Dalam konteks politik kekuasaan, warga Persyarikatan Muhammadiyah itu belum berserikat, namun masih bergerombol. Demikian benang merah obrolan saya dengan Prof Dr Zainuddin Maliki, M.Si, anggota DPR RI no anggota : 507 dari PAN, Daerah Pemilihan Jatim X (Lamongan dan Gresik).
Pertemuan Saya dengan Prof Zainuddin Maliki
Prof Zainuddin, tanggal 26 Desember 2021 lalu, ada acara khusus di Boyolali. Dalam kedudukannya sebagai PLT Ketua DPW PAN Jateng, Prof Zainuddin menghadiri Muscab Serentak PAN, sekaligus memberikan sambutan atau melakukan orasi politik. Beliau tiba di Boyolali sekitar pukul 21.00 WIB hari sebelumnya, dan menginap di Hotel Loji Kridanggo MaxOne Boyolali. Hotel baru di kota susu yang diresmikan pemakaiannya sekitar satu bulan lalu.
Saya sambut kedatangan wakil rakyat tersebut dengan kegembiraan. Saya memperoleh tugas sebagai “sopir pribadinya” selama di Boyolali. Pada pagi harinya, saya menemani Prof Zainuddin makan pagi di Hotel, sambil ngobrol ngalor-ngidul tentang konstelasi politik nasional.
Sontak obrolan itu menjadi menarik bagiku. Inilah obrolan politik yang bermutu. Mungkin, inilah obrolan yang saya rindukan selama era reformasi ini. Pengalaman ketemu dengan anggota DPR RI selama ini, amat pragmatis. Makan-makan, ditanya butuh bantuan apa dan mengajukan proposal.
Saya pernah menolak menghadiri atau menemui anggota DPR RI dalam suatu perjamuan makan. Nothing to get, kataku. Kalau hanya makan-makan, saya bisa makan sendiri bersama istri dan anak-anak, di rumah makan yang kami suka. Itu lebih membahagiakan daripada bertemu dengan wakil rakyat yang tidak punya wawasan, tidak paham tugas dan kewajiban sebagai wakil rakyat.
Warga Muhammadiyah Belum Berserikat
Ketemu wakil rakyat Prof Zainuddin, terasa sangat beda. Ada banyak refleksi dan inspirasi yang perlu ditindaklanjut. Salah satu hal yang betul-betul saya garis bawahi, seperti tema dalam tulisan ini. Dalam konteks politik kekuasaan, warga Persyarikatan Muhammadiyah itu belum berserikat, namun masih bergerombol.
Menurut wiktionary.org, berserikat mempunyai arti : (1) bersama-sama mengusahakan sesuatu; (2) bersatu merupakan perkumpulan, gabungan atau ikatan; (3) atau bersekutu dengan atau berkawan dengan. Akar kata persyarikatan itu adalah berserikat.
Karena itu, Persyarikatan Muhammadiyah mempunyai banyak success story mendirikan amal usaha dalam bidang healing (Kesehatan), schooling (pendidikan) dan feeding (panti sosial). Hajriyanto Y Thohari menyebutnya dengan Trisula Abad Pertama Muhammadiyah. Siapapun paham dan mengakui tentang success story tersebut.
Mengapa sukses? Warga Muhammadiyah benar-benar “berserikat”. Bersama-sama, dan bersatu mengusahakan untuk mendirikan dan mengelola lembaga pendidikan, klinik kesehatan, rumah sakit, panti sosial dan sebagainya. Menginjak usia Abad Kedua, trisula berikutnya terlihat tanda-tanda kesuksesan, yakni di bidang filantropi (Lazis-Mu dan MDMC), Majelis Pemberdayaan Masyarakat dan sektor ekonomi.
***
Di tangan dingin Deni Asy’ari, direktur Serikat Cahaya Media (PT milik Suara Muhammadiyah) ada geliat diversifikasi usaha di bidang hotel (Graha Suara Muhammadiyah), SM Corner dan usaha retail (LogMart). LogMart diluncurkan pertama kali bertepatan dengan Milad Muhammadiyah yang ke 108 (18/11/2020). Dalam usianya satu tahun, sudah dibuka 56 gerai LogMart yang menyebar di daerah DIY, Jateng dan Jatim. Progressnya, nampak.
Tidak berlebihan jika kemudian Robert Hefner (pengajar di Bosten University, USA) mengatakan : Muhammadiyah adalah role model organisasi agama paling sukses di dunia. Muhammadiyah juga menjadi organisasi paling kaya di dunia (Fahd Pahdepie, 2020)
Pada tahun 2017 dilaporkan Muhammadiyah mengelola hampir 21 juta meter persegi tanah wakaf. Artinya, 21.000 km2; tanah itu hampir setara dengan 30 kali luas Singapura (725,7 km2;), hampir empat kali luas pulau Bali (5.780 km2;), sebesar negara Slovenia (20.271 km2;). Istimewanya, tak sejengkal pun tanah itu atas nama pribadi-pribadi tertentu, seluruhnya atas nama Persyarikatan.
Muhammadiyah Yatim Piatu
Dalam kanca politik kekuasaan atau politik praktis, sulit untuk menyebutkan success story Muhammadiyah, khususnya pada era reformasi ini. Menurut Buya Ahmad Syafii Maarif, dalam politik kekuasaan, Muhammadiyah itu yatim-piatu. Alias, tidak punya bapak dan tidak punya ibu.
Apabila menyangkut politik kekuasaan, lanjut Buya, Muhammadiyah nyaris tak berdaya. Salah satu misi Buya untuk ketemu (istilah dekat saya) presiden, untuk menjelaskan betapa lemahnya posisi politik Muhammadiyah bila menyangkut kekuasaan. Tidak satu pun parpol yang ada di Indonesia sekarang, yang bersedia membantu Muhammadiyah untuk memperjuangkan aspirasi politiknya.
Dalam politik kebangsaan, bisa disebut Muhammadiyah banyak menorehkan catatan success story. Termasuk sukses monumental, saat ketua umum Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo, mampu mencegah keretakan awal negara ini dibentuk, dengan mencoret 7 kata dalam sila pertama Pancasila, menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Muhammadiyah, masih dalam tataran politik kebangsaan, kata Buya, menjadi salah satu pilar utama masyarakat sipil yang memperkuat anyaman integrasi nasional karena jaringannya telah menembus masyarakat yang paling udik melalui kerja-kerja nyata. Negara belum mampu menangani semua masalah masyarakat, dan Muhammadiyah telah banyak membantu tugas dan kewajiban negara. Dalam istilah Buya, jika negara membantu Muhammadiyah sama artinya negara membantu dirinya sendiri.
Politik Anomali
Politik kekuasaan itu adalah politik praktis untuk memperebutkan kekuasaan secara legal-konstitusional melalui Pemilu, Pilkada atau Pilpres. Sebagaimana keniscayaan politik kekuasaan, instrument partai politik menjadi wajib adanya. Untuk memperoleh jabatan-jabatan politik tersebut, seseorang harus menceburkan diri dalam kontestasi politik elektoral.
Politik kekuasaan itu, bukan hanya penting, namun sangat penting bagi Muhammadiyah. Seluruh amal usaha Muhammadiyah, yang jumlahnya puluhan ribu tersebut, butuh legitimasi politik kekuasaan. Yang pasti, suatu amal usaha bisa beroperasional, dipastikan membutuhkan proses izin. Karena kita hidup dalam negara, representasi izin yang dikeluarkan negara tersebut didelegasikan melalui pemerintah, di pusat ataupun daerah.
Tidak beruntungnya, dalam era praksis politik anomali, suatu izin bisa menjadi sulit karena tidak mempunyai back up politik kekuasaan. Untuk itulah, perlu redesain agar kader politik Muhammadiyah bisa terpilih melalui proses kontestasi politik elektoral, untuk menjadi back up tersebut.
Tentu tujuan Muhammadiyah mempunyai back up tersebut bukan hanya untuk mengawal dan “melindungi” amal usaha Muhammadiyah. Lebih jauh dari itu, berbagai gagasan dan nilai-nilai kehidupan bersama dalam negara yang diperjuangkan Muhammadiyah, juga agar disuarakan atau diartikulasikan secara resmi melalui para pembuat kebijakan yang juga kader Muhammadiyah.
Kembali ke Prof Zainuddin
Kembali ke Prof Zainuddin Maliki, M.Si, ia bisa terpilih menjadi anggota DPR RI, tanpa melakukan politik uang dan sepenuhnya di-endorse Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim. Sungguh cerdas PWM Jatim. Bermodalkan surat edaran berupa intruksi, Prof Zainuddin dengan leluasa masuk ke seluruh jaringan Muhammadiyah. Sebagai Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya (2003–2011) dan anggota LHKP PWM Jatim, tentu modal sosialnya juga sudah sangat besar.
“Oleh PWM, saya distimulasi dana sekitar Rp 350 juta, yang diberikan secara bertahap, untuk kebutuhan alat peraga kampanye”. Ujar Zainuddin.
Di tingkat grassroot, banyak donasi secara suka rela. Bahkan, ada mobil Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) dibranding atas nama dirinya saat kampanye. Dana oprerasional ditanggung oleh PCM setempat. Banyak forum pengajian mengundangnya sebagai pembicara, tanpa satu rupiah pun ia mengeluarkan duit untuk itu.
Itu lah makna “berserikat”. United. Yakusa (yakin usaha sampai), kata slogan di HMI. Dengan potensi anggota dan simpatisan yang sangat besar, menjadi eman-eman (sayang) potensi suara tersebut diperebutkan pihak lain. Bercerai-berai tidak jelas. Prof Zainuddin memberikan contoh ormas-ormas kecil mampu berserikat, mengegolkan kadernya terpilih dalam kontestasi politik elektoral. Warga Muhammadiyah mestinya mampu berserikat dalam politik kekuasaan.
Mengapa suara warga Muhammadiyah diperebutkan? Karena kita masih bergerombol. Belum berserikat. Gerombolannya pun macam-macam. Secara srategis, tempat bernaung gerombolannya juga sering merugikan perjuangan Persyarikatan Muhammadiyah. Sangat Absurd.
Sudah tiba saatnya, warga Persyarikatan Muhammadiyah berserikat dalam politik kekuasaan, bukan bergerombol.
Editor: Saleh