Oleh: Hanapi
Beberapa waktu belakangan banyak gambar dan video yang dishare melalui aplikasi WA. Konten-konten itu menggambarkan kondisi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Sumatra yang disertai ekspresi kemarahan anak muda kepada negara. Dalam hal ini, negara lambat menangani persoalan kebakaran hutan yang dilakukan oleh korporasi. Dari karhutla mengharap ekopopulisme Jokowi.
Anak muda dari Jambi menbagikan foto di Whatsapp story nya dengan kalimat “Indonesia hanya Jawa tidak ada Sumatra apalagi Jambi. Pemerintah pusat tidak peduli kami”. Kalimat ini sontak mengejutkan saya secara pribadi. Karena saya juga berasal dari daerah kebakaran hutan yang parah.
Darurat Keamanan Ekologi Nasional
Masalahnya, urusan karhutla ini menjadi persoalan keindonesian yang serius. Perlu dipikirkan semua elemen bangsa. Ekspresi anak muda sebagai warga negara tidak didengar oleh rezim pemerintah. Menjadikan artikulasi politik dan ekspresi kewargaan menjadi primordial. Ini sangat berbahaya bagi bangunan kebangsaan kita. Negara kesatuan yang kita wacanakan dan pertahankan berada dalam ambang batas titik nadir.
Persoalan terletak pada lemahnya kehendak pemimpin nasional dalam menyelesaikan karhutla yang melahirkan asap. Lemahnya kehendak ini terbukti masih berlangsung. Perizinan untuk penggunaan lahan bagi penanaman sawit seiring dengan tidak tegasnya sanksi yang diberikan pemerintah kepada korporasi.
Tertangkapnya perusahan yang telah membakar hutan menjadi titik cerah bagi Presiden Jokowi untuk menunjukkan kecakapan dalam bidang kehutanan. Presiden Jokowi sebagai insiyur kehutanan memiliki kecakapan dalam menyelesaikan persoalan ini secara serius. Jokowi dapat memberikan sanksi tegas bagi perusahaan.
Namun pada kenyataannya Jokowi cenderung lambat dalam memobilisasi kekuatan Negara demi keamanan nasional. Sedangkan warga yang menjadi korban asap terus meningkat. Bahkan negara berada pada darurat kemanan ekologi nasional.
Memimpin Indonesia yang beragam membutuhkan kemimpinan nasional yang berani. Mengambil keputusan melampaui sekat etnisitas, berpijak pada kesejahteraan dan memberikan keamanan bagi seluruh warganya. Menurut Shopia dan Pepinsky (2019) Jokowi memang didukung oleh etnik Jawa dan pemilih muslim tradisional dalam pemenangannya secara signifikan.
Namun mengabaikan Sumatra berdasar kalkulasi politik elektoral hanya merapuhkan bangunan keIndonesian. Bangsa ini dibangun diatas fondasi keberagaman yang perlu diikat dengan kesejahteraan dan kemananan. Dua tali pengikat kebangsaan ini akar persoalan fundamental yang belum bisa diwujudkan, terus bergejolak dan contested.
Haryanto (2019) mengatakan persatuan kebinekaan membutuhkan political trust sebagai pelekat hubungan pusat dan daerah yang memastikan terjadinya kolaborasi progressif dalam mencapai tujuan bersama. Political trust bisa mewujudkan kesejahteraan dan keamanan.
Namun, political trust warga yang menjadi korban kebakaran hutan menurun dengan kekecewaan, derita dan luka yang mereka rasakan. Ekspresi anak muda daerah di lokasi kebakaran hutan sebagaimana di Jambi menjadi memori kolektif akan buruknya kepemimpinan nasional. Tentu berpotensi menjadi bibit konflik bagi masa depan. Generasi ini memiliki akses informasi dan terdidik, merasa diasingkan, diabaikan dan merasa tidak dianggap menjadi bagian Indonesia sangat berbaya bagi masa depan.
