Perspektif

Deretan Kuliner Legendaris di Kota Malang

5 Mins read

Jika setiap generasi manusia memiliki legendanya masing-masing (misal Nabi Adam sebagai legenda manusia pertama atau Ir. Soekarno dan Moh. Hatta sebagai legenda kemerdekaan bangsa Indonesia), maka sajian kuliner tentu saja juga memiliki legenda. Sayangnya, kuliner-kuliner legendaris mulai kehilangan ‘popularitasnya’ semenjak kuliner-kuliner milenialis (seperti hamburger, sandwich, dan sejenisnya) menyerang.

Di tengah serangan modernisasi tersebut, kota Malang masih tetap menjaga eksistensi kuliner-kuliner legendarisnya. Terbukti dengan laris manisnya jajanan tradisional ‘Puthu Lanang’, depot ‘Rawon Brintik’ yang tidak sepi dari pengunjung, dan minuman ‘Es Tawon Kidul Dalem’ yang masih tetap bertahan.

Kelezatan Puthu Lanang

Di Kota Malang, jajanan tradisional Puthu masih berhasil mempertahankan eksistensinya hingga saat ini sejak tahun 1935 (sebelum Indonesia berhasil bebas dari belenggu penjajah, jajanan ini sudah eksis). Sejak tahun 2000, jajanan tradisional tersebut populer dengan nama Puthu Lanang. Beberapa hari yang lalu, penulis berkesempatan mengunjungi warung Puthu Lanang tersebut yang berlokasi di Jalan Jaksa Agung Suprapto dan telah dinobatkan sebagai Kuliner Tertua di kota Malang (sesuai dengan poster warung).

Kelezatan Puthu Lanang sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Menurut Siswoyo (pemilik warung ‘Puthu Lanang); dalam sehari, dibutuhkan kurang lebih enam ratus hingga tujuh ratus porsi untuk memuaskan keinginan pelanggan. Jajanan sebanyak itu memerlukan seratus biji kelapa dan tepung sebesar empat puluh hingga lima puluh kilogram. Dari bahan-bahan itulah, disajikan puthu, klepon, lupis, dan cenil.

Para pelanggan bebas memilih satu porsi puthu saja, klepon saja, lupis saja, cenil saja, atau campur-campur (dalam satu porsi; terdapat puthu, klepon, lupis, dan cenil). Semuanya disediakan sesuai selera pelanggan dan dibanderol dengan harga yang sama, yakni Rp 10.000. Siswoyo juga menuturkan bahwa beras yang digunakan untuk membuat jajanan tersebut adalah beras dengan kualitas pertama (kualitas yang paling bagus). Hal ini yang membuat cita rasa puthu buatannya tetap terjaga.

Semua makanan tersebut, disajikan dengan parutan kelapa lalu ditaburi dengan cairan gula merah. Puthu Lanang memiliki rasa manis yang cukup pekat dan legit. Bagi yang tidak suka manis (mungkin karena wajahnya sudah manis), bisa meminta request agar cairan gula merahnya ditaburi sedikit (tidak banyak-banyak). Tekstur puthu, klepon, lupis, dan cenil; cenderung kenyal, empuk, dan mudah dinikmati.

Baca Juga  Merangkul Teknologi Melawan Pandemi

Di antara sajian yang paling penulis suka adalah klepon. Sebab kekenyalannya pas dan jajanan favorit sejak kecil (alasan yang ini cenderung lebih subjektif dan urusan selera). Untuk dapat mendapatkan jajanan tradisonal Puthu Lanang ini, para pelanggan harus segera berangkat ketika pukul 17.30. Jika berangkat telat, maka kemungkinan besar tidak akan kebagian; sebab Puthu Lanang setiap harinya selalu memiliki antrean yang cukup panjang. Bahkan pernah meluber hingga ke jalan raya.

