Echo-chamber menjadi istilah yang tak asing dalam menjelaskan fenomena metafisik di media sosial. Menurut Oxford Dictionary, fenomena echo chamber atau ruang gema adalah lingkungan di mana seseorang hanya menemukan informasi atau pendapat yang mencerminkan atau memperkuat pendapat mereka sendiri.
Ruang gema sejatinya tidak terbentuk hanya oleh platform digital saat ini yang ada pada media sosial. Fenomena ruang gema juga terbentuk dari sisi kita sendiri sebagai manusia.
Mobokrasi Algoritma
Dalam suatu diskusi yang dihelat oleh salah satu Pimpinan Komisariat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah di sekitar UNY pada Kamis 16 Juli lalu, isu atau topik echo chamber menjadi menarik. Hal ini terjadi karena fenomena echo chamber dicari kaitannya dengan eksklusivitas pemikiran di media sosial. Ismail Fahmi yang menjadi pembicara menjelaskan awal mula mengapa ada istilah menarik di dunia media sosial ini, yaitu istilah echo chamber.
Echo chamber (ruang gema) mulanya disebabkan oleh adanya mobokrasi di media sosial. Mobokrasi, singkatnya, adalah keadaan di mana adanya bentuk penguasaan atau keadaan yang didominasi oleh massa. Di dalam media sosial kita saat ini, algoritma mobokrasi tersebut membentuk dua model dominasi oleh massa.
Pertama, disebut dengan echo chamber. Terjadi karena kita hanya akan menemukan informasi yang memperkuat pendapat kita berdasarkan kecenderungan likes pada media sosial kita.
Kedua, disebut dengan flame war. Di mana kita menemukan perdebatan atau topik yang didebatkan muncul pada beranda kita, dikarenakan topik tersebut adalah bentuk pro atau kontra dari pendapat kita berdasarkan banyaknya komentar pada topik tersebut.
Algoritma mobokrasi ini menghasilkan dua pucuk yang bersebrangan. Tapi sebenarnya tujuannya hanya satu, yakni soal optimalisasi atau peningkatan engagement atau impression oleh penggunanya. Dari sini, nilai dalam media sosial yang lebih berkualitas akan tertimbun.
Algoritma mobokrasi dalam media sosial sendiri—tanpa melihat dari faktor manusianya terlebih dahulu—sudah didesain sedemikian rupa. Agar kita hanya menemukan apa yang menjadi penguat pendapat kita kita—yang akibat fatalnya adalah deep polarization.
Lebih dalam, jika ditelaah dan ditinjau dari kacamata psikologis dan sosiologis, sejatinya tanpa didukung oleh keadaan media sosial yang sedemikian rupa, juga akan mengikuti apa yang menjadi preferensi kita.
Keadaan lingkungan juga berperan besar membentuk pemikiran yang demikian. Perbedaan dalam berpendapat menjadi tabu ketika kita terbiasa dalam lingkungan yang juga membentuk pikiran kita untuk serupa. Dampak negatif dari desain di atas tak lain adalah post truth society atau masyarakat post truth: terbentuk hanya digemakan oleh preferensi yang sama.
Memanfaatkan Echo Chamber
Sebetulnya, echo chamber bisa dimanfaatkan apabila kita juga mengetahui desainnya untuk membuat narasi, pemikiran, atau ide yang lebih berkualitas itu hadir di media sosial. Dengan cara yang sama, keseimbangan echo chamber didapatkan apabila kita mampu meresonansikan ide dan pemikiran yeng lebih baik ketimbang fake news.
Misalnya, dengan membuat ruang gema grup sendiri lalu diresonansikan—atau dalam bahasa lebih sederhana disebut dengan viralitas—di berbagai platform. Sehingga, bukan tidak mungkin isu yang kita viralkan tersebut akhirnya menjadi isu di blow up dan menjadi bahan diskusi di mana-mana.
Dengan catatan, tidak ada kecenderungan dalam dua pucuk algoritma mobokrasi di atas—tidak ada ketimpangan antara yang likes dan yang comments. Atau lebih idealnya, dalam ruang gema grup yang banyak, ada media sebagai jembatan. Media yang dimaksud adalah media mainstream.
Di Indonesia, berdasarkan data yang dibawa saat presentasi kemarin, media mainstream menjadi jembatan antara bola-bola echo chamber. Jembatan yang dimaksud ialah memberitakan dari dua sisi; tidak cenderung pada salah satu ruang gema di media sosial.
***
Selama ini, mungkin kita semua memiliki narasi yang lebih baik ketimbang menikmati konten ala influencer atau youtuber saat ini. Akan tetapi, suatu ide menjadi menguap karena ide tersebut tidak diresonansikan dengan baik. Singkatnya, masifikasi gerakan—jika memang kita menjamin ide kita lebih berkualitas—bisa dengan memanfaatkan ruang gema yang alami ini.
Echo chamber menjadi buruk ketika resonansi ide atau resonansi topik itu tidak diimbangi dengan adanya arbitrate trust atau istilah untuk penengah ‘kepercayaan’. Jika media mainstream tidak memainkan peran ini, kemungkinan besar, bola-bola echo chamber tersebut membentuk polarisasi yang lebih dalam.
Editor: Nirwansyah/Nabhan