Perspektif

Dilema Antara Akademisi, Kekuasaan, dan Insularitas Akademik

3 Mins read

Fenomena akademisi yang “beralih peran” menjadi pejabat publik semakin marak terlihat dalam lanskap politik Indonesia. Sejumlah akademisi dan intelektual terkemuka kini tidak lagi hanya berkutat di ruang kuliah atau penelitian, tetapi juga terlibat dalam posisi strategis di pemerintahan. Jabatan mereka bervariasi, mulai dari staf ahli, pejabat eselon, hingga menteri dalam kabinet. Wajah-wajah berlatar akademik banyak yang dilantik di pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, walau porsinya tidak sebesar dari kalangan parpol dan pebisnis.

Keputusan mereka memasuki dunia politik sering kali didorong oleh harapan untuk mengintegrasikan ilmu pengetahuan ke dalam pembuatan kebijakan publik, sehingga dapat mendorong perubahan yang lebih berbasis data dan riset. Namun, keterlibatan akademisi dalam politik bukan tanpa kontroversi.

Fenomena ini tidak hanya terkait dengan potensi kontribusi mereka terhadap kebijakan negara, tetapi juga dengan dinamika kekuasaan yang melibatkan relasi mereka dengan partai politik (parpol) dan organisasi masyarakat (ormas). Di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa keterlibatan ini dapat memicu insularitas akademik—kondisi di mana akademisi kehilangan independensi intelektual mereka akibat terlalu terjebak dalam kepentingan politik atau birokrasi.

Relasi Akademisi dengan Parpol dan Kekuasaan

Dalam realitas politik Indonesia, parpol dan ormas memainkan peran sentral sebagai kendaraan utama menuju kekuasaan. Akademisi yang ingin terlibat dalam pemerintahan sering kali harus membangun relasi strategis dengan kedua institusi tersebut. Parpol dengan struktur dan pengaruhnya, memberikan akses terhadap jabatan publik. Sementara ormas sering kali menjadi penopang legitimasi sosial-politik. Keduanya dianggap sebagai bagian dari modal sosial yang penting dewasa ini.

Bagi akademisi, keterlibatan dengan parpol atau ormas dapat menjadi langkah pragmatis untuk memasuki arena politik. Sebagai pihak yang biasanya minim pengalaman politik praktis, akademisi memanfaatkan jaringan dengan parpol atau ormas untuk menduduki posisi penting di pemerintahan. Dalam banyak kasus, koneksi politik ini menjadi faktor yang lebih menentukan dibandingkan kompetensi akademik semata.

Baca Juga  Edward W. Said (1): Biografi dan Perjalanan Intelektual

Di sisi lain, parpol dan ormas juga memandang akademisi sebagai aset strategis. Dengan latar belakang pendidikan dan kredibilitas ilmiah yang dimiliki, akademisi dapat memberikan legitimasi intelektual terhadap kebijakan atau program politik tertentu. Relasi ini menciptakan simbiosis yang saling menguntungkan. Tetapi sering kali menuntut akademisi untuk menyesuaikan pandangan atau aktivitas mereka sesuai dengan kepentingan politik yang lebih besar.

Antara Kepentingan Akademik dan Politik

Ketika akademisi memasuki dunia politik, mereka menghadapi dilema antara menjaga integritas akademik dan memenuhi tuntutan politik. Sebagai pejabat, mereka sering kali dihadapkan pada keputusan yang harus selaras dengan agenda politik pemerintah atau partai yang mendukung mereka. Hal ini memunculkan risiko kompromi terhadap nilai-nilai akademik, seperti kebebasan berpikir, objektivitas, dan penekanan pada kebenaran ilmiah.

Fenomena ini tidak jarang mengarah pada insularitas akademik, yakni kondisi di mana dosen atau periset yang tidak fokus pada tugasnya, Mereka suka mencari pekerjaan sampingan, nyambi. Mengutip pendapat Ahmad Najib Burhani, dalam opininya di Kompas.id (13/05/2023), menyoroti bagaimana insularitas akademik dapat mempengaruhi cara berpikir dan bertindak akademisi yang terlibat dalam kegiatan side jobs. Ketika dosen mulai menempatkan kepentingan pragmatisnya di atas prinsip-prinsip ilmiah. Mereka berisiko kehilangan daya kritis dan kemampuan untuk menghasilkan ide-ide baru yang berani atau radikal.

