Syinqith merupakan sebuah suku padang pasir di negeri Afrika. Kota Syinqith berada disebuah daratan yang disebut dengan Dataran Adrar, tepatnya di Mauritania, sebuah negeri telah berdiri ratusan tahun yang lalu di ujung barat laut Afrika yang berbatasan dengan Maroko. Orang Arab lebih mengenalnya dengan nama Syinqith daripada Mauritania.
Sampai sekarang, Syinqith terkenal akan kekuatan ingatannya, keampuhan dan kecepatan menghafalnya, hingga dikatakan oleh para ulama yang memanfatkan mereka:
فالشناقطة لا يعدون علما إلا ما حصل في الصدر ووعته الذاكرة متنا و معنى
“Mereka (kaum Syinqih) hanya menganggap ilmu itu adalah sesuatu yang ada di dada dan dapat diingat kapan saja baik intelektualnya atau maknanya.” (Husein Al Habsyi: 2017)
Aib Ketika Tidak Hafal Al-Qur’an
Menurut adat di sana, anak yang sudah mencapai umur 7 tahun namun belum hafal Al-Qur’an, adalah sebuah aib. Karena pada umumnya, anak-anak mereka mendapatkan didikan Al-Qur’an bahkan sejak di dalam kandungan.
Saat hamil, ibu mereka akan menghabiskan waktu luangnya untuk muraja’ah Al-Qur’an. Dan setelah lahir, sekeluarga akan muraja’ah bersama dan bayi itu akan digendongnya. Dilanjut nanti ketika sang bayi sudah mulai bisa membaca Al-Qur’an dan mampu menghafalnya, ia akan muroja’ah langsung di depan orang tuanya. (Baladena: 2021).
Metode Menghafal ala Syinqith
Adapun rangkaian metode yang diterapkan ulama untuk menghafal Al-Qur’an, menurut Ibrahim As-Syinqithiy (2006: 72-105), di antaranya yaitu:
Pertama, Mengajarkan Huruf
Fase ini dimulai sejak usia dini, umumnya pada usia 5 tahun. Anak-anak akan diajarkan huruf-huruf kemudian harakatnya sampai lancar dan tidak terbata-bata.
Kedua, Guru menulis, anak membaca berulang-ulang
Pada fase ini, guru akan menulisnya dalam sebuah papan, ia menulis satu huruf demi satu huruf lalu mengucapkannya. Setelah itu, murid akan mengikutinya.
Ketiga, Murid Menulis, Guru Mendikte
Pada fase ini, guru akan mendikte lalu muridnya menulisnya. Biasanya, alat yang dipakai menulis adalah sebuah papan yang terbuat dari kayu atau yang biasa disebut Lauh, penanya dari pelepah, tempat tintanya dari batu atau tembaga, dan tintanya dari perekat Arab atau karbon.
Setelah itu, guru akan menyuruhnya membaca huruf-huruf beserta harakat-harakatnya dengan baik dan benar. Sampai ketika guru merasa murid itu bisa membaca huruf-huruf itu dengan baik dan benar, ia akan menyuruhnya duduk dan mulai membacanya berulang-ulang (biasanya 100x pada waktu pagi) lalu menyetorkannya pada guru dengan dibaca (tidak dihafal).
Ia akan terus membacanya berulang-ulang sampai hafal di luar kepala tanpa terbata-bata, kemudian menyetorkannya kepada guru pada siang harinya dengan tanpa membacanya (dihafal).
Sore harinya, murid membaca darusannya lagi dengan ditambah darusan hari kemarin secara berulang-ulang. Kemudian menyetorkannya pada guru dengan dihafal.
Murid diberikan waktu istirahat setelah menyetorkan hafalannya dipagi hari sampai dzuhur dan setelah menyetorkan hafalannya di siang hari sampai sore.
Perlu diingat, bimbingan pengawasan yang kontinyu dari seorang guru sangat berperan penting terhadap hafalan murid-muridnya.
Setiap murid diharuskan membaca dan me-muraja’ah darusan-nya setiap hari dengan suara keras yang sekiranya didengar oleh guru dan murid-murid lain. Mereka tidak ditolerir membaca dengan suara yang pelan. Mereka diwajibkan me-muraja’ah hafalannya itu minimal lima juz atau lebih, sesuai dengan arahan gurunya. Tidak jarang, pada saat-saat tertentu, guru akan memanggil salah satu dari muridnya untuk membaca seluruh hafalannya didepan gurunya.
Jika didapati sebagian hafalannya kurang baik, berarti ia telah melakukan penipuan atas muraja’ah-nya. Dan guru akan menghukumnya dengan hukuman yang pantas sampai murid itu tidak melakukan penipuan atas murajaahnya lagi.
Pada fase ini, aktivitas tadi akan dilakukan setiap hari sampai khatam Al-Qur’an secara sempurna.
Keempat, Murid Belajar Rasm ‘Utsmani
Pada fase ini, kitab yang biasa dikaji adalah kitab Rasm Ath-Thalib ‘Abdullah Al-Jikniy Asy-Syinqitjy. Dahulu, ulama-ulama Syinqith mengkajinya dengan mengandalkan hafalan. Dikatakan bahwa mereka begitu menjauhi melakukan kajian dengan cara melihat lembaran kitab.
Kelima, Menulis Al-Qur’an dengan menjaga kaidah-kaidah Rasm ‘Utsmani
Pada fase ini, murid menulis Al-Qur’an dengan memperhatikan kaidah-kaidah Rasm ‘Utsmani kurang lebih tiga lembar tanpa didikte dan tanpa melihat mushaf. Hasil tulisannya ia berikan pada gurunya. Jika tidak ada kesalahan, guru akan menyuruh muridnya itu membaca tulisannya berulang-ulang, sehingga bentuk-bentuk tiap kalimat dan metode penulisannya akan menancap dalam ingatan.
Sampai ketika murid sudah mampu menulis lima juz tanpa kesalahan (atau sesuai aturan guru), guru akan menyuruhnya menulis kitab Ibn Barriy, sebuah kitab yang membahas qira’ah Imam Nafi’ dari dua riwayat, yakni riwayat Warosy dan Qalun. Sembari menghafalkan kitab ini, murid terus melakukan muraja’ah tulisan Al-Qur’annya sampai guru memberhentikannya sebagai isyarat bahwa murid itu telah memasuki fase ijazah.
Keenam, Fase Memperoleh Ijasah
Pada fase ini, guru akan menyuruh murid untuk membacakan hafalan Al-Qur’annya secara sempurna tanpa kesalahan dan kemacetan sedikitpun. Kemudian guru akan menuliskan ijazah untuk murid tersebut dengan tulisannya sendiri.Yang mana, dalam ijazah itu, ditulis mata rantai sanad qira’ah Imam Nafi’ dan nasihat-nasihat untuk sang murid tersebut.
Metode ini dianggap sangat efektif untuk menghafal Al-Qur’an. Sehingga, masih dipakai sampai sekarang. Kegiatan belajar menggunakan metode pembagian pengajaran atau pelatihan menjadi beberapa periode yang relatif lama akan membantu kegiatan belajar dengan cepat dan menancap dalam ingatan. Selain itu, metode ini lebih baik daripada menggunakan “Metode Konsentrasi” yang selesai dalam satu periode waktu yang singkat.
Metode ini sebagaimana yang diterapkan Rasulullah saat mengajarkan Al-Qur’an kepada para shahabat. Begitupun para shahabat, mereka menggunakan metode ini dalam mengajarkan Al-Qur’an pada generasi selanjutnya.
Editor: Yahya FR