Risalah Islam yang dibawa dan disebarluaskan Rasulullah Muhammad Saw terus berlangsung hingga kini, diestafetkan oleh para ulama sebagai “pewaris Nabi”. Rasulullah Muhammad Saw menempuh banyak cara untuk dapat menyampaikan Risalah Islam kepada penduduk Makkah dan Madinah kala itu.
Agama Islam sudah menjadi agama dakwah sejak awal kerasulan Muhammad Saw. Metode dakwah paling menonjol yang dijalankan Nabi Muhammad SAW adalah melalui ajakan lisan serta teladan (contoh) akhlak yang beliau perlihatkan dalam setiap gerak gerik kesehariannya.
Dakwah dengan Keteladanan
Faktor utama yang terlupakan dan mungkin sengaja dilupakan oleh pendakwah mubaligh era-kekinian adalah keteladanan. Dakwah menjadi tidak efektif jika tidak dibarengi dengan keteladanan mubaligh-nya.
Pesan moral seagung apapun yang ada dalam nilai-nilai agama, tidak akan efektif tersampaikan tanpa adanya keteladanan dari penyampainya. Al-Qur’an sendiri sebagai dasar pertama pengambilan dasar bagi umat Islam telah menyampaikan pesan keteladanan tersebut. Al-Qur’an telah menegaskan ;
“Wahai sekalian orang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang kamu sendiri tidak mengerjakannya? Sungguh besar dosanya di sisi Allah SWT jika kamu mengatakan sesuatu tetapi kamu sendiri tidak menjalankannya.”(QS. Al-Shaff [61]:2-4)
Keteladan menjadi penekanan utama dalam ayat tersebut, dengan bahasa yang tegas dan gamblang. Kaidah dakwah selanjutnya juga diterangkan dalam Al-Qur’an;
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan merekaa dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.”(QS. An-Nahl [16]:125)
Kaidah Dakwah
Ayat di atas mengajarkan metode dakwah dengan kaidah al-Hikmah, al-Mauidzah al-Hasanah dan al-Mujadalah billati Hiya Ahsan. Kaidah dakwah al-Hikmah mengajarkan pada kita agar mengetahui terlebih dahulu sasaran dakwah kita dan mengenal seperti apa karakteristik kaum atau orang tempat kita berdakwah.
Kaidah kedua yakni al-Mauidzah al-Hasanah mengajarkan para mubaligh agar dapat memberi kepuasan dalam penerimaan bagi yang menerima dakwah melalui cara-cara penyampaian yang baik serta contoh berupa keteladanan yang mencerminkan nilai-nilai agama yang didakwahkan.
Kaidah terakhir adalah al-Mujadalah billati Hiya Ahsan, yakni mendialog-kan atau berdiskusi dengan baik tanpa melukai perasaan kaum atau orang-orang yang menerima dakwah kita.
Kiadah Dakwah yang Paling Efektif
Penegasan kedua ayat Al-Qur’an di atas, telah jelas menjelaskan pada kita khususnya para mubaligh, tentang metode dakwah seperti apa yang efektif dan menjadi kaidah berdakwah yang dijalankan Rasulullah Muhammad Saw.
Garis besar metode dakwah beliau adalah dakwah dengan mengedepankan keteladanan sehingga dapat dicontoh oleh orang awwam sekalipun. Sebab, inti dari dakwah adalah mengajak melakukan kebaikan dan melaksanakan amal kesalihan.
Agar masyarakat dapat memahami amal kesalihan seperti apa yang harus dilakukan, maka Da’wah bil-Hal adalah metode efektif yang harus dilakukan para Mubaligh, dengan tentu saja dibarengi Da’wah bil Maqal.
Dakwah dengan “bahasa lisan/ucapan”, seringkali dapat menipu, namun lain halnya dengan “bahasa tindakan/perbuatan” yang tidak dapat menipu karena nyata terlihat dan dapat langsung dimengerti.
Inilah keteladanan yang perlihatkan Nabi Muhammad SAW dalam mendakwahkan Islam di masa awal penyebaran Risalah Islam. Maka sangat relevan jika kita melihat pada sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa ;
“Lisânul hâl-i afshahu min lisânil maqâl” (“bahasa perbuatan itu lebih fasih daripada bahasa lisan”).
Ungkapan tersebut menggambarkan pada kita bahwa untuk menyampaikan sebuah kebenaran, bisa jadi membutuhkan berjuta-juta kata untuk menjelaskannya.
Namun sebaliknya, dari berjuta kata-kata tentang kebenaran hanya membutuhkan satu tindakan nyata untuk menggambarkannya. Sejalan dengan ungkapan tersebut, digambarkan pula oleh Gus Kautsar (KH. Abdurrahman Al-Kautsar-Ploso) seperti kata beliau ;
“Para Kyai itu dalilnya sudah bukan di otak dan lisannya, tapi sudah ada di hati dan perilakunya.”
Keteladanan yang Paling Utama
Bahwa jelaslah bagi para Mubaligh penerus dakwah Nabi SAW, agar mampu menunjukkan keteladanan yang tampak dalam setiap gerak gerik kesehariannya dan dikuatkan melalui lisannya.
Setelah mampu mencontohkan teladan dalam berdakwah, maka konsekwensi selanjutnya adalah konsisten (istiqomah) dalam menjalankannya. Konsistensi ini menjadi penting demi efektifitas dakwah yang dilakukan para Mubaligh.
Karena seberapa semangat dan bergeloranya para Mubaligh menyampaikan ajakan-ajakan kebaikan melalui Da’wah bil Lisân nya kepada masyarakat, namun tidak konsisten menjalankan apa yang disampaikannya dalam kesehariannya, maka dakwahnya tidak akan efektif diterima masyarakat. Mubaligh adalah panutan, yang didengarkan perkataannya dan dilihat serta ditiru perbuatannya.
Karenanya, metode Dakwah Harakah atau berdakwah dengan perbuatan adalah metode dakwah efektif yang relevan dengan kondisi kekinian yang sangat membutuhkan hadirnya nilai-nilai agama yang benar dan dapat nyata terlihat.
Kebenaran Dakwah Harakah para Mubaligh lebih dapat diterima pada masa kekinian yang sebagian besar karakteristik masyarakat sekarang cenderung materialistis dan mengedepankan rasionalitas.
Metode Dakwah Harakah ini mengajarkan pada kita mengenai dakwah sejati, dimana seorang Mubaligh bukan saja bisa menyampaikan ajaran-ajaran serta ajakan-ajakan kebaikan melalui lisannya, namun juga membuktikan apa yang disampaikannya dalam setiap gerak langkah kesehariannya yang bisa menjadi teladan dalam masyarakat.
Mencari ilmu/belajar, kemudian mengajarkannya sejalan dengan mengamalkannya. “Ta’allama wa ‘Allama wa ‘Amila bi ‘Ilmihi”.
Editor: Yahya FR