Beragam kritik dan komentar terkait perkembangan tren hijrah, bagian penting yang dapat diperhatikan adalah meningkatnya tren hijrah. Model dakwah milenial menjadi salah satu pendorongnya. Seperti kegiatan dakwah oleh ustadz muda yang disiarkan secara offline maupun online. Ceramah tersebut kemudian dikemas dengan bahasa yang mudah dipahami dan menyasar berbagai lapisan masyarakat.
Tren hijrah diposisikan sebagai perilaku manusia dalam mengekspresikan agamanya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa religiusitas memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku sosial masyarakat. Termasuk dalam meningkatnya jumlah umat Islam yang ikut dalam tren hijrah saat ini.
Modernisasi dan Hijrah
Modernisasi yang didukung oleh teknologi komunikasi mendorong masyarakat Muslim semakin menunjukkan identitas hijrah dengan menjalankan ritus-ritus keagamaan di ruang-ruang publik (Wahid, 2019). Sebagai contoh, Akun Instagram Pemuda Hijrah (Hijrah Pemuda Hijrah) diikuti oleh lebih dari satu juta orang dan pencarian tagar hijrah menghasilkan lebih dari 1,7 juta unggahan. Berbekal tampilan dan pakaian masa kini, bahasa yang membumi, dan atribut-atribut budaya Muslim sehingga mudah untuk melabeli ustadz dan ulama di Instagram. Visual yang menarik, video pendek, keterangan motivasi untuk berbuat baik, reproduksi kesalehan sangat mudah ditemukan dan menarik banyak pengikut.
Modernisasi juga berdampak pada pergeseran nilai dan orientasi keagamaan, seperti halnya pada fenomena hijrah saat ini. Kita telah menyaksikan bahwa gerakan hijrah menjadi sebuah gerakan yang masif. Hijrah kini dianggap sebagai sesuatu yang meriah dan keren, sampai-sampai diadakan Festival Hijrah. Acara tersebut disinyalir sukses dan dihadiri oleh banyak umat Islam dari berbagai lapisan masyarakat. Hal ini dimotori oleh kaum muda urban milenial dan dimotori oleh para artis yang juga melakukan hijrah. Hijrah menjadi gaya hidup baru yang keren, kekinian, dan memiliki daya magnet yang kuat untuk mempengaruhi orang lain untuk bergabung.
Pergeseran Religiusitas Muslim Urban
Seringkali hijrah diidentikkan dengan segala sesuatu yang menunjukkan religiusitas pribadi, yang ditandai dengan, misalnya, perubahan dalam berbusana, terutama bagi perempuan dari yang tadinya tidak berhijab kemudian memutuskan untuk berhijab, dan dari mengenakan jilbab kemudian memutuskan untuk mengenakan niqab. Untuk laki-laki, mereka yang tidak memelihara jenggot kemudian memutuskan untuk memelihara jenggot. Mereka yang memakai celana panjang biasa dan kemudian memutuskan untuk memakai celana panjang yang menggantung di atas mata kaki atau memakai jubah seperti orang Arab, seperti yang diungkap oleh Setiawan (2017) dalam penelitiannya.
Mauline (2019) pernah menyebutkan bahwa fenomena saat ini tampaknya lebih kuat dan lebih nyata dibandingkan dengan yang terjadi pada tahun 1980-an. Apa yang dialami hari ini merupakan semangat keagamaan yang dikombinasikan dengan identitas politik yang digunakan untuk menghadapi kelompok-kelompok yang berbeda, sementara yang terjadi pada tahun 1980-an lebih didorong oleh semangat-semangat keagamaan. Identitas tersebut terkadang sangat ekstrem yang berakibat pada fobia terhadap kelompok lain.
Fenomena perubahan menjadi “lebih saleh” telah lama ada dan dikenal dengan istilah “kelahiran baru” di kalangan umat Kristiani, seperti yang pernah diungkap oleh Azra (2019). Orang-orang yang dilahirkan kembali juga biasanya lebih ekstrem. Mereka bahkan menyatakan bahwa Muslim moderat sebagai Muslim yang “tidak kāffah”.
Pemantapan identitas sebagai bentuk dari semangat hijrah seharusnya tidak menyebabkan seseorang menjadi eksklusif, apalagi membenci mereka yang berbeda dengannya. Namun, belakangan ini, banyak di antara mereka yang melakukan “hijrah” langsung menghakimi mereka yang belum melakukannya sebagai pendosa.
***
Dalam konteks kekinian, menurut hasil penelitian Setiawan (2017), secara umum transformasi terkait hijrah versi kekinian dapat dilihat secara fisik, melalui perubahan-perubahan yang dangkal dari gaya A ke gaya B, dari tidak berhijab menjadi berhijab, dari bercukur bersih menjadi memaksakan diri untuk menumbuhkan jenggot, serta perubahan pemikiran dan spiritualitas. Fase perubahan ini disebut sebagai “fase transformasi individu”, yang berupa perubahan spiritual-moral. Fenomena hijrah yang terjadi saat ini terkadang hanya melibatkan perubahan yang bersifat dangkal. Sehingga, dapat dikatakan pula perubahan khas dari makna hijrah saat ini lebih menekankan pada aspek eksistensial, bukan pada aspek substansial.
Sebagai contoh, hijrah diasosiasikan dengan perubahan cara berpakaian yang lebih Islami bagi perempuan. Busana Islami mengacu pada cara berpakaian seorang Muslim atau Muslimah yang menutup aurat (mengenakan pakaian panjang yang menutupi seluruh tubuh). Wacana hijrah bagi perempuan tidak bisa dilepaskan dari penggunaan hijab, niqab, dan pakaian Muslimah lainnya. Sedangkan bagi laki-laki, dilarang menggunakan isbal (celana yang melebihi mata kaki) karena hal tersebut merupakan salah satu bentuk kesombongan.
Istilah hijrah saat ini mengacu pada upaya individu untuk membuang gaya hidup yang dianggap tidak Islami dan beralih ke perilaku dan pakaian yang “Islami”, serta menjalankan semua ritual, baik ritual wajib maupun sunah. Kesalehan yang ditampilkan menerapkan prinsip-prinsip Islam yang ketat dan unik sesuai dengan gaya dan preferensi agama yang baru.
Hijrah dianggap sebagai perubahan sikap dan pengalaman keagamaan, dari kelonggaran menjadi ketegasan. Fenomena hijrah menunjukkan pandangan bahwa kesalehan harus tampak dalam bentuk lahiriah.
***
Penelitian Nurul Annisa Hamudy dan Moh. Ilham A. Hamudy (2020) menggambarkan bahwa hijrah tidak selalu menjadi panutan kesalehan, tetapi juga bisa menjadi penyebaran ideologi yang beku, menggambarkan komodifikasi agama, dan dianggap hanya membahas masalah ḥalal dan ḥaram.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa hijrah menarik bagi sebagian umat Islam karena ajaran Islam lebih praktis, tidak terlalu filosofis dan rumit. Makna hijrah sebagaimana makna aslinya tidak terbatas pada aspek eksistensial, melainkan dimaknai sebagai sebuah perjalanan spiritual personal yang akan terus berlangsung sepanjang hidup manusia. Fenomena pergeseran makna hijrah ini banyak dipengaruhi oleh gelombang media dan media sosial yang menghembuskan nilai kepraktisan, konsumerisme, dan komodifikasi agama.
Wallahu A’lam.
Editor: Soleh