Rawon Brintik Malang

Di antara kuliner legendaris yang ada di Malang lainnya adalah Rawon Brintik Miniasih yang telah ada sebelum NKRI merdeka (sejak tahun 1943). Rawon legendaris ini dapat ditemui di Jalan Diponegoro nomor 2A, Klojen, Malang. Nama ‘Brintik’ sering mengundang rasa penasaran sebagian orang, bahkan penulis sendiri menduga bahwa daging sapi dalam kuah rawon tersebut diiris-iris (dipotong) secara brintik, sesuai dengan namanya (Rawon Brintik). Namun, setelah tiba di TKP (Tempat Kuliner Pertama), barulah penulis memahami bahwa nama brintik bukan disebabkan oleh bentuk dagingnya.

Penyebutan ‘brintik’ sebagai nama rawon disebabkan oleh pencipta resepnya memiliki rambut keriting. Dalam bahasa Jawa, keriting diucapkan dengan sebutan Brintik. Pencipta resepnya bernama Bu Napsiah yang juga disebut dengan panggilan ‘Mbah Brintik’ (Sesuai dengan poster di depan warungnya). Saat ini, warung dikelola oleh cucu dari Bu Napsiah.

Pelanggan Rawon Brintik Bu Napsiah (pada awal mula pendirian warung, tahun 1943) tidak hanya dari masyarakat Indonesia sendiri, tetapi juga dari orang-orang Tionghoa yang tinggal di daerah Malang dan sekitarnya. Para pelanggan Cina kesulitan melafalkan nama ‘Napsiah’, sehingga mereka memanggilnya dengan sebutan ‘Brintik’. Mereka beranggapan bahwa panggilan ‘Brintik’ lebih mudah diucapkan daripada ‘Napsiah’. Sejak saat itu, Rawon Bu Napsiah terkenal dengan sebutan Rawon Brintik. Hal ini diungkapkan oleh generasi penerus Bu Napsiah yang kini mengelola warung tersebut, yakni Bu Muslihah.

Selain karena namanya yang unik dan ikonik, hal yang membuat Rawon Brintik ini tetap bertahan hingga tahun 2020 adalah tekstur daging yang lebih nikmat dan lebih empuk dibandingkan rawon-rawon biasanya. Tekstur empuk dagingnya dibuktikan dengan setiap gigitan yang penulis nikmati. Daging sangat mudah dikunyah dengan gigi atau dipotong dengan sendok sekalipun, sehingga tidak perlu khawatir daging ‘meloncat’ keluar dari piring ketika berusaha memotongnya dengan sendok dan garpu.

Baca Juga  Antara Bank Konvensional dan Syariah: Beda Kosmetik Saja!

Tekstur empuk daging diperoleh dari cara memasaknya yang tetap bertahan dengan resep warisan Mbah Brintik (Bu Napsiah), bahkan Bu Muslihah tetap menggunakan tungku arang untuk memasak rawonnya. Tungku yang digunakan juga tungku kali pertama yang digunakan oleh Mbah Brintik dalam mengawali usaha rawonnya. Hal ini menunjukkan bahwa tradisional tidak harus ditinggal untuk tetap mempertahankan eksistensi di era milenial. Arang inilah yang menurut Bu Muslihah dapat membuat daging sapi menjadi lebih gurih dan empuk.

Tak heran, saat penulis mengunjungi warung legendaris tersebut, seorang nenek-nenek yang telah lanjut usia masih bisa mengonsumsi rawon dengan lahap dan tanpa mengalami kesulitan ketika mengunyah dagingnya. Tekstur empuk daging yang dimiliki membuatnya mampu dinikmati oleh seluruh lintas generasi (mulai dari manusia dengan gigi kuat hingga gigi pasangan).