Keseriusan Presiden dalam menyelesaikan persoalan Papua perlu kita apresiasi. Namun tidak serius menangani kebakaran hutan di wilayah Sumatra dan Kalimantan adalah luka yang menusuk dalam hati warga. Sumatra dan Kalimantan telah memberikan sumbangsih sumber daya alam karet dan sawit yang sangat penting bagi pembangunan nasional.
Sehingga sepatutnya negara memiliki itikad yang benar serius dan visi yang berpihak kepada warga. Agar karhutla yang selalu terjadi ini diselesaikan dan dibuka kepada publik, biar publik tahu siapa pelaku sebenarnya. Ini menjadi cara menunjukkan transparansi dalam penyelesaian masalah yang terus terulang. Upaya ini untuk mengobati luka warga.
Saat ini kita perlu memaknai kembali bangunan kebangsaan kita. Bukan dengan wacana NKRI harga mati namun soal distribusi kesejahteraan, akses, dan keamanan yang disediakan oleh negara. Fondasi dasar keindonesian pasca reformasi adalah pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan adil akan.
Fondasi yang kuat membuat bangunan keindonesian kita kuat. Namun politik sumber daya alam kita masih dijarah oleh korporasi yang minus komitmen nasionalisme ekologis. Sehingga mengorbankan warga yang secara konstitusional memiliki hak atas udara yang bersih, alam yang indah, dan pengelolaan sumber daya alam yang adil.
Mengharap Ekopopulisme Jokowi
Presiden Jokowi sebagai panglima keamanan memiliki hak untuk menyatakan Negara dalam kondisi darurat namun ini tidak dilakukan. Seharusnya Jokowi belajar dari SBY dalam melakukan sekuritisasi persoalan asap dalam isu keamanan. Namun SBY tidak berhasil mendorong beragam aktor menjadikan persoalan asap atau kebakaran hutan dalam persoalan keamanan mendesak (Edwards and Heiduk, 2015).
Jokowi sebagai pemimpin populis memiliki interaksi yang dekat dengan rakyat. Politik blusukannya yang bisa menjadi modal sosial dalam memobilisasi kekuatan sipil sekaligus militer. Bertingkat dari pusat hingga daerah dalam menangani masalah kebakaran hutan.
Sayangnya, populisme ala Jokowi belum beranjak menuju ekopopulisme. Dimana pemimpin bersatu bersama gerakan warga dalam membuat jalannya reforma agraria dan ekologi. Mietzner (2015) lebih tepat dalam mengistilahkan Jokowi sebagai pemimpin populis teknokratis. Lebih pada memprioritaskan program kerakyatan dengan meningkatkan kualitas pelayanan publik dan merangkul semua golongan.
Model populisme teknoratis ini membuat rakyat dari level bawah sampai menengah atas mencintai Jokowi sebagai pemimpin yang merepresentasikan kepentingan mereka. Artinya, Jokowi telah memenangkan hati dan pikiran warga.
Namun, kekuatan warga ini sekarang sedang direpresentasikan oleh kalangan anak muda. Mereka melihat Presiden tidak mengambil langkah strategis dalam menyelesaiakan persoalan bangsa. Hingga muncul ujaran ‘hutan yang kebakaran malah KPK yang dipadamkan’.
***
Karhutla merupakan persoalan yang mendesak untuk diselesaikan sampai akar akarnya. ini kesempatan Presiden Jokowi menyelamatkan hutan Indonesia dari jajahan korporasi yang telah menimbulkan korban jiwa. Insiyur kehutanan hendaklah berani menggunakan kuasa menyelamatkan hutan Indonesia.
Semua perlu dilakukan untuk menjaga kesatuan Indonesia. Karena politik kesatuan saat ini hanya bisa diikat dengan pengelolaan sumber daya alam yang adil, berkelanjutan, dan berpihak pada warga. Agar pembangunan tak menjadi luka sekaligus memori dendam bagi generasi muda.
*) Mahasiswa Magister DPP UGM dan Direktur LaPSI PP IPM