Saya belum pernah membaca buku Matinya Kepakaran karya Tom Nichols. Namun, isu tentang matinya kepakaran ini cukup banyak diperbincangkan. Sedikit banyak saya jadi mengerti tentang apa yang disebut sebagai matinya kepakaran tersebut. Menurut yang saya pahami dari berbagai pembahasan atas isu tersebut, di zaman media sosial ini orang semakin mudah dan bebas beropini. Di medsos, dengan sekali klik opini kita bisa dibaca ribuan orang. Faktor itulah yang membuat kepakaran menjadi sesuatu yang tidak digubris. Semua orang merasa berhak ngomong apa saja, seakan-akan mereka ahli.
Matinya Kepakaran ala Indonesia
Di salah satu video Put-Cast, konten podcast di channel YouTube Mojok, Irfan Afifi (budayawan muda) mengatakan bahwa hal lain yang membuat kepakaran menjadi mati adalah akademisi yang semakin ke sini lebih sering mengurus hal-hal bersifat administratif-birokratif. Akhirnya akademisi, yang notabene dianggap pakar, jadi tidak punya waktu untuk tampil di hadapan publik memberikan pencerahan-pencerahan terkait keilmuan yang didalaminya.
Ketika akademisi semakin condong ke persoalan administratif-birokratif, kesempatan untuk tampil di hadapan publik diambil alih oleh orang lain yang berlabel influencer atau seleb medsos, yang jika dilihat dalam hal kepakaran ternyata apa yang mereka bicarakan tidak sesuai dengan basis keilmuan yang dimiliki oleh si influencer atau seleb medsos tersebut.
Selain faktor-faktor tersebut, untuk kasus di Indonesia saya punya pandangan lain terkait matinya kepakaran ini. Di Indonesia orang-orang mengerti bahwa ada semacam standar sosial yang disepakati. Walau secara tidak langsung, juga tidak tertulis. Ketika orang-orang mencapai standar sosial tersebut, oleh masyarakat dianggap sebagai orang yang beradab.
Jika pencapaiannya melebihi standar sosial tersebut dalam artian yang positif, tingkat keberadaban orang tersebut naik. Terjadi semacam glorifikasi terhadap orang tersebut. Tidak melalui cucupan di punggung-punggun tangan. Tetapi lebih cenderung melalui sikap-sikap sosial.
Contoh sederhana, kalau orang miskin bersalah di masyarakat dihujat habis-habisan. Kalau orang kaya punya salah di masyarakat tidak dianggap salah.
Gelar Hanya untuk Privilege
Standar sosial lain yang saya maksud selain kepemilikan harta benda yang berlimpah adalah gelar kesarjanaan. Bagaimanapun, sekarang masih banyak komunitas masyarakat di Indonesia yang menganggap orang yang kuliah sampai S3, bergelar doktor, apalagi bekerja sebagai dosen, telah mencapai standar sosial yang cukup tinggi. Bahkan jika pada prakteknya, misalnya ketika mengajar di kampus ,ya biasa-biasa saja. Tidak pintar-pintar amat. Minim prestasi. Bahkan jauh dari kata ahli atas ilmu yang didalaminya.
Bagi sebagian orang yang menyandang gelar hal semacam itu dianggap tidak masalah. Bahkan tidak membuat mereka melakukan introspeksi untuk meningkatkan kompetensinya. Bagi mereka penghormatan dari orang lain atas dasar gelar yang disandangnya sudah cukup.
Privilege yang didapatkan oleh para penyandang gelar semacam itu membuat banyak orang juga ingin menyandang gelar sampai tingkat yang tertinggi. Bahkan jika itu tanpa dibersamai dengan peningkatan kompetensi sampai taraf yang benar-benar ahli atau pakar sesuai dengan gelar yang disandangnya.
Yang parah dari munculnya gejala tersebut adalah banyaknya orang ingin mempunyai gelar secara instan. Akhirnya terjadi pemalsuan-pemalsuan ijazah. Tentu kita semua tahu kasus pemalsuan ijazah yang dilakukan oleh mantan pelawak beberapa waktu lalu ramai diperbincangkan public itu.
Pada titik itulah kepakaran menjadi mati. Banyak penyandang gelar yang seharusnya diisi oleh orang-orang yang ahli atau pakar dalam ilmu tertentu tetapi tidak. Mereka mengejar gelar hanya karena ingin mendapatkan privilege, bukan karena ingin menjadi ahli atau pakar atas ilmu tertentu.
***
Saya kira, karena kecenderungan semacam itu jugalah yang membuat pembawa acara dalam sebuah acara formal yang melibatkan orang-orang penyandang gelar kesarjanaan lebih lama menginformasikan gelar-gelar dari orang-orang terkait, alih-alih informasi lain yang lebih penting yang berkaitan dengan acara yang dibawakannnya.
Selain itu, hal itu jugalah yang membuat banner-banner acara jadi terlihat tidak keren gara-gara ruang yang seharusnya kosong habis diisi gelar-gelar yang sebenarnya tidak begitu penting untuk dipajang. Toh, para peserta bisa googling, atau nanti ketika acara dimulai akan tahu sendiri sejauh mana kapasitas si narasumber ketika narasumber berbicara.
Editor: Nabhan