Lhokseumawe | Eksistensi pondok pesantren Muhammadiyah di “Tanah Rencong” tidak sedigdaya seperti di pulau Jawa. Walaupun demikian, warga Muhammadiyah tetap memiliki semangat militansi yang menggelora untuk menciptakan sebuah lembaga kaderisasi dalam rangka mendidik calon-calon pemimpin persyarikatan di masa yang akan datang.
Pendirian pondok pesantren modern, yang memadukan kurikulum pendidikan umum dan agama adalah salah satu upaya mengatasi krisis kader persyarikatan. Dari rahim pondok pesantren, diharapkan lahir Ahmad Dahlan muda yang memiliki kecakapan ilmu dan kekuatan mental yang siap menjadi anak panah persyarikatan.
Sebelum tahun 90-an belum ada pondok pesantren modern milik Muhammadiyah yang mengepakkan sayapnya di Aceh. Pesantren Muhammadiyah kala itu, hanya berupa balai pengajian atau panti asuhan yang proses pendidikan di dalamnya bersifat semi pondok. Pada tahun 1999 barulah ide pendirian pesantren modern muncul dari tokoh-tokoh Muhammadiyah yang prihatin atas fenomena krisis kader.
Dayah Modern Ihyaaussunnah di Kota Lhokseumawe
Ide itu diejawantahkan dengan mendirikan sebuah pesantren yang diberi nama Dayah Modern Ihyaaussunnah di kota Lhokseumawe. Dayah adalah sebutan populer untuk pondok pesantren di Aceh, baik pondok pesantren tradisional (baca: salafiyah) yang hanya mengkaji kitab kuning semata, maupun pondok pesantren modern. Penggagas pendirian dayah ini adalah para pengurus Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) kabupaten Aceh Utara kala itu.
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa dayah Ihyaaussunnah adalah pelopor pesantren modern Muhammadiyah di Aceh. Beberapa tahun kemudian disusul dengan pendirian Dayah Baitul Arqam di kabupaten Aceh Besar dan Muhammadiyah Boarding School (MBS) di kabupaten Bireuen.
Areal Dayah Modern Ihyaaussunnah tak begitu luas, menyempil di antara perumahan penduduk. Namun demikian, lokasinya cukup strategis karena berada di wilayah perkotaan. Bertempat di jalan Listrik, Kampung Jawa Baru, Kecamatan Banda Sakti, berjarak kurang lebih 1 kilometer dari pusat kota Lhokseumawe.
***
Lahan tempat bertenggernya dayah ini dulunya adalah rawa-rawa yang tak berpenghuni. Saat awal-awal penulis menjadi santri, masih ada rawa-rawa yang tersisa, tepatnya di belakang masjid. Bila musim hujan tiba, suara kodok bersahut-sahutan menjadi nyanyian merdu yang menghiasi gendang telinga para santri.
Seiring berjalannya waktu, rawa-rawa itu pun ditimbun untuk keperluan pembangunan gedung baru. Kini rawa-rawa itu tak terlihat lagi, sudah menjelma menjadi bangunan permanen. Pembenahan-pembenahan terus dilakukan sampai penulis menamatkan pendidikan pada tahun 2012 dan hijrah ke ibukota Muhammadiyah, Yogyakarta.
Kala itu jumlah santrinya hanya sekitar seratusan orang dengan jumlah santri tiap-tiap angkatan sekitar 15 sampai 20 orang. Guru-guru yang mengajar di kelas bisa dengan mudah menghafal nama-nama santri karena jumlah yang tidak terlalu banyak. Pada waktu itu hanya menerima santri putra, disebabkan keterbatasan kapasitas tempat yang tersedia.
Dayah Ihyaaussunnah menjadi bukti eksistensi pesantren Muhammadiyah di Aceh. Meskipun tergolong pesantren kecil, tetapi telah mengepakkan sayapnya untuk mencetak kader umat yang diharapkan nantinya bisa menjadi pemegang kendali persyarikatan di masa depan. Keterbatasan sarana dan prasarana pendukung bukan penghalang untuk mengukir prestasi.
Keberhasilan yang diperoleh oleh para santri tidak bisa terlepas dari bimbingan serta do’a dari para ustadz/ustadzah yang luar biasa. Keikhlasan mereka dalam mendidik, meskipun dengan gaji yang tidak seberapa, telah mengantarkan para santri ke gerbang kesuksesan. Mudah-mudahan perjuangan mereka dalam mendidik generasi di balas berlipat ganda oleh Allah.
Di usianya yang mencapai dua puluh tahun, dayah Ihyaaussunnah terus berbenah dari berbagai aspek, baik fisik maupun non fisik. Bahkan sudah menerima santri putri yang ditempatkan di asrama jalan Petua Ibrahim yang berjarak kurang lebih 200 meter dari asrama putra. Satu atap dengan asrama putri, terdapat klinik Muhammadiyah dan kantor Lazismu Lhokseumawe.
Kondisi sekarang tentu lebih maju dari sebelumnya, saat penulis masih berstatus sebagai santri di sana. Masjid yang sebelumnya sederhana, sekarang sudah cukup megah dan futuristis dengan kubahnya yang indah, dilengkapi menara yang menjulang. Begitupun setiap ruangan belajar sudah dilengkapi AC untuk menambah kenyamanan kegiatan belajar mengajar.
Harapan kepada Warga Muhammadiyah
Merintis dan mengelola pondok pesantren bukanlah hal mudah. Perlu perjuangan dan kesabaran agar terwujud sesuai dengan yang dicita-citakan. Ketika harapan itu sudah terwujud, maka tugas warga persyarikatan adalah memajukan dayah yang telah didirikan itu. Maju dan mundurnya lembaga pendidikan Muhammadiyah tentu sangat tergantung kepada perhatian warga Muhammadiyah itu sendiri.
Bagaimana mungkin pesantren Muhammadiyah bisa maju kalau warga Muhammadiyah belum memiliki kesadaran untuk ikut memajukannya. Paling tidak dengan menyekolah anaknya di pesantren Muhammadiyah, sebagai wujud kontribusi nyata untuk memajukan amal usaha persyarikatan.
Semoga Dayah Modern Ihyaaussunnah tetap berkibar untuk mencetak kader-kader persyarikatan yang berkualitas, sehingga nantinya bisa memberikan pencerahan kepada umat. Tentu itu semua butuh dukungan moril dan materil dari warga persyarikatan, baik yang berstatus anggota Muhammadiyah maupun simpatisan. Mudah-mudahan para stakeholder senantiasa diberi kesehatan dan kelancaran untuk mewujudkan cita-cita persyarikatan.
Editor: Yahya FR