Perspektif

Demokrasi Indonesia Merindukan Buya Syafii

3 Mins read

Melihat kenyataan demokrasi Indonesia hari ini, khususnya persoalan politik dan segala masalah kebangsaan yang mencuat dalam kontestasi Pemilu 2024, saya sedikit merasa pesimis. Rasa pesimis itu muncul setelah saya melihat segala intrik dan siasat yang dipertontonkan oleh elit bangsa ini. Penyelewengan kekuasaan, politisasi Islam, dan nalar politik pragmatis yang ditujukan untuk sekedar memperoleh suara rakyat. Pada akhirnya, rakyat dibuat terombang-ambing dalam arus kebangsaan yang tidak stabil dan membuka pintu perpecah-belahan.

Akan tetapi, rasa pesimisme itu hilang ketika saya teringat sosok almarhum Prof. Ahmad Syafii Maarif (selanjutnya akan ditulis Buya Syafii). Dalam buku kumpulan esainya, “Menerobos Kemelut” yang terbit pada tahun 2005. Ia menegaskan bahwa umat Islam tidak boleh pesimis. Seandainya satu ayat saja dalam al-Qur’an ada yang mengajarkan pesimisme, niscaya beliaulah yang akan pesimis pertama kalinya. Begitulah kira-kira yang ditulis oleh Buya Syafii.

Dalam buku itu juga, saya kira masih ada beberapa refleksi kebangsaan Buya Syafii masih relevan dalam konteks permasalahan bangsa kita hari ini. Refleksi kebangsaan yang pernah dituliskan itu, sekiranya perlu untuk kita renungkan kembali, menjadi kritik atas kegaduhan yang tengah melanda bangsa. Pada saat yang bersamaan, belum ada sosok yang mampu untuk menggantikan beliau. Menjadi kompas moral bangsa Indonesia.

Jangan Menodai Demokrasi

Bagi Buya Syafii, politik menjanjikan “pahala” di pelupuk mata bagi yang berhasil. Praktik politik kadang penuh emosional dan rentan memecah. Kompetisi politik harusnya berjalan secara ideal dengan mempertarungkan gagasan yang mampu menyelesaikan persoalan bangsa. Menunjukkan sikap keteladanan sebagai seorang pemimpin yang siap melindungi dan mengayomi rakyatnya. Praktik politik seperti inilah yang akan menghadirkan nuansa demokrasi yang sehat dan mencerdaskan, dan tentunya (insyallah, jika kata “tentunya” tidak sepadan)“berpahala”.

Baca Juga  Dilema Antara Pemilu dan HAM

Akan tetapi, ketika praktik politik hanya dilaksanakan sebatas untuk memperoleh kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Malapetaka besar akan menodai demokrasi Indonesia. Praktik politik dengan membodohi masyarakat, memfitnah lawan politik, saling mengolok antar tim, dan juga bertindak curang hanyalah tindakan sia-sia.

Buya Syafii berkaca pada kecacatan demokrasi Indonesia yang pernah terjadi pada pemilu 1999. “Pada Pemilu 1999, cacat yang paling menonjol adalah kenyataan tidak semua pihak siap untuk kalah. Akibatnya, terjadilah kerusuhan dan pembakaran bangunan milik public di berbagai tempat, seperti di Bali, Surabaya, dan Solo,” tulis Buya Syafii.

Pemilu 1999 adalah catatan sejarah dan pengetahuan yang dapat dijadikan pelajaran. Kontestasi pemilu yang larut dalam ambisi memperoleh kemenangan hingga segala cara dilakukan, pada akhirnya menodai demokrasi. Praktik politik yang dijalankan tidak mampu mendidik masyarakat memiliki mental yang kuat. Mental menang yang tetap tawadhu’ dan mental kalah yang mampu bersikap ikhlas. Kendatipun itu adalah kenyataan yang pahit. Itulah imbas dari praktik politik yang sembrono dan hari ini tengah kita hadapi lagi kenyataannya.

Jangan Menjadi Laron Politik

Pasca kemenangan SBY-JK dalam Pemilu 2004, Buya Syafii berbincang dengan salah seorang temannya yang waktu itu menjadi pendukung Pak Jusuf Kalla. Dalam perbincangan itu, Buya Syafii mendapatkan metafora tentang mentalitas buruk tim sukses atau pendukung capres-cawapres yang harus dihindari, yaitu Laron Politik. Metafora itu kemudian dituliskan oleh Buya Syafii dalam refleksi kebangsaannya dan mungkin sudah sangat familiar di telinga kita semua.

Meskipun Buya Syafii telah menyuarakan itu, akan tetapi para laron-laron politik itu hari ini masih ada dan nyata. Bahkan kita menemukannya dalam setiap periode pemilu Indonesia ini. Lantas apa bahaya menjadinya laron politik dan dampaknya bagi demokrasi bangsa kita? Tentu saja adalah ketakutan akan hilangnya kewarasan dan pikiran yang objektif masyarakat dalam memandang demokrasi. Sebab mentalitas laron politik akan menimbulkan sikap kefanatikan dalam politik.

Baca Juga  Kuntowijoyo (2): Iman dan Kemajuan

Oleh karena itu, bagi Buya Syafii bersikap tengahan adalah sikap yang baik dalam menjaga iklim demokrasi. Sebagai pendukung atau tim sukses, Buya Syafii memandang bahwa tidak boleh terlalu dekat dengan kekuasaan. Apabila terlalu dekat dengan kekuasaan, maka usaha untuk mengontrol kekuasaan akan sulit untuk dijalankan secara objektif. Lalu, sebagai tim yang berseberangan atau tidak memilih calon yang terpilih, tidak boleh juga terlalu jauh dan membenci. Sebab sikap-sikap yang seperti itu bisa akan membuat diri menjadi eksklusif, seperti menguburkan diri dalam kuburan kematian demokrasi.

Menghidupkan Kembali Buya Syafii

Menghidupkan kembali Buya Syafii tentu adalah pekerjaan yang mustahil dan sia-sia. Perlu diakui bahwa sosok dan pikiran Buya Syafii sangat kita rindukan di tengah kondisi bangsa yang oleng ini. Sejak beliau wafat hingga terjadinya kemelut demokrasi hari ini, saya belum bisa menemukan sosok Guru Bangsa yang pantas untuk menggantikan beliau. Sosok Guru Bangsa yang mampu ‘menjewel’ telinga para elit bangsa yang menimbulkan kegaduhan politik yang rumit.

Tentu saja, ini juga menjadi autokritik bagi kita semua. Jika menghidupkan fisik dan lahir Buya Syafii adalah kesia-siaan, maka kita masih punya harapan untuk menghidupkan kembali spirit dan etos pemikirannya. Sosok Guru Bangsa yang tidak kenal takut dalam mengeluarkan kritik pada siapa saja, mendobrak status quo dan hegemoni penguasa, menjadi kompas moral bangsa, dan menginterupsi kemerosotan demokrasi. Sebab, jika tidak ada yang ada sosok seperti itu, maka rakyat-rakyat kecil akan selalu menjadi imbas dalam pertarungan politik para elit.

Lagi-lagi, tentu kita tidak boleh pesimis. Sebagaimana optimisnya Buya Syafii terhadap bangsa ini yang akan lebih baik, maka kita harus optimis juga akan hadirnya demokrasi yang lebih baik kedepannya, begitupun optimis akan lahirnya lagi Guru Bangsa seperti beliau pula.

Baca Juga  Suarakan Muhammadiyah, Jangan Cuma Cari Suara di Muhammadiyah!

Editor: Soleh

Ramadhanur Putra
12 posts

About author
Ramadhanur Putra, lahir di Matur, Kab.Agam, Sumatera Barat pada 14 November 2001. Rama menempuh pendidikan dasar di kampung halaman, kemudian mondok di Ponpes Tahfidzul Quran Muallimin Muhammadiyah Sawah Dangka. Selama sekolah, Rama aktif di Ikatan Pelajar Muhammadiyah dan mengakhiri pengabdiannya pada tahun 2020 sebagai Ketua Umum PD IPM Bukittinggi. Sekarang Rama kuliah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta di Program Studi PAI. Ia juga aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, menjadi bagian dari forum diskusi ‘Komunal_YK’, alumni SILAM Angkatan II (Sekolah Pemikiran Islam) dan juga forum Baret Merah Angkatan XX di Sukoharjo, Jawa Tengah.
Articles
Related posts
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…
Perspektif

Manfaat Gerakan Shalat Perspektif Kesehatan

3 Mins read
Shalat fardhu merupakan kewajiban utama umat Muslim yang dilaksanakan lima kali sehari. Selain sebagai bentuk ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah, shalat…

This will close in 0 seconds