Es Tawon Kidul Dalem Khas Malang

Minuman menyegarkan merupakan solusi dari rasa lelah setelah membanting tulang atau penawar rasa capek setelah jalan-jalan. Khusus para pekerja atau para Traveler yang sedang berada di area sekitar kota Malang, terdapar minuman segar legendaris yang telah ada sejak tahun 1955. Minuman segar tersebut bernama Es Tawon Kidul Dalem khas Malang. Minuman segar ini dapat ditemui di Jalan Zainul Arifin nomor 15, Klojen, Malang.

Jika dilihat dari tahun berdirinya, maka tidak akan menemui kesulitan untuk menemukan lokasinya. Es Tawon Kidul Dalem telah dikenal oleh hampir seluruh masyarakat kota Malang, bahkan es menyegarkan ini juga masyhur di kalangan Traveler luar kota Malang. Saking populernya, Es Tawon Kidul Dalem ini pernah dikunjungi beberapa artis Ibu Kota untuk melengkapi program acara televisi swasta yang dipandu oleh artis tersebut.

Bagi seseorang yang belum pernah mengetahui rupa Es Tawon Kidul Dalem, bayangan yang terlintas tentang wujud Es tawon Kidul Dalem adalah minuman sejenis Es yang berisi ‘tawon’ yang berlokasi di daerah ‘Kidul Dalem’. Padahal, faktanya adalah Es Tawon Kidul Dalem sama sekali tidak berisi tawon dan berlokasi di Jalan Zainul Arifin. Asal-usul penyebutan nama ‘Es Tawon Kidul Dalem’ tidak bisa dilepaskan dari nilai historis di dalamnya, sebab pemilihan nama tersebut bermula dari situasi warung tempo dulu.

Baca Juga  Meski COVID-19, Minangkabau Tetap Adakan Tradisi Sambut Lebaran

Penyebutan ‘Es Tawon’ disebabkan pada awal mula membuka warung, lokasi warung tepat berada di dekat pohon asam yang sangat besar yang dihuni oleh sekelompok tawon sekaligus membuat sarang di pohon asam tersebut. Sekelompok tawon tersebut sering mendekati dan hinggap di area sirup yang digunakan sebagai gula untuk minuman es yang disajikan. Hal ini disebabkan oleh sirup yang dibuat berasal dari gula tebu asli.

Sejak saat itulah minuman yang dijual terkenal dengan sebutan ‘Es Tawon’. Pemilik warung, Ibu Sri Utami (berbincang-bincang dengan penulis ketika penulis mengunjungi warung tersebut) menyebutkan bahwa es buatannya terkenal dengan nama ‘Es Tawon’ sejak tahun 1970. Kini pohon asam tersebut hanya tinggal kenangan, sebab pohon asam telah ditebang pada tahun 1999. Penebangan pohon asam tersebut disebabkan oleh kondisi pohon yang sudah keropos dan dapat membahayakan penduduk sekitar jika tidak segera ditebang. Penyebutan nama ‘Kidul Dalem’ juga dipengaruhi oleh nilai historis, sebab daerah Jalan Zainul Arifin, dulunya bernama ‘Kidul Dalem’.

Di salah satu dinding warung, terdapat sebuah pigura yang berisi sebuah sobekan Koran atau majalah yang bertajuk “Tamu Selalu Kembali, Bertahan Sejak 1955”. Sobekan tersebut merupakan rubrik tentang “Kisah Pendekar Mikro Malang Raya” yang berisi tentang kejayaan Es Tawon Kidul Dalem dengan bukti pengunjung yang selalu kembali dan terus bertahan hingga era modern seperti saat ini.

Jika dihitung dari tahun 1955 hingga tahun 2020, maka warung Es Tawon Kidul Dalem telah berhasil menjaga eksistensinya di dunia kuliner selama 65 tahun dengan cita rasa yang sama dan resep yang tidak berubah. Kota Malang patut berbangga telah memilikinya, sebab Es Tawon Kidul Dalem adalah bagian dari sejarah.

Editor: Nabhan

8 posts

About author
Penulis. Alumnus Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds