Situasi dewasa ini mengenai penyebarluasan Corona Virus-19 (Covid-19) di Indonesia semakin memprihatinkan. Sampai pada 20 Maret 2020, Kasus COVID-19 di Indonesia bertambah menjadi 369 orang dengan 17 sembuh dan 32 orang meninggal dunia, (worldometers, 2020).
Kasus-kasus tersebut diyakini semakin bertambah dan belum ada tanda-tanda mereda dalam beberapa waktu kedepan. Prosentase tingkat fatalitas (Case Fatality Rates/CFR) kasus Covid-19 di Indonesia pada prosentase 8,67%, lebih tinggi daripada Italia di angka 8,30%, Filipina 7,83% dan Iran 6,98% (CEBM University of Oxford, 2020).
Tentu, apa yang menghinggapi pikiran masyarakat sipil juga masih kebingungan mengenai langkah-langkah strategis apa yang dilakukan oleh Pemerintah guna mengantisipasi pandemi global ini. Sejak awal kasus ini disampaikan secara terbuka oleh Presiden Jokowi dan Menteri Kesehatan, pada 2 Maret 2020 lalu.
Sampai saat ini beragam cara dilakukan oleh pemerintah, mulai dari membuat seruan tentang pembatasan aktivitas sosial (social distancing), pelaksanaan tes massal cepat (mass rapid test), hingga pengadaan besar-besaran dua jenis obat untuk perawatan pasien Covid-19, yaitu obat bernama Avigan dan Klorokuin yang dinyatakan ampuh di beberapa negara sekaligus (Kumparan.com, 2020).
Tulisan ini tidak berfokus untuk mengjai terkait teknis medis. Namun, hal yang tidak kalah penting di situasi krisis seperti ini, bagaimana prinsip-prinsip anti-korupsi justru diarusutamakan sebagai strategi strategis Pemerintah Indonesia dalam penanggulangan Covid-19, bagaimana potensi praktik korupsi terkait bencana non-alam di Indonesia,serta masa depan gerakkan anti-korupsi ditengah wabah Covid-19 tersebut.
Nir-Transparansi Sebagai Benih Koruptif Negara
Permasalahan fundamental pemberantasan Covid-19 dan kaitannya dengan anti-korupsi di Indonesia adalah minimnya transparansi dan keterbukaan data yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Padahal, kita telah memiliki mandat secara hukum dalam Undang-Undang No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).
Penggunaan otorisasi data Pemerintah untuk menangani pandemi. Dimana tujuan dari keterbukaan informasi publik berdasarkan Pasal 3 UU KIP tersebut agar masyarakat dapat mengikuti dan memberi menjamin hak masyarakat yang ditujukan kepada Pemerintah dalam membuat setiap kebijakan publik, khususnya dalam penanggulangan Covid-19 ini.
Keterbukaan data yang diharapkan oleh masyarakat tidak hanya terbatas pada penyampaian jumlah korban SARS model baru tersebut, namun apa-apa yang menjadi penyebab dari virus tersebut menyebar, peta persebaran, serta strategi yang koheren antara Pemerintah pusat dan daerah dalam penanggulangan pandemic tersebut.
Dimensi lain dari keterbukaan informasi publik tersebut adalah, selain penyampaian data secara realtime kepada masyarakat, namun juga mengantisipasi kepanikan sosial- ekonomi yang terjadi sebagai dampak dari penyebaran Covid-19 di Indonesia. Kajian Fransesca Manes Rossi, et.al (Fransesca, 2017) yang merujuk data OECD, Bank Dunia dan Transparansi Internasional mengingatkan, pentingnya transparansi dan akuntabilitas keterbukaan publik yang dilakukan oleh pemerintah dengan ketersediaan sumber daya data dan informasi agar terhindar dari praktik koruptif.
Eksistensi Stranas Pencegahan Korupsi yang dibentuk berdasarkan Perpres No.54 tahun 2018 perlu ditantang agar menjamin akses informasi publik diperkuat agar transparansi dan akuntabilitas informasi publik. Walaupun, kita memahami dampak dari pandemi Covid-19 ini berdampak luas pada pelambatan ekonomi global, langkah dan upaya tetap wajib dilakukan Pemerintah Indonesia agar menciptakan kepastian pasar.
Waspada Korupsi Pengadaan Ditengah Situasi Covid-19
Satu hal yang perlu menjadi perhatian serius terkait Covid-19 dan anti-korupsi adalah potensi pengadaan tes massal cepat dan obat-obatan Avigan serta Kloroquin atau alat-alat lain yang dibutuhkan untuk penanggulangan Covid-19. Kajian ICW terkait tren penindakan korupsi pada tahun 2018 mengingatkan publik bahwa korupsi pengadaan barang dan jasa menempati angka tertinggi dengan 214 kasus korupsi dan kerugian negara Rp.937 Miliar (ICW, 2019).
Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 31 tahun 1999, menjelaskan bahwa praktik korupsi yang dilakukan baik oleh penyelenggara negara maupun korporasi yang dalam keadaan keadaan tertentu terdampak pandemi covid-19 melakukan korupsi pengadaan baik alat mass-rapid test maupun obat-obatan dan alat kesehatan terkait dapat dijatuhi pidana mati sebagai sanksi pidana maksimalnya.
Kesadaran anti-korupsi itu juga harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pemberantasan Covid-19 ini, pelibatan KPK sebagai leading sector pemberantasan korupsi serta entitas sipil kemasyarakatan yang memiliki konsen dalam pemberantasan korupsi menjadi sangat penting dalam mengawal penindakan Pandemi Covid-19 agar tidak ada oknum dan kartel yang melakukan praktik koruptif ditengah nestapa yang dialami oleh masyarakat Indonesia.
Masa Depan Anti-Korupsi Kita di tTengah Pandemi Covid-19
Solidaritas dan kebersatuan nasional dalam penanggulangan Covid-19 ini perlu diperkuat dengan tidak hanya berfokus pada aspek medis dan ekonomi saja, namun juga aspek anti-korupsi yang menjadi dasar pijakkan agar tidak melakukan praktik koruptif ditengah bencana nasional ini.
Seraya mengharapkan komitmen kuat dari Pemerintah melalui Gugus Terpadu Covid-19 serta Stranas-Pencegahan Korupsi dan otoritas-otoritas terkait di Indonesia, sehingga masa depan anti-korupsi Indonesia ditengah Pandemi Covid-19 semakin menguat dan harmonis.
* Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum dan Direktur Pusat Studi Anti-Korupsi dan Demokrasi (PUSAD), Universitas Muhammadiyah Surabaya