Masih ingatkah anda tentang istilah “Devide et Impera” yang pernah masyhur pada zamannya? Yaitu pada peristiwa Agresi Militer Belanda I kurang lebih 73 tahun yang lalu.
Peristiwa tersebut telah tercatat dalam dimensi sejarah kelam bangsa Indonesia, yang seharusnya sampai saat ini menjadi sebuah pelajaran berharga untuk menapaki kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, apakah benar siasat Devide et Impera sudah hilang dan tinggal kenangan? Ataukah masih eksis hingga kini, bahkan menjadi sebuah tradisi?
Devide et Impera
Peristiwa Agresi Militer Belanda 1 yang bertepatan Pada tahun 1947 melatar belakangi adanya politik Devide Et Impera. Ya, dibalik kedatangan Belanda ke Indonesia, ternyata mengandung sebuah tujuan dan siasat yang sengit. Mereka berkeinginan untuk menggagalkan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia secara utuh dan berdaulat.
Devide Et Impera yang biasa dikenal dengan politik adu domba atau politik pecah belah adalah kombinasi strategi politik, militer dan ekonomi. Dengan tujuan untuk menjaga kekuasaan dengan cara memecah belah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil sehingga lebih mudah untuk ditaklukan. Devide Et Impera bernaung dalam satu slogan yang sama, yaitu “Verdeel en Heers” yang artinya “Pecahkan dan Kuasai”.
Dampak yang ditimbulkan dari adanya siasat tersebut, tentu sangatlah fatal. Belanda mengambil kesempatan dalam kesempitan. Indonesia mengalami berbagai macam kerugian. Tak hanya sebatas kerugian fisik, akan tetapi ideologi pun turut menjadi sasaran.
Adu Domba Masa Kini
Perkembangan zaman yang semakin pesat dan melesat, menjadikan dunia tidak lagi mengenal sekat. Pola hidup dan budaya manusia moderen ternyata lebih welcome terhadap kebudayaan asing. Sehingga mengakibatkan asimilasi kebudayaan dan juga paham-paham baru yang belum tentu sinkron dengan nila-nilai yang murni, namun sudah menjadi tradisi. Globalisasi menjadi pelopor revolusi negeri, baik dari aspek politik, sosial budaya, ekonomi bahkan ideologi.
Jika dahulu, Belanda sebagai musuh NKRI menggunakan siasat perang mental untuk mengotak-atik ideologi masyarakat pribumi serta meluluh lantahkan masa depan bangsa, maka tidakkah kita merasakan siasat tersebut masih berdenyut hingga saat ini? Jejak-jejak Devide et Impera ternyata masih membekas di Nusantara. Hal tersebut terlihat dari berbagai aspek kehidupan, terutama perihal tradisi politik.
Hari-hari menjelang pemilu, contoh sederhananya. Masyarakat kini selalu dihadapkan dengan praktik adu argumen dari setiap kubu. Fanatisme golongan menjadi tradisi yang sangat kental, sehingga pihak satu dengan pihak yang lain saling berseteru dan berakhir kisruh. Membela mati-matian terhadap pihak masing-masing. Bukan lagi persatuan dan kesatuan yang diutamakan, tapi justru perpecahan.
Percaya atau tidak, Hal ini ternyata didalangi oleh mereka yang haus akan kekuasaan. Berbagai strategi busuk menjadi cara untuk mendapatkan kursi pemerintahan. Antara lain dengan cara menyodorkan dana ke berbagai lembaga, bagi-bagi sembako secara gratis, uang cuma-cuma, yang sejatinya momentum tersebut tidak lain hanya sebatas propaganda belaka.
Rakyat dikelabuhi dengan pemenuhan materi, seolah para makar politik itu memang sengaja mengajari untuk menjadi rakyat yang materialistis. Pada akhirnya keputusan sengitpun dapat tercapai dengan mudah dengan cara tersebut. Ironisnya, peristiwa tersebut seakan-akan sudah lazim terjadi, bahkan menjadi sebuah tradisi tahunan bagi rakyat negeri ini. Begitulah corak politik Indonesia hari-hari ini. Menyedihkan, bukan?
Ternyata, penjajahan tidak hanya soal memegang senjata perang ataupun menindas rakyat miskin secara terang-terangan. Walaupun Indonesia sudah menyandang gelar merdeka, namun sejauh ini sikap berdikari dalam negeri kita tercinta masih belum mendominasi. Mental negara masih tersusun di atas puing-puing imperialisme.
Persatuan dan Kesatuan
Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia menjadi salah satu wadah untuk menghimpun kekuatan jiwa patriotisme. Walaupun Indonesia adalah negara yang heterogen, namun semboyan sakral bangsa ini tetaplah sama, “Bhinneka Tunggal Ika”.
Gema “Persatuan Indonesia”. Begitulah bunyi sila ke-3 dari ideologi tanah air kita. Salah satu asas kemerdekaan Indonesia, adalah persatuan. Negara Indonesia merdeka di atas pondasi persatuan dan kesatuan. Integritas dan solidaritas menjadi simbol kekuatan yang amat besar dengan menepis jiwa egoisme dan fanatisme.
Oleh sebab itu, persatuan dan kesatuan adalah kekuatan ampuh dalam mengalahkan segala macam penindasan, mencapai kemerdekaan yang murni tanpa adanya praktik adu domba.
Mari kita ingat kembali tentang salah satu petuah Bung Karno yang sangat populer. “JASMERAH ” (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah). Dari ungkapan tersebut, tentunyabapak proklamator kita memiliki harapan yang amat besar terhadap masa depan peradaban bangsa ini, dengan cara berkaca dari fakta-fakta sejarah yang pernah terukir dalam jiwa NKRI. Sejarah yang tak melulu manis tapi juga pahit, guna menjadikannya sebagai pelajaran agar tidak terulang kembali.
Tentunya kita tidak mau diadu domba oleh siapapun dan dari pihak manapun. Walau memang kenyataannya banyak praktik adu domba menjadi tontonan kita sehari-hari. Akan tetapi, generasi Indonesia haruslah menjadi generasi yang cerdas dalam berideologi, tidak mudah terprovokasi, menjaga kemurnian tradisi dan memiliki semangat berintegrasi.
Editor: Sri/Nabhan