Dalam sejarah nasional maupun dunia, kepemimpinan politik identik dengan laki-laki. Raja-raja dari perdaban yang silih berganti, mayoritas adalah laki-laki. Perempuan hanya menjadi peran figuran dalam jatuh bangunnya peradaban di masa lalu, bahkan mungkin hingga kini. Peran utama tetap dipegang laki-laki, misalnya para Fir’aun dalam peradaban Mesir Kuno, para kaisar Romawi Kuno dan Persia.
Pemimpin Perempuan di antara Dominasi Laki-laki
Namun diantara dominasi laki-laki yang begitu kuat, terdapat sosok pemimpin perempuan yang menonjol. Mereka juga sekaligus bisa membuktikan bahwa perempuan mampu untuk menjadi pemimpin. Contohnya adalah Ratu Cleopatra penguasa Mesir di era Romawi dan Margareth Tatcher perdana Menteri Inggris di era modern.
Tak kalah dengan peradaban barat, sejarah Islam pun melahirkan pemimpin perempuan yang berhasil dalam kepemimpinannya. Ada dua sosok yang akan saya bahas dalam tulisan ini. Pertama adalah Ratu Balqis penguasa Negeri Saba pada masa Nabi Sulaiman. Kedua, Ratu Syajaratuddur penguasa Dinasti Ayyubiyah.
Ratu Balqis Sang Pemimpin Bijaksana
Kisah pertama adalah tentang Ratu Balqis, sosok penguasa Negeri Saba yang dikaruniai oleh Allah SWT. Kekuasaan yang sangat kuat. Tak hanya memerintah manusia, dia juga menguasai jin untuk tunduk kepadanya. Sayangnya Ratu Balqis dan rakyatnya tidak menyembah Allah SWT, melainkan menyembah matahari.
Tatkala Nabi Sulaiman mengetahui sosok Ratu Balqis, dia ingin mengajaknya untuk menyembah Allah SWT. Nabi Sulaiman pun mengirim surat ajakan kepada Ratu Balqis. Al Qur’an menceritakan jawaban Sang Ratu saat menerima surat dari Nabi Sulaiman dalam ayat berikut:
Berkata ia (Balqis),”Hai pembesar-pembesar, sesungguhnya telah dijatuhkan kepadaku sebuah surat yang berharga. Sesungguhnya surat itu dari Sulaiman dan dan sesungguhnya (isi)nya: Dengan (menyebut) nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha penyayang. Janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri. Berkata Balqis,”Hai pembesar-pembesar, berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalaan pun sebelum kamu berada dalam majelis (ku)” (QS An-Naml: 29-32).
Dari ayat di atas, kita tahu bahwa Ratu Balqis bukan hanya sosok yang kuat, namun juga bijaksana dan demokratis. Beliau meminta pertimbangan kepada rekan-rekannya saat akan mengambil keputusan. Hasil dari musyawarah itu adalah Ratu Balqis meminta Nabi Sulaiman untuk memindahkan singgasananya. Setelah Nabi Sulaiman berhasil memenuhi permintaan Ratu Balqis, sang Ratu pun akhirnya menyatakan keimanannya kepada Allah SWT.
Ratu Syajaratuddur, Pemimpin Cerdas Di Tengah Krisis
Kisah kedua menceritakan sosok Ratu yang Bernama Syajaratuddur, istri dari Sultan Shalih penguasa Dinasti Ayyubiyah di Mesir. Beliau asalnya adalah budak yang dimerdekakan lalu dinikahi oleh Sultan Shalih. Sejak awal Sultan Shalih sudah tertarik dengan kecerdasan dan kecantikannya.
Pasca kematian suaminya, Syajaratuddur mengambil alih pemerintahan sementara sebelum diambil alih putra mahkota Turah Syah yang sedang berada di luar Mesir. Pada masa itu tentara salib angkatan ketujuh telah mendekati wilayah Mesir yang dipimpin oleh Raja Prancis Louis IX.
Mereka datang untuk membalas dendam karena kekalahan mereka pada perang Salib ketiga, sehingga mereka kembali untuk menaklukkan Dinasti Ayyubi. Sang ratu harus memerintah dalam kondisi yang sangat genting tersebut. Dia ikut menyusun strategi pertahanan dan penyerangan Bersama wakil Sultan.
Salah satu taktiknya untuk melawan musuh, ia menyuruh Amir Baibar al-Banduq panglima militer Mamalik untuk menyerang tentara Salib di kawasan Manshurah dengan taktik penyusupan. Akhirnya perang ini berhsail dimenangkan, raja Loius IX berhasil ditawan.
Setelah Puta Mahkota tiba kembali di Mesir kemudian dibai’at menjadi sultan dinasti Ayyubi, banyak konflik terjadi dan akhirmya ia dibunuh. Kemudian dinasti Ayyubi Runtuh dan kekuasaan dinasti Ayyubi pindah ke dinasti Mamluki. Dinasti Mamluki merupakan koalisi antara Syajaratu Durri dan orang-orang kepercayaannya.
Belajar dari Pemimpin Politik Perempuan
Kisah Ratu Saba dan Syajaratuddur ini mematahkan anggapan bahwa perempuan tidak bisa menjadi pemimpin politik. Anggapan ini lahir dari pemahaman tekstual terhadap hadits Nabi Muhammad SAW bahwa suatu kaum tidak akan beruntung jika dipimpin oleh perempuan. Ditambah dengan hadits bahwa perempuan itu kurang akal dan agamanya.
Padahal dari Ratu Saba, kita bisa melihat kemampuan seorang perempuan dalam mengambil keputusan yang bijaksana dan rasional. Hal ini membantah stigma bahwa perempuan selalu memakai perasaan dan kurang rasional.
Dari Ratu Syajaratuddur juga kita bisa melihat bagaimana kecerdasan dan keberanian seorang perempuan dalam memerintah bahkan memimpin peperangan. Hal ini membantah stigma bahwa perempuan adalah kaum yang lemah dan tertindas yang membutuhkan perlindungan laki-laki.
Editor: Yahya FR