Review

Dilarang Mengutuk Hujan: Buku Penuh Esai Reflektif

4 Mins read

“Dilarang Mengutuk Hujan” begitulah Iqbal Aji Daryono melahirkan karya terbarunya. Dia seorang kolomnis esai di berbagai media ternama. Tulisan-tulisannya yang tersebar di jagat maya terbilang menarik, nyentrik, humoris, penuh kritik, dan bersifat perenungan. Bahkan, untuk hal-hal remeh sekalipun, dibawakan secara tangkas dengan melibatkan banyak orang dengan kehidupan pribadinya dan menyuguhkan prespektif segar yang tiada diduga.

Sekilas tentang Buku Dilarang Mengutuk Hujan

Dilihat dari judulnya “Dilarang Mengutuk Hujan” memberikan kesan kepo. Kenapa ada larangan mengutuk hujan? Praduga yang saya pasang pasti mas Iqbal memberikan celoteh prespektif yang kadang membuat diri tidak menyadarinya. Meski hal itu benar-benar hidup di sekitar kita dan terbilang remeh-temeh.

Buku ini, dari halaman awal hingga akhir halaman memuat 21 esai. Mau dibaca dari bagian akhir ke bagian awal, maupun sebaliknya atau mau dibaca secara acak dan jungkir-balik sekalipun tidak akan jadi masalah. Karena sketsa tulisannya tidak berkesinambungan. Dan lebih pas dan cocok dibaca ketika lagi di sela-sela kesibukan untuk menjadi teman kala sepi maupun dijadikan wejangan sebelum tidur juga sangat cocok atau kapanpun bisanya.

Potret kehidupan dikemas dan diramu dengan baik dengan ramu-ramu prespektif tajam. Ya meskipun sedikit menyuguhkan prespektif tokoh teoritis besar, tetap saja kalah kaya dibanding keluasan bangunan prespektifnya sendiri yang membingkai tulisannya. Membangun teori sendiri yang begitu reflektif nan subjektif namun seolah menghipnotis pembaca untuk meng-iya-kan saja prespektif yang ditawarkan.

Gaya Menulis Iqbal Aji Daryono dalam Buku Dilarang Mengutuk Hujan

Pak Edi AH Iyubenu selaku kurator dalam pengantar menyebutnya sebagai sosok yang“pendulum yang ritmis dan mistis, bahkan menyebutnya berbeda dari esais-esais pendahulunya,”.

Sungguh gaya tulisan yang begitu asyik, menawarkan prespektif yang tiada diduga. Jika hanya membaca satu, dua, hingga tiga esai saja, tentu daya magis dari Iqbal akan sedikit merasuk pada diri pembaca untuk enggan singgah bahkan bisa saja menjadi candu untuk membuka lagi dan lagi lembar demi lembar hingga akhirnya selesai.

Baca Juga  Menyoal Tren Hijrah Kekinian: Masak Hijrah Begitu?

Paling tidak, dari sekian tulisan itu berisi akan fenomena hidup kemanusian dari yang berat hingga yang ringan, khususnya perpolitikan, ruang lingkup akademis yang katanya penuh intelektuil yang mengedepankan ke-objektif-an yang harus diverifikasi secara ilmiah.

Juga ada fenomena sosial, agama, dan polemik lainnya yang dikemas dengan bubuhan ceritera menarik pengalaman penulis yang bersinggungan dengan masyarakat sekitar dalam menghadapi beragam persoalan yang sedang dihadapi.

Membaca buku ini seolah kita digiring untuk terus menyimak melalui story telling khas Iqbal dengan menyuguhkan celoteh kolega rondanya dengan beragam karakter dan karakter pemikiran dalam menanggapi pelbagai persoalan isu-isu aktual.

Di situ juga diberitahukan, kalau seorang Iqbal ini memiliki koleksi buku yang terbilang banyak, sekira lebih seribu judul, dari sini tampak bahwa ia termasuk pecinta buku, meskipun di lain kesempatan mempertanyakan ulang bagaimana masa depan buku nantinya? hingga akhirnya sampai pada pertanyaan masihkah anak-anak masa depan akan turut merayakan Hari Buku?

Kritik atas Pendewaan Buku

Di lain kesempatan ia juga menyuguhkan keluh-kesahnya atas otoritas teks yang sangat didewakan dalam kehidupan manusia intelektuil. Dalam esai dengan tajuk “Arogansi Buku-buku” mencoba memberikan perenungan, pertanyaan, dan kritik yang menukik tajam.

Coba kita lihat orang-orang dewasa ini, khususnya kalangan akademisi, yang begitu mendewakan buku sebagai tolok-ukur kegandrungan akan dunia literasi, sehingga orang yang kadang tidak dekat dan lekat dengan dunia buku, dianggap nirliterasi.

Mudahnya begini, “literasi dibangun dari buku-buku, kalau mau pintar bacalah buku, yang tidak baca buku sudah pasti tidak akan pernah pintar” (hal. 101), dan Iqbal mencoba mendongkrak makna literasi yang sebatas dipahami dekat dengan buku atau teks.

Baca Juga  Menggapai Bahagia dengan Filosofi Teras

Baginya, literasi itu sikap mental yang tidak hanya terpaku pada teks, apalagi sebatas buku. Literasi dipahaminya sebagai sikap rakus akan pengetahuan, sekaligus sikap berusaha  memahami pengetahuan dengan holistik dan komprehensif dari beragam sudut pandang, dan proses pemahaman itu dijalankan dengan kritis bahkan skeptis. Tanpa sikap semacam itu, mau kita membaca sejuta buku pun, kita tidak akan pernah sampai ke titik kualitas literate yang sejati. (lebih lanjut, hal: 96-103).

Saya sangat kagum atas kelihaian Iqbal dalam merenung dan membaca sesuatu yang tampak sederhana nan biasa disulap menjadi hal yang begitu luar biasa. Misalnya, ketika melihat gundukan tanah yang menggumpal akibat ulah semut di halaman belakang rumahnya.

Fenomena mengilhaminya untuk segera melahirkan tulisan esai yang apik nan mendalam dengan beragam spot argumen yang menyentuh hingga kritik atas arogansi manusia terhadap penghuni alam selain manusia, yakni Hewan.

Karena seringkali manusia merasa paling digdaya atas lainnya hingga menjadikan alam dan seisinya sebagai objek semata yang kapan pun bisa saja dimanfaatkan untuk keperluan manusia. Bahkan untuk dimusnahkan sekalipun tidak jadi masalah. Bukan malah sebagai subjek yang sama-sama saling melengkapi dan saling membutuhkan.

Belajar Merenung dari Tulisan Iqbal Aji Daryono

Dari tulisan-tulisan Iqbal, kita belajar untuk merenungi dan membaca ulang, sebisa mungkin mengambil jarak atas segala persoalan hidup yang begitu pelik untuk dipahami. Sentilan, wejangan kritik yang kritis terhadap problem yang kerap kali disalahkan, tak selamanya dapat juga disalahkan.

Remeh yang terus disepelekan, ternyata memiliki dampak yang begitu signifikan. Tapi, Iqbal meramu kesemuanya dengan ringan yang memberikan pembaca perenungan ulang atas apa yang disalah-yakini sebelumnya dengan kisah-kisah keseharian dan telaah spekulatif-filosofisnya.

Baca Juga  Film Malena: Sebuah Kritik Atas Nilai Cinta Manusia yang Salah Kaprah

Lantas kita bisa apa? Begitu lah kira-kira upaya Iqbal menghilangkan batas monolog agar sikap dialogis antar pembaca dan penulis tetap terjaga.

Wallahu a’lam bi al-shawab.

Judul Buku                  : Dilarang Mengutuk Hujan

Penulis                         : Iqbal Aji Daryono

Penerbit                       : Diva Press

Tebal                           : 166 Halaman

Tahun Terbit               : Februari 2021

Editor: Yahya FR

Ali Yazid Hamdani
5 posts

About author
Mahasiswa Aqidah dan Filsafat UIN Sunan Kalijaga
Articles
Related posts
Review

Kumandang Dakwah Sang Pembaharu dari Paciran: Kiai Muhammad Ridlwan Syarqawi

3 Mins read
Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan pembaharu (tajdid) sekaligus pemurnian akidah Islam. Sejak awal berdirinya di Yogyakarta, Kiai Ahmad Dahlan telah menancapkan pakem kokoh…
Review

Memahami Teks, Menyadari Konteks: Review Buku Interaksi Islam Karya Mun'im Sirry

5 Mins read
Buku ini, Interaksi Islam, karya terbaru Prof. Mun’im Sirry, mengusung tiga tema besar: Pertama, penelusuran aktivitas relasi antaragama di masa awal Islam,…
Review

Belajar Kehidupan dari Dilarang Mencintai Bunga-Bunga Karya Kuntowijoyo

4 Mins read
“Membaca karya Kuntowijoyo ini pembaca akan merasakan bagaimana sensasi imajinasi yang membuat pikiran merasa tidak nyaman.” (Buku Cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga, Kuntowijoyo)…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds