Feature

Dari Kanan ke Tengah: Kisah Pertaubatan Mantan Santri dari Paham Ekstremis

3 Mins read

Satu-satunya hal yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri. Demikianlah bunyi sebuah kutipan yang sering Anda dengar di banyak seminar. Soal kepada siapa kutipan itu berpulang, itu lain urusan.

Perubahan memang niscaya. Namun, perubahan yang terlalu cepat, terlalu mendadak, juga tidak elok. Esuk dhele sore tempe, kata orang Jawa. Pagi kedelai sore tempe. Maka salah satu unsur penting dalam perubahan adalah proses. Proses biasanya meniscayakan adanya waktu.

Anda berubah. Saya pun juga berubah. Selera musik dan selera pakaian berubah. Tapi ada yang lebih mendasar dari itu: selera agama.

Seorang kawan bercerita. Dulu ia mengamini paham-paham jihadi. Ketika di pesantren. Seumuran itu memang masih gampang dipanas-panasi. Mungkin sampai sekarang pun masih. Dulu, ia memang nyantri di sebuah pesantren di Solo. Sampai lulus SMA.

Saat itu sekitar tahun 2015-2017. Lagi ramai soal perang sipil Suriah. Dulu ia tidak berani menyebutnya perang sipil. Dia, atas arahan ustadz-ustadznya, menyebutnya sebagai perang Sunni VS Syiah. Setiap hari ia diberi tahu, ada sekian bayi Sunni meninggal, ada sekian ibu-ibu Sunni dibantai, dan seterusnya. Dan ia ikut bertanggungjawab atas kematian itu karena tidak ikut berjuang. Bahkan diam pun dianggap dosa.

Mengingatkan saya pada puisi fenomenal Dante Alighieri, “Tempat tergelap di neraka dicadangkan bagi mereka yang bersikap netral di saat krisis moral”.

Belum lagi ditambah bacaan-bacaan yang “panas”. Tarbiyah Jihadiyah karya Abdullah Azzam lah yang menurutnya paling berpengaruh. Buku itu memang sangat provokatif. Kalau Anda mengejek Densus 88 karena menciduk terroris hanya karena punya buku itu, bacalah seluruhnya. Saya tak kaget. Isinya memang “dahsyat”.

Salah satu yang paling ia ingat adalah ketika Azzam menulis (tepatnya berceramah, karena Tarbiyah Jihadiyah berisi transkrip dari ceramah-ceramah Abdullah Azzam) tentang dosa orang yang tidak berjihad. Saat itu konteksnya adalah Afghanistan yang sedang diinvasi oleh Uni Soviet.

Baca Juga  Kapolri Gunakan Pendekatan Moderasi, Busyro Muqoddas Apresiatif

Orang yang bisa berbahasa Arab, punya kemampuan fisik dan finansial untuk pergi berjihad ke Afghanistan, lalu tidak berjihad, maka hukumnya sama dengan pencuri, pezina, dan peminum khamr, meskipun ia sedang mengajarkan agama di rumahnya, kata Azzam. Dahsyat!

Azzam juga menolak makna jihad selain qital (berperang). Baginya, jihad itu ya perang. Tidak ada jihad selain perang. Jihad ilmu dan jihad harta itu dusta. Pseudo-jihad. Jihad yang palsu. Omon-omon.

Sayyid Qutb juga ikut menyumbang benih-benih jihadi dalam kepalanya. Terutama ketika di Ma’alim fi at-Thariq ia menyebut bahwa jika sebuah pemerintahan negara tidak benar-benar menerapkan syariat Islam secara kaffah, maka pemerintah itu menjadi tidak sah dan boleh digulingkan.

Tentu ia saat itu juga meyakini ide-ide Islamisme seperti kewajiban menerapkan syariat Islam menjadi hukum positif. Perlunya negara yang berdasarkan agama. Termasuk pengembalian tujuh kata Piagam Jakarta.

Hal itu mengantarkannya memiliki prasangka yang penuh kebencian. Benci ke Syiah, benci ke orang-orang Kristen, bahkan benci ke ustadz-ustadznya yang tidak berangkat ke bumi jihad, di Suriah dan Palestina.

Ia terlibat dalam beberapa aksi demonstrasi. Memang aksinya aksi damai. Tapi hatinya tidak damai. Ketika berangkat menuju tempat demo, berangkat dari pesantren, rombongannya melewati gereja. Ia dan kawan-kawannya teriak kencang sekali. Takbir! Allahu Akbar! Semakin kencang takbirnya, semakin kuat imannya. Demo saat itu memang respon terhadap Kirab Salib di CFD di sebuah kota. Mereka tidak terima karena CFD dijadikan tempat Kirab Salib.

Sebagaimana Anda, ia juga berubah. Faktor yang paling dominan adalah lingkungan. Lingkungan barunya di kampus menyuplai bacaan yang berbeda. Juga diskusi yang berbeda. Bacaan yang lebih “tengahan”. Orang menyebut dengan moderat. Yang secara sepintas, tidak membuat hati dan jiwanya selalu “panas”.

Baca Juga  Lukman Hakim Saifuddin: Moderasi Beragama adalah Inti Agama

Perlahan ide-ide Islamis yang bersemayan di kepalanya pergi secara malu-malu. Semakin ke sini semakin tak punya tempat. Demokrasi rasanya mulai masuk akal. Apa alternatif yang lebih baik dari demokrasi untuk saat ini? Nothing. Pancasila juga mulai masuk akal. Pancasila bukan thaghut, seperti yang dulu diajarkan sebagian ustadz. Yang thaghut itu korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Jihad yang berarti perang itu juga tidak masuk akal. Suriah itu kan perang sipil. Paling jauh proxy war. Ada kepentingan negara-negara besar di sana. Ada kepentingan politik regional. Ada rivalitas Saudi VS Iran. Bagaimana mungkin muslim di Indonesia jauh-jauh terbang ke Suriah untuk seolah-olah membela saudaranya dengan ikut berperang melawan presiden Bashar Asad?

Abdullah Azzam menawarkan satu paham keislaman tertentu. Dan itu belum tentu benar. Selain itu, ia juga naif. Sebagaimana para jihadis yang lain. Sayyid Qutb menawarkan satu paham keislaman tertentu. Dan itu belum tentu benar. Meskipun pengikutnya banyak sekali. Termasuk di Indonesia.

Salah satu buku refleksi keislaman terbaik yang pernah ia baca adalah buku Islam Tuhan Islam Manusia karya Haidar Bagir. Di bagian awal-awal buku itu, kita bisa membaca sikap keislaman yang begitu indah. Yaitu di mana berbagai otoritas keislaman orang-orang, termasuk ulama, harus diseleksi secara ketat dengan standar ilmiah. Karena toh itu merupakan perintah Alquran untuk mendayagunakan akal.

Menguji otoritas keislaman seseorang sama sekali tidak berarti tidak menghormati orang tersebut. Justru kita berupaya bersama-sama mencari kebenaran objektif. Melalui proses –yang tidak terlalu panjang– itu, ia percaya, bahwa Islam bukan agama yang menganjurkan kekerasan. Sebaliknya, jihad yang sesungguhnya adalah jihad menciptakan perdamaian. Islam sendiri secara bahasa berarti “damai”.

Baca Juga  Sulitnya Mengabaikan Perbedaan Muhammadiyah-NU

Hal ini mengantarkannya menjadi aktivis perdamaian dan lintas iman. Ia berteman dengan banyak non muslim. Mereka menginisiasi pertemuan-pertemuan lintas agama. Tidak ada lagi kebencian di hatinya.

Maka kini, kendati keyakinan yang ia pegang bersifat tentatif, ia dengan teguh memilih untuk berislam secara moderat. Bukan Islamnya para Islamis (yang menganut paham Islamisme), apalagi jihadis.

Terlepas dari segenap perbedaan itu, ia tetap menghormati semua paham keislaman yang ada. Isi kepala setiap orang berbeda. Penafsiran yang dihasilkan pun juga berbeda. Sebagaimana diajarkan oleh guru-gurunya, tak elok menghakimi isi kepala orang. Biarkan setiap orang berproses dengan pergulatannya masing-masing.

Toh, lagi-lagi, pemikiran itu dinamis. Tidak statis. Dulu kanan, sekarang tengah. Esok lusa tiada yang tau. Toh, kita semua berubah.

*) Artikel ini merupakan hasil kerjasama IBTimes dengan INFID

Avatar
113 posts

About author
Mahasiswa Dual Degree Universitas Islam Internasional Indonesia - University of Edinburgh
Articles
Related posts
Feature

Potret Perkembangan Studi Astronomi Islam di PTKIN

5 Mins read
Di Indonesia, studi astronomi Islam berkembang sesuai tuntutan zaman. Pada awalnya, model pembelajaran studi astronomi Islam diselenggarakan secara sederhana dengan literatur yang…
Feature

Konten Kreator kontroversial, “Numpang Viral” Ustadz Terkenal

5 Mins read
Akhir-akhir ini muncul fenomena konten kreator yang “numpang viral” pada tokoh terkenal di media sosial. Sering kita lihat seseorang yang tampangnya mirip…
Feature

Jejak-jejak Romantika Islam dengan Budaya Lokal

4 Mins read
Tulisan ini akan mencoba mengurai jejak-jejak romantika Islam dengan budaya lokal. Mengutip Abdul Wahid, guru besar antropologi agama UIN Mataram, Islam romantik…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds