Era ini, baik kita menyebutnya era disrupsi maupun era digital, membutuhkan—jika meminjam pandangan Rhenald Kasali (2019)—kemampuan membaca “where we are” dan “where we are going to”. Bagi saya termasuk kemampuan “menjawab” keduanya. Pembacaan dan jawaban yang dibutuhkan secara substansial bukan hanya tentang “tempat” dalam pemahaman harfiah yang menunjukkan letak geografis.
Kemampuan membaca realitas adalah salah satu modalitas mengarungi kehidupan untuk sampai ke “pulau harapan”. Hanya saja seringkali berbagai realitas yang ada—sebagaimana tradisi semiotika—dituangkan dalam suatu “kode”. Begitupun Indonesia adalah sebuah “kode” kebangsaan, yang didalamnya terdapat aneka realitas yang tidak bisa diungkapkan dengan narasi narasi yang sederhana.
Urgensi Membaca Realitas
Memahami pandangan Yasraf Amir Piliang tentang semiotika, di mana dirinya menemukan apa yang disebut hipersemiotika. Kita mendapatkan satu pemahaman bahwa seringkali terjadi kesalahan dalam membaca realiatas. Alfathri Adlin dalam catatan editor-nya pada buku Hipersemiotika karya Yasraf Amir Piliang (2003:27) menggambarkan sebuah kisah yang menarik, tentang pangeran kecil dengan mahkota ajaibnya dan penyihir jahat yang menculiknya.
Secara substansial dalam cerita tersebut, saya memahami adanya kesalahan “membaca” realitas. Orang-orang menangkap sesuatu yang “indah” dari sebuah realitas yang dimaksud, namun realitas sesungguhnya adalah adanya “penderitaan”, dan “membutuhkan pertolongan”.
Masih oleh Alfathri Adlin dalam Yasraf Amir Piliang (2003) bahwa, “Dalam wacana ‘cultural studies’, sudah begitu banyak intelektual yang mengemukakan bagaimana pada abad ini media telah berubah menjadi representasi dari realitas, citraan yang telah menutupi fakta sedemikian rupa, bahkan tak jarang dikatakan telah menjadi realitas itu sendiri”.
Dalam pemahaman dan pembacaan saya—hal ini juga, saya banyak mendapatkan pencerahan dari Yasraf Amir Piliang dalam bukunya Dunia yang Dilipat (2011) dan Agus Suwignyo (2007) dalam bukunya Dasar Dasar Intelektualitas— bahwa berdasarkan fenomena kehidupan hari ini, termasuk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kemampuan “membaca” dan “menjawab” realitas yang ada dan seringkali berujung pada kondisi kehidupan yang “fatal” diperparah oleh dua hal.
Faktor Memperkeruh Pembacaan Realita
Dua hal yang dimaksud di atas adalah “disposisi sikap” yang rendah dan “lenyapnya batas-batas kehidupan”. Sebelum lebih jauh membahas kedua hal tersebut, patut kiranya, terlebih dahulu memahami bahwa ada banyak fenomena yang sesungguhnya jauh dari harapan yang diidealisasikan. Feneomena tersebut membawa kita dalam labirin kehidupan dan menyeret dalam arus menuju muara “kehancuran” pada masa yang akan datang.
Fenomena yang saya baca dan temukan dengan penuh kesadaran, relevan dengan ungkapan Yasraf Amir Piliang (2011), “Layaknya organisme hidup, panorama kebudayaan yang kita saksikan seakan-akan tubuh tanpa organ, atau setidak-tidaknya tubuh yang mengalami kekacauan organisme. Inilah organisme kebudayaan yang di dalamnya organ kepala telah berubah menjadi dengkul, sehingga kini orang lebih banyak bertindak daripada berpikir; organ mata telah menjelma menjadi otak, sehingga kini orang lebih banyak menonton ketimbang merenung; organ mulut telah mengambil alih hati, sehingga orang kini lebih gandrung melepas hasrat, ketimbang mengasah hati; organ perut telah menyatu dengan otak, sehingga kini kepuasan biologis menumpulkan otak; organ telinga telah dijajah oleh mulut, sehingga kini orang lebih banyak berbicara ketimbang mendengarkan.
Apa yang diungkapkan oleh Yasraf Amir Piliang tentang “kekacauan organisme kebudayaan” tersebut, menjangkiti anak bangsa yang sesungguhnya itu lebih parah daripada “COVID-9” yang telah memporak-porandakan bangunan kehidupan hari ini. Mereka yang terjangkiti tanpa memandang status sosial. Hal ini bisa menjadi indikator utama, sebagai tesis yang kuat sehingga 75 tahun Indonesia merdeka, tetapi masih tertinggal jauh dari derap langkah kemajuan bangsa bangsa lain dan masih jauh dari harapan founding fathers yang diidealisasikan dan telah di-institusionalisasi-kannya.
Mengapa fenomena dan panorama “kekacauan organisme kebudayaan” terus terjadi, bahkan menambah “beban psikologis” untuk menatap masa depan yang lebih cerah? Sebagaimana telah diungkapkan di atas ada dua hal yang memperparah: “disposisi sikap yang rendah” dan “lenyapnya batas-batas kehidupan”.
Batas-batas Kehidupan yang Mulai Lenyap
Agus Suwignyo (2007:10) menjelaskan bahwa disposisi sikap menyangkut kaitan antara kesadaran tindakan dengan pengetahuan yang mendasari tindakan. Agus Suwignyo mengutip pula pandangan Syafii Maarif—yang dalam beberapa kesempatan—menyebut “lemahnya disposisi sikap tersebut sebagai ‘gap’, jurang atau inkonsistensi antara kata dan perbuatan”.
Membaca pengertian sederhana di atas, saya yakin—bukan cuma saya, tetapi kita semua—mudah memahami bahwa hal itu menjadi spectrum kehidupan dan merupakan fenomena nyata. Salah satunya, Pancasila seringkali indah dalam wacana, tetapi implementasi dan implikasi dalam realitas empirik masih kurang. Visi misi ideal seringkali menjadi retorika politik yang mempesona, tetapi kering dalam implementasi.
Agus Suwignyo (2007:11), termasuk memberikan contoh nyata yang dikutip dari tulisan Prasetyantoko dari Kompas, 27 Agustus 2002, bahwa “di tengah demonstrasi anti Amerika seorang mahasiswa berteriak ‘kita lawan kapitalisme Amerika!’ sambil memegang secangkir café late yang sering dianggap salah satu simbol kapitalisme”. Jadi apa yang dilakukan oleh mahasiswa ini, sesungguhnya merupakan contoh daripada “disposisi sikap yang rendah”.
Dalam perspektif lain dan relevan dengan “disposisi sikap yang rendah”, jika memahami tulisan Hajriyanto Y. Thohari “Kemajuan itu Masih Jauh di Depan Sana: Refleksi Seorang Kader Muhammadiyah tentang Indonesia” dalam buku Islam Berkemajuan untuk Peradaban Dunia (2015:29-49), secara substansial, saya memahami salah satu penyebab ketertinggalan Indonesia adalah “Krisis Keteladanan”. Dan ini relevan dengan salah satu yang mendasari penulisan buku Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan karya Yudi Latif (2016).
Bangsa ini, tata kelola kehidupan bernegara membutuhkan disposisi sikap yang tinggi, sebuah kesadaran yang tinggi tentang wawasan ke-Indonesia-an, Pancasila dan genius nusantara yang relevan dengan sikap dan perbuatan.
Hal lain yang memperparah, selain disposisi sikap yang telah diuraikan secara singkat di atas adalah lenyapnya batas-batas kehidupan. Memahami tesis Dunia yang Dilipat Yasraf Amir Piliang tentang waktu, ruang, tanda dan budaya dilipat—sebagai konsekuensi daripada pada perkembangan kehidupan globalisasi dan teknologi mutakhir—bukan hanya batas territorial antar negara yang lenyap.
***
Batas sosial telah lenyap, hari ini tidak bisa lagi dibedakan mainan yang layak antara anak dan orang dewasa. Batas psikologis lenyap, terasa sulit lagi membedakan antara kebaikan dan keburukan. Batas politik lenyap, sulit membedakan antara penguasa, teroris dan negarawan. Batas ekonomi lenyap, sulit membedakan antara pertumbuhan dan kehancuran ekonomi. Batas sosio-intelektual lenyap, sulit membedakan antara ideal dan pragmatis. Bahkan saya menemukan lenyapnya—dengan memberikan istilah sendiri—batas teologis-spiritualis, sulit membedakan antara orang yang ikhlas/tulis dengan orang yang riya dan memiliki keinginan terselubung.
Berangkat dari hal tersebut di atas—jika memperhatikan pandangan Yudi Latif—elan vital Pancasila sebagai ideologi negara. Sebagai ideologi, Pancasila wajib selain sebagai tuntunan hidup dan dan pedoman aksi/tindakan, wajib menjadi alat baca realitas kehidupan.