Perspektif

Dua Kelompok Besar di Media Sosial: Mabuk Tuhan dan Anti Tuhan

3 Mins read

Oleh: Dani Ismantoko*

Ada dua kelompok besar yang lahir dari kultur media sosial di beberapa tahun terakhir ini, yang suka saling serang satu sama lain. Pertama, orang-orang yang sedikit–sedikit bawa nama Tuhan. Kedua, orang-orang yang anti dengan nama Tuhan. Kedua kelompok ini sama–sama galaknya.

Mabuk Tuhan

Kelompok pertama merespon segala kejadian dengan cara menghubung–hubungkannya dengan Tuhan dalam artian yang sangat akut dan cenderung norak. Saking akutnya, mereka merasa dekat dengan Tuhan, dan orang lain yang tidak seperti mereka dianggap jauh dari Tuhan.

Kelompok ini merasa bahwa dirinya mandataris utama Tuhan dan sudah pasti masuk surga. Namun, tidak jarang juga perilaku–perilaku mereka kontradiktif dengan rasa GR-nya, yang merasa bahwa diri mereka sangat dekat dengan Tuhan.

Seringkali, pernyataan–pernyataan yang mereka keluarkan menyakiti hati orang lain. Apa iya Tuhan seperti itu, suka menyakiti hati orang sebagaimana mereka menyakiti hati orang lain? Padahal, para penyebar agama di masa lalu berusaha bersikap sesantun mungkin, sebaik mungkin, dalam menyebarkan agama. Bahkan sampai berusaha tak membalas perbuatan buruk orang lain yang menyakitinya.

Anti Tuhan

Kelompok yang anti dengan nama Tuhan adalah kebalikan dari kelompok pertama. Mereka seringkali menyebut diri mereka sebagai orang–orang dengan pikiran terbuka, menggunakan logika atau nalarnya secara maksimal. Kalau bahasa populernya, open minded. Setiap peristiwa dinalar secara logis. Sama sekali tak mau menghubungkannya dengan Tuhan.

Kelompok ini tidak jarang merespon pernyataan–pernyataan orang–orang yang sedikit–sedikit bawa–bawa nama Tuhan dengan nada sindiran, bahkan cenderung olok–olok. Dalam kadar yang lebih akut, bahkan mereka menganggap setiap orang yang menyebut Tuhan—walau tidak norak seperti orang–orang yang sedikit–sedikit bawa nama Tuhan—sebagai makhluk yang sama noraknya dengan orang – orang yang sedikit – sedikit bawa nama Tuhan.

Baca Juga  Ketika Ibn Arabi dan Immanuel Kant Mengadili Ibrahim (Part 2)

Orang–orang yang sedikit–sedikit bawa nama Tuhan menganggap orang lain yang tak seperti mereka sesat. Kalau kelompok ini, menganggap orang–orang yang tidak seperti mereka sebagai orang bodoh, orang yang tidak mau berpikir.

Lalu, mana yang benar ? Agaknya kita jangan terjebak kepada mana yang benar dan mana yang salah. Agaknya perlu dianalisis berdasarkan kepada apa yang benar dan apa yang salah. Karena pada kedua kelompok tersebut sama–sama ada unsur benar atau positifnya, sekaligus sama–sama ada unsur salah atau negatifnya.

Masalah yang Sama

Sebenarnya kedua kelompok ini mempunyai masalah yang sama. Mereka tidak punya semacam filter di dalam diri mereka tentang mana yang pantas untuk diungkapkan di hadapan publik dan mana yang tidak.

Kita tahu, setiap orang mempunyai tingkatan sendiri–sendiri dalam memahami suatu hal. Oleh karenanya, bagaimanapun seseorang harus mempertimbangkan sebaik mungkin, kira–kira mana yang pantas untuk diungkapkan kepada publik tanpa menimbulkan masalah dan mana yang tidak pantas diungkapkan kepada publik karena akan menimbulkan masalah. Perbedaan tingkat pemahaman akan sesuatu adalah salah satu jenis kemajemukan masyarakat. Oleh karenanya hal tersebut tidak bisa kita nafikan begitu saja dengan bersikap cuek, acuh tak acuh, tak peduli.

Jika kita benar–benar serius ingin hidup bersama dengan nyaman, seharusnya kita berusaha mempunyai filter semacam itu. Jika diibaratkan sebuah warung, kita harus tahu mana “dapur” dan mana “tempat makan untuk pembeli”. Urusan dapur adalah urusan pemilik warung dan pegawainya saja. Pembeli tak perlu tahu.

Pemilik warung dan para pegawainya bertugas menyuguhkan makanan dan minuman sebaik mungkin kepada kepada pembeli sesuai dengan keinginan pembeli. Dengan harapan pembeli merasa puas atas makanan dan minuman yang disuguhkan oleh pemilik dan pegawai warung makan  

Baca Juga  Deretan Kuliner Legendaris di Kota Malang

Setiap standar kebenaran yang diyakini oleh seseorang itu letaknya di dapur, urusan masing–masing dan tidak perlu dipaksakan kepada siapa pun. Perilaku yang baik letaknya di ruang makan.

Masalah Perbedaan Standar

Dua kelompok tersebut punya standar kebenarannya masing–masing. Standar kebenaran itu dipegang erat–erat. Standar kebenaran tersebut tidak bisa diadu. Karena setiap standar kebenaran memilik pijakan berpikir yang berbeda satu sama lain.

Saat sebuah standar kebenaran itu disampaikan kepada publik apalagi disertai dengan penghakiman atas orang–orang tertentu, hal tersebut menjadi sebuah pemaksaan bagi orang lain supaya mengikuti standar kebenaran dari orang yang menyampaikan standar kebenarannya kepada publik.

Saat itulah timbul masalah. Celakanya, kedua belah pihak itu, dengan nafsunya yang menggebu–gebu. Saling serang satu sama lain menggunakan argumen–argumen yang menurut mereka menjadi semacam proses diskusi. Padahal tidak, argumen–argumen yang mereka ajukan bukan muncul dari kepala dingin.

Argumen–argumen itu muncul dari kemarahan demi kemarahan. Dan cenderung berusaha untuk memenangkan standar kebenaran yang diyakini atas standar kebenaran yang diyakini orang lain. Alih–alih menjadi semacam proses diskusi, justru menjadi debat kusir yang tak ada juntrungnya.

Ketidakdewasaan semacam itu, saya kira tak perlu dipelihara. Atau memang orang–orang itu sengaja memeliharanya. Karena dengan memeliharanya mereka akan mendapatkan keuntungan–keuntungan ekonomi. Bertambah sejahtera hidupnya di atas permusuhan demi permusuhan.

Kalau memang seperti itu, apakah mereka ini orang-orang yang benar–benar dekat dengan Tuhan dan open-minded?

*) Penulis. Tinggal di Bantul

Editor: Nabhan

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds