September berdarah. Itulah memori ingatan dalam sejarah bangsa Indonesia. Bukan pada sejarah prestasi dan kebangikitan kita, tapi lebih kepada krisis kemanusiaan dan segala rentetan kelam pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Sejarah bangsa kita memang kadang diwarnai peristiwa berdarah dan sulit dimaafkan, tapi begitulah fakta sejarah kita; pembunuhan, penculikan, pertikaian, perang saudara, hingga pembantaian.
Tragedi Gerakan 30 September PKI
Dari sekian banyaknya peristiwa kemanusiaan dan HAM dalam sejarah Indonesia, tragedi Gerakan 30 September PKI (G30S/PKI) adalah tragedi yang paling dikenang dan mengerikan. Betapa tidak, pada akhir pemerintahan Orde Lama Soekarno- peristiwa pembantaian 6 Jenderal dan 1 Perwira di Lubang Buaya yang dikomandani oleh Letkol Untung. Tak hanya itu, dalam sejarahnya, PKI tidak hanya berkonflik kepada TNI AD melainkan juga pada tokoh Islam. Pada tahun 1948, para ulama dan santri mulai melawan dominasi PKI yang sudah melewati batas dan mengancam umat Islam. Peristiwa pembantaian PKI terhadap ulama dan santri di Madiun serta para pemimpin partai Islam Indonesia dan Masyumi ditangkap dan dibunuh.
Tak hanya di Madiun, peristiwa pembantaian yang diinisiasi oleh PKI terhadap umat Islam juga terjadi di Magetan. Salah satu sasaran kekejaman PKI adalah pada Pondok Pesantren Cokrokertopati Ibnu Sabil Takeran, Magetan. Pesantren tersebut memang dikenal sebagai basis dari partai Masyumi – korban dari keganasan PKI itu lalu dibuang.
PKI sebagai basis kekuatan Politik yang cukup mendominasi di awal kemerdekaan tersebut menjadikan PKI rakus dan tamak bahkan menghalalkan segala cara untuk menyingkirkan semua lawan dan musuh politiknya termasuk banyak korban – salah satunya dari kalangan ulama dan santri.
Tak heran, kebencian kepada seluruh sisa peninggalan PKI mulai dari simbol, slogan, bendera, lambang, anggota hingga keturunan PKI menjadi sasaran kebencian buta dalam tubuh bangsa. Kelahiran New PKI menjadi momok yang sangat mengerikan dan ditakutkan bagi tubuh TNI dan umat Islam. Olehnya itu, untuk menumpas seluruh cikal bakal kelahiran PKI yang baru, TNI bersama ulama bahu membahu untuk melawan PKI hingga penumpasan terhadap paham politik PKI.
Film G30S/PKI dan Politik Orde Baru
Salah satu instrument politik Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto yang paling manjur untuk menghalangi kebangkitan New PKI ini adalah dengan menggunakan instrument budaya yang sangat masif. Pembuatan film Pengkhianatan G30S/PKI dengan anggaran besar mampu melemahkan segala upaya kebangkitan baru PKI. Pertunjukan kekejaman PKI terhadap 6 Jenderal dan 1 Perwira berhasil menanamkan dendam dan kebencian seluruh masyarakat Indonesia termasuk dari kalangan ulama dan santri. Film ini juga menggambarkan bagaimana kekejaman PKI terhadap tokoh-tokoh ulama dan santri.
Pemutaran film tersebut kemudian menjadi kewajiban politik bagi instansi pemerintahan Orde Baru, bahkan hingga kini masih banyak masyarakat dan ormas mempertontonkan film produksi Orde Baru itu tak lain hanya untuk menanamkan kebencian kepada hal yang berkaitan dengan PKI. Bahkan, menurut beberapa cerita pada saat pembuatan film G30S/PKI – para team produser film sempat mendapat perlawanan dari masyarakat dikarenakan saat pembuatannya tersebut terlihat adanya bendera PKI yang notabene hanya menjadi perlengkapan pembuatan film. Masyarakat yang melihat segala simbol PKI walau hanya dijadikan sebagai alat perlengkapan pembuatan film menunjukkan sikap benci yang sangat mendalam terhadap PKI.
Tak hanya instrument pembuatan film, Orde Baru juga sukses membangun patung 7 korban keganasan PKI yang dikenal sebagai Pahlawan Revolusi. Patung tersebut masih berdiri tegak hingga sekarang. Patung ini tidak lain adalah instrument budaya Orde Baru untuk terus menanamkan kebencian kepada seluruh unsur PKI dan antek-anteknya walau semua sudah habis ditumpas. Maka tak heran, jika melihat patung Pahlawan Revolusi tersebut yang terlintas dalam pemikiran kita adalah “Korban Kekejaman PKI”.
Pembantaian Terhadap PKI
Disisi lain, pembantaian juga menimpa anggota PKI, simpatisan, keluarga bahkan yang dituduh dekat dengan PKI, pergerakan ini kemudian dimotori oleh TNI AD. Pihak yang paling bertanggung jawab adalah Soeharto setelah mendapat Mandat dari presiden Soekarno lalu membentuk Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban pada 10 oktober 1965.
Soeharto kala itu meluncurkan, mendukung dan mendorong segala bentuk kampanye anti-komunis secara besar-besaran di seluruh Indonesia. Akibatnya, banyak juga kalangan sipil yang ikut terlibat dalam pembantaian anggota PKI tersebut diakibatkan adanya aksi balas dendam yang pernah dilakukan oleh PKI saat berkuasa.
Atas dukungan dari TNI AD, seluruh anggota dan simpatisan PKI dengan mudah dikalahkan dan dibumihanguskan. Para masyarakat sipil juga dibekali pelatihan militer dan persenjataan hanya untuk menumpas seluruh anggota PKI dan aksi main hakim ini sendiri dilegalkan oleh aparat. Maka tak heran, hanya butuh sekitar kurang lebih 4 tahun – seluruh akar partai PKI hilang dari sejarah perkembangan bangsa Indonesia.
Sejarah yang Dibungkam
Pembantaian terhadap seluruh anggota PKI, keluarga, simpatisan bahkan yang dituduh tanpa bukti berafiliasi kepada partai tersebut tidak lagi diungkit oleh Orde Baru bahkan pada penguasa saat ini. Pembantaian manusia tanpa diadili itu yang jumlah ratusan ribu bahkan jutaan dalam beberapa versi tidak mendapat keadilan, terutama pada masa Orde Baru. Ribuan orang hilang tak tahu dimana. Sejarah kelam ini tidak pernah diajarkan di sekolah, yang diajarkan hanyalah kekejaman PKI terhadap umat Islam dan beberapa jenderal dalam instrumen budaya film, sastra serta simbol patung Pahlawan Revolusi.
Pembantaian terhadap warga PKI juga menarik perhatian Internasional tetapi dapat diredam begitu saja. Dalam kajian budayanya, pemerintahan Orde Baru berhasil menutupi bahkan melegitimasi segala kekerasan dan pembantaian terhadap PKI dan segala yang berafiliasi terhadapnya hanya dengan menggunakan Film, Sastra dan Simbol Patung.
Melalui instrumen budaya tersebut, Orde Baru berhasil mengubah pandangan publik menjadi benci dan dendam kepada PKI dan melupakan serta melegitimasi pembantaian yang menimpa anggota PKI secara membabi buta. Krisis kemanusiaan yang menimpa anggota PKI dan keluarganya sampai hari ini tidak mendapat keadilan – bahkan cenderung dilupakan.
***
Kekerasan memang selalu tidak dibenarkan dengan alasan apapun. Keadilan kepada keluarga anggota PKI yang dibantai oleh TNI AD dan masyarakat sipil juga perlu kita kenang pada peringatan G30S/PKI. Ada sejarah yang dibungkam dengan menyebarkan pemutaran film G30S/PKI setiap tanggal 30 September, yaitu membungkam kekerasan kemanusiaan yang juga menimpa anggota partai PKI dan simpatisannya tanpa keadilan hingga hari ini.
Tentu kita mengutuk segala macam pembantaian yang dilakukan oleh PKI, tetapi kita juga mengutuk pembantaian terhadap anggota PKI dan keluarganya tanpa keadilan yang dilakukan oleh Orde Baru dan antek-anteknya. Semoga kita lebih kritis dan holistik dalam memaknai setiap sejarah dan peristiwa bangsa kita di masa lalu. Sejatinya, pemutaran terus-terusan film Pengkhianatan G30S/PKI hingga hari yang diperingati tiap 30 September justru akan menanamkan kebencian warisan Orde Baru secara sepihak kepada generasi kita yang parsial dan buta memahami sejarah.
Editor: Soleh