bisa terjadi di mana saja. Protokol kesehatan yang ketat pun memang sulit mendeteksi OTG. Ini adalah risiko yang setiap saat harus dihadapi ketika pesantren memutuskan untuk buka kembali.
Ini semua adalah tantangan riil buat Muhammadiyah. Menutup sekolah dan pesantren memang akan sulit diterima khalayak, sebab menyusahkan semua pihak, terutama orang tua siswa yang kewalahan mendidik anak di rumah. Di sinilah perlunya sains sosial mengambil peran, agar pedoman sains alam bisa dikompromikan dengan kondisi sosial di lapangan.
Ini merupakan tantangan yang sangat sulit. Kalau sekadar urusan ilmu kedokteran, kita tinggal mengikuti saja rilis dari Badan Kesehatan Dunia (WHO). Masalahnya, faktor sosial sangat kompleks.
Kita berhadapan dengan masyarakat yang sulit patuh, literasi kesehatan yang rendah, belum lagi ditambah faktor ekonomi dan kebijakan pemerintah yang tidak konsisten. Tantangannya lengkap.
Muhammadiyah benar-benar diuji, apakah bisa menjadi pelopor penanganan COVID-19 seperti hasil survei LKSP. Merancang “kurikulum covidian” memang tidak mudah, sebab tidak ada yang bisa dijiplak. Satu-satunya cara adalah seperti kata WS Rendra dalam Sajak Sebatang Lisong:
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode
Tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan
Kita mesti keluar ke jalan raya
Keluar ke desa-desa
Mencatat sendiri semua gejala
Dan menghayati persoalan yang nyata
Editor: Lely N