Robby Karman
Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengeluarkan surat instruksi untuk warga Muhammadiyah menjelang pemilu 2019. Surat yang dikeluarkan pada Bulan Maret berisi penegasan kembali agar warga Muhammadiyah tetap memegang khittah menjaga netralitas, tidak menggunakan fasilitas Muhammadiyah untuk kampanye dan menjaga persatuan serta kebersamaan.
Instruksi PP. Muhammadiyah kemudian diikuti oleh pernyataan bersama Angkatan Muda Muhammadiyah tingkat pusat. Isi dari pernyataan AMM yakni : menjaga netralitas persyarikatan, tidak menggunakan nama dan symbol organisasi dalam dukung mendukung, seruan tidak golput dan menjaga kondusifitas. AMM yang menandatangi surat tersebut yakni PP Pemuda Muhammadiyah, PP Nasyiatul Aisyiyah, DPP IMM dan PP IPM.
Dua surat di atas tentu tak lahir dalam ruang hampa, ada sebuah konteks yang mengitari instruksi tersebut. Menurut penulis dua surat tersebut lahir dalam rangka merespon dinamika kader persyarikatan Muhammadiyah beberapa waktu ini. Perlu digarisbawahi yang dimaksud penulis dengan kader adalah sebagian kader, bukan seluruhnya.
Penulis akan mencoba menguraikan pengamatan penulis selama ini terkait dinamika kader dalam politik elektoral. Tentu saja mungkin karena keterbatasan pengamatan maka penulis tak mampu memotret secara utuh dinamika yang ada. Namun hal ini diharapkan bisa membuka ruang dialog ke depannya.
Secara normatif Muhammadiyah adalah gerakan sosial keagamaan, bukan partai politik. Oleh karena itu Muhammadiyah tidak bisa dibawa ke ranah politik praktis. Hal ini ditegaskan dengan pernyataan bahwa Muhammadiyah netral. Jika Muhammadiyah tidak bisa dibawa ke ranah politik praktis, maka kader-kadernya dipersilahkan untuk memasuki wilayah politik praktis. Dengan catatan sang tidak membawa-bawa institusi persyarikatan, melainkan atas nama pribadi.
Kader-kader Muhammadiyah yang memang punya hasrat di dunia politik dipersilahkan masuk partai apapun atas nama individu. Misalnya Pak Eko Kader Muhammadiyah masuk Partai Kumis Indonesia. Kawan-kawan Pak Eko tahu bahwa Pak Eko adalah kader Muhammadiyah. Namun Pak Eko tidak boleh mengklaim bahwa Muhammadiyah siap mendukung Partai Kumis Indonesia.
Hal ini berlaku juga bagi Pak Paijo kader Muhammadiyah yang ingin masuk timses pasangan Nurhadi-Aldo. Semua kawan-kawannya di timses tahu bahwa Pak Paijo adalah kader Muhammadiyah. Namun Pak Paijo tak boleh mengklaim bahwa Muhammadiyah akan mendukung Nurhadi-Aldo.
Yang menarik adalah ternyata dalam praktiknya tak sesederhana itu. Dalam pilpres hari ini kader-kader Muhammadiyah seolah-olah terbelah menjadi dua antara pendukung Jokowi-Amin dan Prabowo-Sandi. Dua kubu ini saling berebut pengaruh baik di dunia nyata maupun dunia maya. Tak jarang interaksi yang terbentuk berupa saling serang baik dengan memakai narasi yang halus maupun kasar. Jelas hal seperti ini yang ingin dihilangkan oleh instruksi PP. Muhammadiyah di atas.
Kemudian karena membawa institusi Muhammadiyah ke dalam politik tak boleh, melalui parpol pun tak dianggap berefek untuk persyarikatan, maka kader-kader membuat kelompok relawan. Relawan ini tak menggunakan nomenklatur Muhammadiyah, namun orang-orang di dalamnya adalah kader Muhammadiyah. Dalam pilpres hari ini kader Muhammadiyah yang mendukung Prabowo berkumpul dalam Aliansi Pencerah Indonesia (API). Sedangkan kader Muhammadiyah yang mendukung Jokowi berkumpul dalam Rumah Indonesia Berkemajuan (RIB). Selain dua kelompok tersebut, masih banyak kelompok lain yang tak bisa penulis sebutkan satu per satu.
Secara aturan, adanya relawan ini tidak salah karena tak ada nama Muhammadiyah dalam nomenklaturnya. Namun saat deklarasi yang diliput wartawan, pasti dalam judul beritanya adalah tercantum kata Muhammadiyah. Dalam pemberitaan nama Muhammadiyah tak dapat dihilangkan, karena wartawan tahu tanpa menyebutkan Muhammadiyah beritanya menjadi kurang menarik.
Penulis juga menemukan dialektika antar pendukung paslon baik dari kader Muhammadiyah pendukung Jokowi maupun Prabowo. Misalnya sebagai kepala Negara Presiden Jokowi beberapa kali diundang ke forum Muhammadiyah untuk memberikan sambutan. Yang cukup menarik perhatian adalah saat Jokowi diundang ke forum Tanwir di Bengkulu. Warganet pendukung Prabowo segera membangun narasi bahwa forum Tanwir sudah tidak netral. Hal ini dibumbui oleh warna dominan Tanwir yang kebetulan adalah merah.
Hal ini juga terjadi saat Sandiaga Uno dan Rocky Gerung melakukan roadshow ke beberapa Universitas Muhammadiyah. Hal ini cukup membuat warga Muhammadiyah pendukung Jokowi tak nyaman dan mengkritik hal tersebut sebagai kampanye terselubung.
Lantas bagaimana kita seharusnya menyikapi hal tersebut? Penulis memandang bahwa adanya dialektika dalam politik adalah sunnatullah yang tak dapat dihindari. Namun yang perlu difahami bahwa jangan sampai pilpres difahami sebagai pertarungan akidah atau pertarungan haq dan bathil. Pertarungan pilpres adalah persoalan fiqh yang memungkinkan ikhtilaf.
Dalam fiqh istilah yang digunakan adalah shawwab (benar) dan khatha’(salah). Kata seorang imam mazhab pendapatku benar (shawwab) namun boleh jadi ada salahnya (khatha’). Pendapatmu salah (khatha’) namun boleh jadi ada benarnya (shawwab).
Kehancuran akan terjadi manakala pertarungan pilpres dimaknai sebagai pertarungan antara haq dan bathil. Menurut akal sehat pun tak bisa diterima, karena baik pasangan nomor 1 maupun nomor 2 dan orang-orang dibelakangnya jika ditelisik pasti ada yang haq da nada yang bathilnya. Pilihan kita terhadap pilpres adalah zhanniy bukan qath’iy, bahkan ijtihadi yang kalau salah masih dapat satu pahala.
Jika warga Muhammadiyah ada yang menganggap bahwa pilpres adalah soal pertaruhan akidah, maka hal tersebut adalah pengaruh dari luar Muhammadiyah. Hal ini perlu segera diantisipasi oleh pimpinan dan dikembalikan ke pemahaman yang benar. Penulis masih optimis bahwa warga Muhammadiyah mempunyai sifat rasional dan mengedepankan akal sehat dalam menghadapi hajatan politik rutin 5 tahunan.
[zombify_post]