Ancaman bagi Kebebasan Berpikir Akademisi

Insularitas akademik dapat muncul dalam berbagai bentuk, terutama ketika akademisi yang terlibat dalam politik terlalu mengutamakan stabilitas dan kenyamanan dalam lingkup kekuasaan. Mereka cenderung menghindari kritik terhadap kebijakan pemerintah atau partai yang mendukung mereka.

Bahkan, jika kebijakan tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmiah. Akibatnya, riset dan gagasan mereka menjadi terbatas pada agenda politik tertentu. Sehingga kehilangan relevansi dengan kebutuhan masyarakat yang lebih luas.

Baca Juga  Spirit Kesetaraan Gender Ibu Ainun dalam Film Habibi Ainun 3

Lebih jauh lagi, insularitas akademik juga dapat mempersempit ruang gerak dunia akademik secara keseluruhan. Ketika penelitian dan diskusi akademik lebih diarahkan pada upaya mendukung kebijakan pemerintah, potensi inovasi ilmiah yang benar-benar independen menjadi terhambat. Hal ini bertentangan dengan esensi dunia akademik sebagai ruang untuk eksplorasi ide-ide baru dan pemikiran kritis yang bebas dari tekanan politik.

Menjaga Integritas Akademisi di Kursi Kekuasaan

Fenomena akademisi yang merangkap sebagai pejabat publik menghadirkan dilema yang kompleks. Di satu sisi, keterlibatan akademisi dalam politik dapat memperkaya kebijakan publik dengan pendekatan berbasis riset dan pengetahuan ilmiah. Namun, di sisi lain, risiko yang menyertainya tidak dapat diabaikan. Ketergantungan pada parpol atau ormas demi memperoleh kekuasaan dapat mereduksi independensi intelektualnya.

Bahkan, kedekatan ini berpotensi membuat mereka menjadi alat politik semata. Kehilangan otonomi, dan terjebak dalam pragmatisme politik yang sering kali mengabaikan prinsip-prinsip ilmiah.

Bahaya terbesar dari fenomena ini adalah tergesernya peran akademisi sebagai pilar kritis masyarakat. Alih-alih menjadi penggerak perubahan dan inovasi, akademisi yang terlalu terlibat dalam dinamika politik cenderung larut dalam agenda kekuasaan, yang pada akhirnya menciptakan insularitas akademik.

Ketika penelitian dan ide-ide mereka mulai diarahkan untuk mendukung status quo atau agenda politik tertentu, dunia akademik berisiko terfragmentasi dan kehilangan relevansinya dalam menjawab persoalan masyarakat secara objektif.

Dengan demikian, fenomena akademisi yang nyambi menjadi pejabat harus dilihat sebagai gejala struktural yang menuntut perhatian serius. Perguruan tinggi atau lembaga riset perlu memperkuat etika akademik dan independensi institusi untuk meminimalisasi pengaruh politik terhadap akademisi.

Sementara itu, akademisi yang terjun ke dunia politik perlu secara aktif menjaga integritas ilmiah dan mengambil posisi kritis terhadap kekuasaan. Jika tidak, dunia akademik hanya akan menjadi perpanjangan tangan dari kekuatan politik yang ada, kehilangan kemampuan untuk menjadi pilar demokrasi dan agen perubahan sosial.

Baca Juga  Pendidikan Sejarah Mazhab Kritis

Editor: Assalimi

9 posts

About author
Peneliti di Pusat Riset Masyarakat dan Budaya-BRIN
Articles
Related posts
Perspektif

Sejuta Cerita di Balik Iklan Sirup Marjan

2 Mins read
Kita sama-sama mengamini bahwa iklan Sirup Marjan adalah iklan yang ikonik, unik, visioner, dan limited edition. Ikonik karena penayangannya hanya pada bulan…
Perspektif

Benarkah Nasab Tak Penting bagi Muhammadiyah?

5 Mins read
Perdebatan nasab di kalangan umat Islam Indonesia sangat dahsyat, khususnya tentang habib. Perdebatan ini merembet ke mana-mana, mulai personal, politik sampai sanad…
Perspektif

Kata Siapa Filsafat itu Cuma Omong Kosong?

6 Mins read
Seorang filsuf menyewa perahu untuk menyeberangi sungai. Untuk mengakrabkan, kepada tukang perahu sang filsuf bertanya, “Anda tahu psikologi?” “Tidak,” jawab tukang perahu….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *