Feature

Desa Gatak: Miniatur Kerukunan di Tengah Perbedaan

4 Mins read

Sebelum menilai Desa Gatak sebagai miniatur kerukunan di tengah perbedaan, kita perlu membahas Indonesia secara umum. Indonesia merupakan negara majemuk yang terdiri dari berbagai etnis, suku bangsa, agama, bahasa, budaya, dan adat istiadat. Kenyataan ini harus dijaga dan dilestarikan oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia, agar mampu menjadi sarana untuk memajukan negara menuju cita-cita yang diinginkan, yaitu masyarakat adil dan makmur sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945.

Desa Gatak

Kemajemukan harus dijadikan sebagai media memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Salah satunya dengan mengembangkan sikap toleran dan saling menghargai satu sama lain. Namun tidak dapat dipungkiri, bahwa di sisi lain kemajemukan juga dapat memicu timbulnya konflik. Hal tersebut dikarenakan sebagian masyarakat masih memandang kemajemukan sebagai perbedaan yang membatasi proses interaksi. Salah satu keragaman yang seringkali menimbulkan konflik adalah terkait persoalan keberagamaan.

Zainudin dalam bukunya Pluralisme Agama: Pergulatan Dialog Islam-Kristen Indonesia (2010) menjelaskan bahwa hal tersebut dapat terjadi karena munculnya sikap klaim atas kebenaran dan klaim atas jalan keselamatam yang berujung pada pemaksaan atas klaim tersebut kepada pihak di luar agama yang diyakininya.

Meskipun negara Indonesia telah memberikan penghormatan dan penghargaan terhadap perbedaan yang diwujudkan dengan jaminan kebebasan beragama melalui Konstitusi Republik Indonesia (UUD 1945) dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yaitu jaminan kebebasan memeluk agama dan kebebasan menjalankan agama yang dipeluknya. Namun, kita tidak dapat lupa dengan berbagai konflik yang pernah terjadi atas nama perbedaan agama.

Sebut saja seperti laporan dari The Wahid Institute (2015)bahwa pernah terjadi bentrokan di  Aceh Singkil, antara warga Muslim dengan warga Kristen. Selain itu hasil penelitian PUSAD Paramadina (2017) juga menyebutkan bahwa pernah juga terjadi konflik antar agama di daerah Poso, sebagai konflik komunal pasca Reformasi antara penduduk muslim dengan Kristen. Selain itu di Kabupaten Bekasi juga pernah terjadi kasus kekerasan yang menimpa jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia.

Baca Juga  Benarkah Kuliah di Luar Negeri Bisa Jadi Liberal?

Beberapa kasus inilah yang menjadikan persoalan toleransi dalam kehidupan beragama di Indonesia masih menjadi persoalan serisus. Untuk itu diperlukan upaya untuk menjaga dan mengembangkan sikap toleran dalam kehidupan masyarakat yang majemuk. Kehidupan masyarakat di Desa Gatak, Kecamatan Delanggu, Kabupaten Klaten mungkin bisa menjadi salah satu role model-nya.

Desa Gatak merupakan sebuah desa yang terletak di Kecamatan Delanggu, Kabupaten Klaten. Sekitar 15 menit jika perjalanan ditempuh dari Kartasura dan 45 menit dari Kota Yogyakarta. Berdasarkan data statistik Desa Gatak tahun 2017 menyebutkan bahwa desa ini terdiri dari 12 dusun, 17 RW, dan 47 RT dengan jumlah penduduk sekitar 3.444 jiwa.

Kerukunan di Tengah Perbedaan

Masyarakat Desa Gatak merupakan komunitas masyarakat yang sangat beragam dalam hal agama. Terdapat empat agama yang dianut dan diyakini oleh masyarakat desa yaitu Islam sebanyak 2.918 orang, Kristen sebanyak 87 orang, Katolik sebanyak 408 orang, dan Hindu sebanyak 28 orang.

Uniknya semua pemeluk agama hidup berdampingan secara rukun saling menghormati dan menghargai perbedaan yang ada. Hal ini dapat dilihat misalnya pada saat perayaan hari Kemerdekaan Republik Indonesia setiap tanggal 17 Agustus, seluruh pemeluk agama bergotong royong mempersiapkan ogoh-ogoh dan gunungan hasil bumi untuk diarak bersama.

Keharmonisan juga terlihat ketika acara hari-hari besar keagamaan. Saat Idul Fitri misalnya umat Islam akan bermaaf-maafan tidak hanya kepada sesama umat Islam, tetapi kepada semua masyarakat walaupun berbeda keyakinan. Dan saat perayaan Paskah umat Kristen dan Katolik juga mengundang umat agama lain untuk makan bersama. Setiap umat beragama di desa ini juga memiliki tempat ibadah masing-masingnya seperti masjid, gereja, dan pura yang kesemuanya dibangun secara berdekatan sebagai simbol keharmonisan dan kerukunan.

Berdasarkan pengakuan dari perangkat Desa Gatak selama puluhan tahun belum pernah terjadi konflik yang mengatasnamakan perbedaan agama. Mafhum, setiap pemeluk agama memiliki pemahaman yang kuat terhadap doktrin agamanya masing-masing berkaitan dengan prinsip berinteraksi dengan keyakinan agama yang berbeda.

Baca Juga  Songket Kauman: Budaya Muhammadiyah yang Hilang Ditelan Zaman

Seperti pemeluk agama Katolik yang berpegang teguh terhadap ajaran Alkitab Konsili Vatikan II, pemeluk agama Kristen yang berpegang teguh pada ajaran Injil Markus 12:30-31, dan pemeluk agama Islam yang berpegang teguh pada Al-Qur’an khususnya surat Al-Kafirun ayat 6, sementara dalam agama Hindu para pemeluk agama berpegang teguh pada ajaran trimurti dan Kitab Suci Weda, Reg Weda (Buku I, Gita CLXIV, Bait 46).

Peran Pemerintah dan Masyarakat

Selain ajaran agama yang mereka pegang secara teguh, toleransi dan kehidupan harmonis di desa tersebut juga tercapai karena adanya peran dari pemerintah desa yang senantiasa menyadari bahwa adanya perbedaan tidak menutup kemungkinan memiliki potensi terjadinya konflik hanya saja hal tersebut dapat diminimalisir dengan cara ketika muncul gejala konflik pihak desa segera mengundang setiap tokoh agama untuk mengendalikan suasana.

Sementara pemahaman masyarakat desa tentang toleransi sudah menjadi pemahama bersama secara turun temurun, toleransi oleh masyarakat telah menjadi kesadaran yang mengakar dalam hati nurani masing-masing pemeluk agama, hal tersebut memudahkan pemerintah desa dalam meredam gejala konflik yang muncul.

Dalam konteks ini, proses interaksi pada masyarakat majemuk mampu dijadikan sebagai sarana untuk saling mengenal. Secara struktural fungsional, agama melayani kebutuhan-kebutuhan manusia untuk mencari kebenaran, mengatasi dan menetralkan berbagai hal dalam kehidupannya. Semua agama mempunyai ajaran yang pada hakikatnya bersifat mendasar dan umumnya berkenaan dengan eksistensi dan perjalanan hidup manusia.

Bagi masyarakat desa Gatak, secara normatif, nilai-nilai dasar yang menjadi landasan terbentuknya toleransi adalah sebagai berikut; pertama, ajaran agama. Pemeluk agama Islam, Kristen, Katolik, dan Hindu masing-masing berpegang teguh pada nilai-nilai agama yang mereka yakini.

Kedua, nilai budaya yang telah mentradisi. Misalnya, gotong-royong dan guyub-rukun. Masyarakat desa Gatak tetap mempertahankan budaya ini sebagai wujud kebutuhan bersama, sekaligus nilai yang membangun sikap kebersamaan di tengah perbedaan agama.

Baca Juga  Hey Tuan, Moderasi itu Sehat!

Landasan Toleransi

Sedangkan secara empirik, nilai-nilai yang menjadi landasan toleransi adalah sebagai berikut: pertama, nilai kemanusiaan. Secara kodrati manusia dipandang sebagai makhluk sosial dan individual. Manusia senantiasa membutuhkan pertolongan orang lain dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya.

Karena itu setiap orang, golongan, atau kelompok dituntntut untuk bisa saling berpartisipasi, berkomunikasi, dan bergaul dengan yang lainnya. Tuntutan inilah yang pada tahap berikutnya memunculkan sikap toleransi. Sikap toleransi inilah yang pada tahap seanjutnya memupuk rasa persaudaraan.

Kedua, hati nurani. Sebagai makhluk sosial, manusia memiliki rasa simpati dan empati kepada sesamanya. Apalagi di lingkungan pedesaan yang ikatan rasa persaudaraannya masih tergolong kuat, kepeduliaan terhadap tetangga masih sangat dijunjung tinggi, apapun agamanya.

Ketiga, nilai historis. Sejak dahulu masyarakat desa Gatak sudah saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Secara turun-temurun mereka sudah memiliki sikap toleran terhadap perbedaan agama yang ada.

Keempat, keteladanan tokoh masyarakat dan tokoh agama. Para tokoh ini selalu memberikan contoh dalam rangka pelestarian sikap toleransi.

Kelima, yaitu nilai kesabaran. Mengingat setiap individu memiliki kepentingan dan kebebasan, maka nilai kesabaran diharapkan mampu membangkitkan kesadaran masyarakat bahwa suatu kebebasan tidak dapat dilakukan secara mutlak.

Nilai-nilai dasar toleransi ini tidak tumbuh dan muncul begitu saja dalam setiap generasi. Semua ditanamkan sejak dini, mulai dari lingkup keluarga. Melibatkan anak-anak dalam berbagi kegiatan keagamaan maupun kegiatan desa bersama seluruh anggota masyarakat lain.

Pola interaksi seperti masyarakat di Desa Gatak inilah yang diharapkan dapat menjadi role model ataupun alternative model bagi terciptanya kehidupan toleran dan harmonis antar umat beragama di Indonesia.

Editor: Nabhan

Avatar
1 posts

About author
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga
Articles
Related posts
Feature

Rakernas dan Dinamika Dunia Wakaf

4 Mins read
Jogja, Jumat 1 November 2024. Pukul 05.30 pagi dengan sebuah mobil dari Ringrud Selatan Jogja kami menuju Kartasura. Di perjalanan ikut bergabung…
Feature

Perkuat Toleransi Sejak Dini: Cerita Pesantren Muhammadiyah Terima Kunjungan SMA Kristen

2 Mins read
Kunjungan studi yang dilakukan oleh para siswa Sekolah Kanisius Jakarta ke pesantren Muhammadiyah Al-Furqon, sejak Rabu, 30/10/2024 sampai Jum’at, 1/11/2024 merupakan sebuah…
Feature

Tasawuf di Muhammadiyah (1): Lahirnya Neo-Sufisme

4 Mins read
Ketika mendiskusikan tasawuf di Muhammadiyah, maka yang dibicarakan adalah tasawuf bentuk baru atau Neo-Sufisme. Muhammadiyah sendiri—dalam hal ini tokoh-tokohnya—tidak menolak sepenuhnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds